Minggu, 15 Agustus 2010

Model Pengawasan Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilihan Umum (pemilu) di Indonesia telah terjadi pergeseran setelah reformasi bergulir pada tahun 1998. Pergeseran pelaksanaan pemilu yakni terjadinya pemilihan langsung Presiden dan wakil presiden pada pemilu pemilu 2004. Bahkan pada pemilu 2009 ini melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, aspirasi masyarakat langsung diserap melalui suara terbanyak dalam menentukan kursi di legislatif. Ini semakin menunjukan bahwa kedaulatan rakyat di Indonesia telah dikembalikan secara langsung kepada rakyat Indonesia sendiri. Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu.
Menurut Mariam Budiarjo, hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi masyarakat. Sehingga pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi tersebut (Mariam Budiardjo ; 2008).

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menytakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi yang dilakukan saat ini di Indonesia sesuai dengan definisi demokrasi yakni suatu bentuk partisipasi dalam kehidupan politik pada suatu masyarakat (Orlando Patterson dalam Warren 1999, 158).

Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dihasilkan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.

Dalam Pasal 22 E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Lebih lanjut dijelaskan Undang-undang (UU) Republik Indoensia Nomor 10 Tahun 2008 Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin baik untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara. Oleh karena itu, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Sementara itu dalam pemilu ada beberapa persoalan yang sangat esensial yang timbul selama proses tersebut. Persoalan itu antara
1.Persepsi dan multitafsir atas regulasi atau Undang-Undang mengenai pemilu,
2.Persoalan pemilihan kepala daerah yang belum terselesaikan dan dapat mengimbas ke pemilihan legislatif dan eksekutif,
3.Persoalan politik di sejumlah daerah yg memang rawan persoalan,
4.Masa kampanye panjang yang dapat menyebabkan kekacauan ancaman ketertiban, kenyamanan dan keamanan social,
5.Gugatan selisih hasil pemilu yang merupakan pola memperoleh kemungkinan kekuasaan
6.Politik uang sebagai modus memenangkan pertarungan dlm pemilu

Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni :
1.Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri.
2.Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality),
3.Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih.
4.Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih.
5.Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004).

Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu.

Sejarah telah memperlihatkan bahwa sejak pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 sampai pemilu tahun 1982 pengawasan dalam pemilu belum ada. Ini membuktikan bahwa belum adanya kepedulian masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya pengawasan dalam pemilu. Regulasi pada masa Orde Lama maupun Orde Baru menurut Arbi Sanit (1997) menganut falsafah kekuasaan tradisional, yakni terdapatnya niat pemerintah sebagai pola hubungan kekuasaan dalam proses pengawasan pemilu, dimana pemilu diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai pelaksananya (prinsip pengawasan internal).
Kepedulian pengawasan dalam pemilu baru dilaksanakan pada tahun 1980. Penguasa pada saat itu segera membentuk badan pengawas pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Lembaga yang diberi nama Panitia Pengawasan Pelaksana (Panwaslak) ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya. Panwaslak sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR.
Secara teoritis pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan (Sondang P.Siagian). Selain itu definisi pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak (Suyamto).
Adapun fungsi pengawasan secara teoritis berfungsi sebagai:
1.Eksplanasi, pengawasan menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program yang dicanangkan berbeda.
2.Akuntansi, pengawasan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.
3.Pemeriksaan, pengawasan membantu menentukan apakah sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu memang telah sampai kepada mereka. dan
4.Kepatuhan, pengawasan bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para administrator program, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator, instansi pemerintah dan atau lembaga profesional.

Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 serta 2009. Namun dari sepuluh kali pemilu baru pada tahun 1982 ada lembaga pengawasan. Artinya pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu baru menyadari pentingnya pengawas pemilu. Ada beberapa model pengawasan yang pernah dilaksanakan di Indonesia.

1. Model Pengawasan Pemilu bagian Kejaksaan Agung
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (PANWASLAK) sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR. Perubahan ini lahir sebagai kekurang-efektifan parlemen karena dihasilkan pemilu tanpa pengawasan, dan kesulitan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak, telah memaksa pemerintah dalam memenuhi kebutuhan terciptanya dukungan masyarakat kepada mereka.

Keberadaan PANWASLAK merupakan organ pengawasan yang dibentuk oleh Panitia Pemilu di Indonesia (PPI). Lembaga ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya PANWASLAK dibentuk ditiap Panitia Pemilu mulai dari pusat hingga kecamatan. Komposisi keanggotaannya diambilkan dari unsur pemerintah, Golkar, PPP, PDI, dan ABRI.

PANWASLAK bertugas melakukan pelaksanaan terhadap pemilu anggota-anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dalam wilayah kerjanya masing-masing, sesuai dengan tingkatannya dan bertanggung jawab kepada Ketua Panitia Pemilihan/Panitia Pemungutan Suara yang bersangkutan.

Struktur yang digunakan adalah bahwa pada PPI, PPD I, PPD II dan PPS masing-masing dibentuk:
1.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat yang selanjutnya disebut PANWASLAKPUS;
2.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I yang selanjutnya PANWASLAK I ;
3.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut PANWASLAK II ;
4.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan yang selanjutnya disebut PANWASLAKCAM.

Berdasarkan struktur dan mekanisme seperti di atas, dalam penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru, terlihat jelas bahwa peran pemerintah memang sangat dominan. Struktur keorganisasian Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang pimpinannya terdiri dari para menteri dan pejabat tinggi negara dengan diketuai Menteri Dalam Negeri. Hal yang sama terlihat dalam panitia pemilihan, mulai dari tingkat pusat (Panitia Pemilihan Indonesia) sampai pada tingkat daerah (Panitia Pemilihan Daerah I dan II), mencerminkan hal tersebut. Struktur organisasi seperti itu terlihat pula pada panitia pengawas, baik di pusat (Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu Pusat - PANWASLAKPUS) yang diketuai Jaksa Agung maupun di daerah (Panwaslakda) yang secara ex-officio dipegang oleh aparat kejaksaan di wilayah masing-masing. Bahkan, di dalam struktur pelaksana pemilu terendah (tingkat desa/kelurahan), yaitu Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih), semangat anggotanya juga terdiri atas unsur pemerintah. Tak berlebihan bila sementara kalangan akhirnya menyebut pemerintah sebagai pelaksana tunggal berbagai pemilu Orde Baru.

Pengawasan pelaksanaan pemilu Indonesia selama Orde Baru menjadi wewenang PANWASLAK. Seluruh tahap kegiatan penyelenggaraan pemilu yang mencakup 12 tahap kegiatan sesuai dengan UU Pemilu diawasi oleh PANWASLAK. Lembaga ini sendiri merupakan salah satu badan dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang telah ditetapkan oleh UU sebagai satu-satunya lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu.

Kegiatan PANWASLAK yang terdiri dari semua unsur termasuk ketiga OPP sasarannya menerima laporan dari masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu. Masyarakat tak boleh terlibat dalam tugas pengawasan ini, kendati boleh memberikan masukan-masukan atas penyelenggaraan pemilu. Singkatnya, PANWASLAK merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang melakukan pengawasan pelaksanaan pemilu. Pengawas-pengawas lain di luar PANWASLAK tidak punya landasan hukum untuk melakukan pengawasan. Jaksa Agung Singgih selaku ketua PANWASLAK di penghujung Orde Baru (pemilu 1997) menegaskan masyarakat dilarang melakukan pengawasan dari alam TPS. Kalau memaksa diri akan berhadapan dengan pihak keamanan, karena wewenang pengawasan pemilu Orde Baru hanya dimiliki PANWASLAK.

PANWASLAK sendiri kemudian juga membuka Kotak Pos 6000 untuk menerima segala bentuk pengaduan pelanggaran pemilu. Jika melihat kecurangan, masyarakat memang diberi hak lapor ke PANWASLAK atau Kotak Pos 6000 yang disediakan menampung ketidakpuasan pemilu. Tetapi, mereka dilarang memberi statemen macam-macam yang dapat menganggu ketertiban umum. Bila hal itu dilakukan, aparat akan bertindak tegas. Kondisi ini diperparah dengan terdapatnya banyak pasal yang tak ada sanksi hukumnya dalam UU No. 1/1985. Ketentuan pidana dalam pelanggaran pemilu hanya pada pelanggar pasal 26, 27, 28 dan 29, sedangkan pelanggaran terhadap pasal lain tak ada ketentuan sanksi hukumnya. Padahal pada pasal-pasal tanpa ketentuan sanksi inilah justru paling banyak dilakukan pelanggaran. Padahal pula penyimpangan pemilu jika diterjemahkan sebagai perilaku birokrasi justru sekitar 60% (177 dari 296 kasus) pelanggaran dalam pemilu 1992 misalnya, adalah dilakukan oleh Lurah/Kepala Desa dan aparat-aparatnya. Selain itu, Ketua PANWASLAK yang selalu dijabat Jaksa Agung adalah kader bahkan pengurus Golkar, maka independensi PANWASLAK semakin sulit didapatkan selama masa pemilu di Orde Baru.

Keberadaan pengawas yang bersifat struktural tunjukkan pemerintah yang telah terdistorsi, dan menghilangkan hak serta kedaulatan rakyat, maka muncul aspirasi dalam masyarakat menjelang pemilu 1997 untuk membentuk lembaga pengawas pemilu independent. Karena, apabila diadakan secara struktural terlebih dahulu harus mengubah undang-undang. Dengan mekanisme itu rakyat dapat menjadi pengawas yang dibuktikan dengan kewajiban memperlihatkan kotak setelah diisi kepada yang hadir. Kalau anggota yang terorganisir dalam lembaga independent ini juga ikut mengawasi maka bila ada tingkah laku yang terbukti tidak benar bila menggunakan jalur organisasi untuk mengadu ke LPU atau pengadilan. Namun, pemerintah keberatan terhadap munculnya lembaga independent ini, karena mungkin ada anggapan lembaga tersebut akan ikut campur atau dianggap sebagai wujud tidak mempercayai pemerintah.

2.Model Pengawasan Bagian Masyarakat
Berawal dari lontaran isu yang dilemparkan oleh PPP, yang akan membentuk Lajnah (lembaga pengawas) pemilu hingga ke tingkat kecamatan, menjelang pemilu 1997, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bandung nekad mendirikan Lembaga Independen Pemantau Pemilu (LIPP) yang akan mengawasi pelaksanaan pemilu sejak pendaftaran pemilih sampai pengumuman perhitungan suara. Pendirian lembaga pengawas yang dideklarasikan di Bandung itu ternyata mendapat sambutan cukup luas dari para aktifis LSM, aktifis mahasiswa dan LBH di 10 propinsi lainnya di Indonesia.

Tak berselang lama, lahirlah KIPP (Komite Independen Pengawas Pemilu) yang dimotori oleh Goenawan Muhammad. Landasan filosofis didirikannya KIPP ini adalah realitas bahwa pemilu telah banyak dikotori dengan kecurangan dan manipulasi, hak rakyat diabaikan. Kelahirannya adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan demokrasi baru yang lebih baik, sehingga KIPP diorientasikan untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa mereka bisa bekerja untuk perbaikan.

Gayung pun bersambut atas kehadiran LIPP dan KIPP, sejumlah tokoh yang dipelopori oleh Luhut Sitompul, Kristiya Karatika, Suryo Susilo, Petrus Bala Pattyona, Doni Antares Irawan, Sophar M. Hutagalung, Usmar Apriyanto, dan M. Umar Wiranata, membentuk Tim Obyektif Pemantau Pemilu (TOPP). Institusi ini bersifat independen guna mendukung peran, posisi, serta fungsi PANWASLAK sebagai lembaga resmi yang berwenang melakukan pengawasan.

TOPP mencoba turut serta meningkatkan optimalisasi kualitas keja PANWASLAK, dengan memberikan masukan ide yang berkembang, baik dari hasil pemilu maupun aspirasi masyarakat.Sontak, pro-kontra sekitar kelahiran badan pemantau pemilu independen (partikelir) mengemuka ke publik secara luas. Kecaman dan pujian datang dari penjuru pihak atas ekstensi mereka. Namun, simpulan yang bisa diambil dari kelahiran mereka adalah memuncaknya ketidakpuasan rakyat terhadap eksistensi PANWASLAK yang sangat tidak independent, juru bicara partai penguasa dan cenderung memandulkan aspirasi serta kedaulatan rakyat. Lebih dari itu, kelahiran pengawas pemilu partikelir merupakan cermin kehendak rakyat waktu itu untuk segera terciptanya perubahan!

Kecurigaan besar, intimidasi dan sikap keras kepala dari penguasa Orde Baru beserta para pendukungnya, telah menjadikan keberadaan pemantau independent di atas kurang mendapatkan sambutan besar dari masyarakat luas. Namun, eksistensi dan kiprah mereka sebagai “lembaga tanding” dari PANWASLAK bentukan pemerintah dalam pemilu 1997 harus diakui membawa pencerahan dan perubahan besar untuk menumbuhkan kekuatan kritis masyarakat dalam mengontrol kekuasaan.

Pada pemilu pertama di era reformasi 1999, kondisi PANWASLAK dan keterbatasan posisi, peran dan fungsi pengawas (pemantau) pemilu independent seperti , KIPP, LIPP maupun TOPP, seperti yang terjadi disepanjang era kekuasaan Orde Baru, tidak lagi ditemukan. Keberadaan lembaga pengawas pemilu sudah tidak lagi menjadi monopoli pemerintah. Banyak sekali lembaga pengawas pemilu yang melakukan pemantauan secara mandiri, diantaranya adalah; KIPP, JAMPPI, UNFREL, Forum Rektor, YAPPIKA, WALHI, dan JPPR.

3. Model Pengawasan Pemilu Bagian Makamah Agung (MA)
Pemilu 1999 lalu memang terbilang istimewa, sebab untuk pertama kalinya tugas pengawasan pemilu diserahkan kepada lembaga yudikatif, yakni Makamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya. Pemilu 1999 memposisikan tanggung jawab pengawasan formal pada yudikatif, dalam wewenangnya untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas), sebagaimana diamanatkan pasal 24 UU No.3/1999. Panwas adalah institusi yuridis yang diberi tanggung jawab dan kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan memonitor proses pelaksanaan pada setiap tahapan pemilu guna menjamin terselenggaranya pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Makamah Agung (MA) dan jajaran di bawahnya yaitu Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN), sangat berperan dalam proses pelaksanaan pemilu 1999 lalu, karena disamping membentuk Panwas, yudikatif juga menempatkan personelnya dalam kepengurusan Panwas.

Banyak pihak mengakui bahwa pemilu 1999 telah berlangsung relative lebih langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER), lebih jujur dan adil dibandingkan penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru dalam kapasitasnya sebagai lembaga pengawasan pemilu pertama yang non partisipan, Panwas bersama-sama Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Panitia Pemilihan Indonesia, dapat dikatakan menjadi “tonggak sejarah” pelaksanaan pemilu di Indonesia, karena untuk pertama kalinya pasca hegemoni Orde Baru, bangsa Indonesia dapat melaksanakan pemilu dan penggunaan hak-haknya dengan baik, tanpa harus ditekan atau didintimidasi oleh pihak-pihak manapun.

Namun, harus diakui bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada lembaga Panwas. Panwas sebagai lokomotif pengawasan kerap kali disalahkan karena keterbatasannya, sehingga sejumlah pihak masih memandang sebelah mata eksistensi dan kinerjanya. Mulyana W. Kusumah (1999) menyatakan bahwa keterbatasan Panwas pada pemilu 1999 disebabkan karena Makamah Agung tidak efektif dalam menjalankan fungsi pengawsan yang diberikan padanya, sehingga perlu dilakukan revisi dalam pemberian fungsi pengawasan kepada MA tersebut. Selain itu, Alan Wall, Manajer Proyek Internasional Foundation for Election Systems (IFES) menyatakanbahwa dalam pengalaman internasional, sungguh-sungguh tidak biasanya MA (yudikatif) mengurusi lembaga yang akan menjatuhkan sanksi-sanksi jika terjadi pelanggaran atas peraturan pemilu. Dalam hal pengawasan pemilu, yudikatif, dalam hal ini Makamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya (Peradilan Tinggi dan Peradilan Tingkat Pertama/Negeri) turut serta sebagai fasilisator pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tahun 1999 (Panwas), sekaligus menempatkan komponen korps hakim sebagai anggota (bahkan pimpinan) Panwas. Hal tersebut adalah konsekwensi dari mandat yang diberikan oleh UU No. 2/1999 Tentang Partai Politik dan UU No. 3/1999 Tentang Pemilihan Umum.

Selain itu, dalam menyelenggarakan pengawasannya, Panwas tidak dapat mengadakan pengawasan terhadap administrasi keuangan, pengadaan, penyimpanan pendistribusian, dan penggunaan barang yang dilakukan KPU, PPI, PPD I, PPD II, PPS dan KPPS. Tugas Panwas pada hakekatnya adalah merupakan kegiatan penegakan hokum karena Panwas berkewajiban mengawasi agar ketentuan peraturan perundang-undangan pemilu ditaati dan dipatuhi agar terjamin terselenggaranya pemilu yang demokratis, transparan, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.

Karena itu, sebenarnya sejumlah Keputusan Makamah Agung 1999 berkaitan dengan Panwas cenderung membatasi ruang lingkup kerja Panwas karena terkesan hanya mengatur tentang pengawasan hanya pada tahapan penetapan nama calon anggota DPR dan tahapan pemungutan suara saja, dan ‘melupakan’ tahapan-tahapan lainnya yang menjadi ruang lingkup kerja pengawasan oleh Panwas.

Secara lebih detail dan teknis, problematika dan dilemma Panwas dalam pemilu 1999 bisa dinyatakan sebagai berikut:
1.Panwas mengalami kesukaran dalam melakukan tindakan pengawasan karena tidak ada pasal dalam UU atau PP yang memberi Panwas suatu otoritas yang bersifat final untuk menanggapi berbagai keberatan yang diajukan oleh warga masyarakat terhadap para calon legislatif tersebut.
2.Berbeda dengan pemantau pemilu yang cenderung pengetahuan teknis tentang electoral proccesnya terhitung tinggi, Panwas yang direkrut dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan, cenderung tereliminasi pemahamannya tentang pelaksanaan pemilu, sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Panwas ketika mengawasi pemungutan suara di TPS.
3.Minimnya pengetahuan anggota Panwas tentang electoral procces menyebabkan mereka lebih banyak diam “menunggu datangnya bola” dan bukan pada umumnya tugas Panwas yaitu “menjemput bola” (dalam artian Panwas harus aktif mencari apresiasi masyarakat tentang pelaksanaan dan pelanggaran yang terjadi dalam pemilu dan bukan hanya pasif menunggu datangnya pengaduan dari masyarakat).

Pelaksanaan pemilu 1999 dan pengawasan pemilu oleh Panwas maupun organisasi pemantau lainnya sebagaimana dipaparkan di atas, dengan segenap kekurangan, masalah, dan penyimpangan yang terjadi, betatpun juga telah menunjukkan capaian dan kemajuan strategis dalam transisi demokrasi. Lebih dari itu, harus diakui bahwa penyelenggaraan dan pengawasan pada pemilu 1999 jauh lebih baik dari semua pemilu yang telah terselenggara di Republik ini. Pemilu 1995 sekalipun, masih kalah demokratis, sebab pada saat itu lembaga independent pengawas pemilu belum ada/dibentuk.

4. Model Pengawasan Pemilu Bagian KPU
Berdasarkan Pasal 120 UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, untguk melaksanakan pengawasan pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Panitia Pengawas Pemilu ini dibentuk oleh KPU, sedangkan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi sampai Penitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu diatasnya. Demikian juga Panitia Pengawas Pemilu Presoden dan wakil Presiden, menurut pasal 76 UU nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden, tugas dan wewenang pengawasan pemilu Presiden dan wakil Presiden dilakukan oleh panitia Pengawas Pemilu seperti Panitia Pengawas Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Menindaklanjuti ketentuan UU no 12 tahun 2003 dan UU no 23 tahun 2003, KPU mengeluarkan Keputusan KPU nomor 88 tahun 2003 tentang Panitia Pengawasan Pemilihan Umum yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang Undang Pemilu. Suarat Keputusan KPU tersebut digunakan untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum.

Dalam ketentuan pasal 120 ayat 1 UU no 12 tahun 2003 secara jelas disebutkan bahwa fungsi dasar pengawasan pemilu dalam rangkaian proses penyelengaraan pemilu adalah guna mengemban tugas pengawasan. Tugas Utama pengawasan yang diamanatkan UU No 12 dan 23 tahun 2003 menuntut keaktifan dan progresifitas Panwas dalam mengawasi proses penyelengaraan pemilu dalam rangka mendorong agar pemilu dapat berjalan sesuai dengan azasnya langsung umum bebas dan rahasia.
Tugas utama pengawasan pemilu 2004 adalah :
1.Mengawasi semua tahapan penyelengaraan pemilu;
2.Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu;
3. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan pemilu;
4.Menerusakan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi wewenang

Dilihat dari pasal 122 UU no 12 tahun 2003 maka tugaspengawasan pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pengawasan Pemilu tidak terbatas pada pengawasan semata, tetapai juga mencakup tugas menerima laporan dan menindak lajuti laporan dan temuan kepada instansi wewenang.

5. Model Pangawasan Pemilu Bersifat Tetap.
Dasar Hukum Pemilu 2009 adalah pertama UU No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelengaraan Pemilu. Kedua UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Ketiga UU No 10 Tahun 2008Tentang Pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/KabupatenUU No 42 tahun 2008Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Undang Undang no 22 tahun 2007 Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dibantu oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Badan Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang bersifat tetap. Anggotanya diangkat sekali dalam 5 tahun atau bersifat tetap. Sedangkan Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri bersifat ad hoc. Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.
Bawaslu berkedudukan di ibu kota negara.Panwaslu Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. Panwaslu Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Panwaslu Kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan. Pengawas Pemilu Lapangan berkedudukan di desa/kelurahan. Pengawas Pemilu Luar Negeri berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.
Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
Jumlah anggota:
1.Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang;
2.Panwaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang;
3.Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang;
4.Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.
5.Jumlah anggota Pengawas Pemilu Lapangan di setiap desa/kelurahan sebanyak 1 (satu) orang.

Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua Bawaslu dipilih dari dan oleh anggota Bawaslu. Ketua Panwaslu Provinsi, ketua Panwaslu Kabupaten/Kota, dan ketua Panwaslu Kecamatan dipilih dari dan oleh anggota. Setiap anggota Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan mempunyai hak suara yang sama.

Selain itu komposisi keanggotaan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa keanggotaan Bawaslu adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Meneroka Sejarah dan Perkembangan Pers di Riau

Sejarah dan perkembangan pers di Riau tidak luput dari sejarah Riau sendiri. Sejarah dan perkembangan pers di Riau dimulai dari Kerajaan Melayu Islam di Riau daratan, Riau Kepulauan dan Semenanjung Malaysia serta Singapura. Setelah mengalami pasang-surut sejarah dan perkembangan pers di Riau saat ini cukup mengairahakan terutama dengan banyaknya penerbitan dan besarnya oplah yang terbut di Riau. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa sejarah dan perkembangan pers di Riau tidak pernah terlepas dari budaya Islam yang menjadi dasar budaya melayu sendiri.
Awal Perkembangan.

Sejarah pers Riau sebenarnya tak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Melayu-Riau. Kerajaan Melayu ini dahulu menyatu dengan wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia), Singapura, Riau daratan dan kepulauaan Riau. Sehingga awal perkembangan Pers di Riau lebih diwarnai sistem pemerintahan di kerajaan dan masyarakat Melayu pada saat itu yakni budaya Islam.

Tonggak sejarah Pers di Riau dimulai pada tanggal 23 Juli 1906 dengan lahir pula majalah Al-Iman pimpinan seorang juruwarta keliling Kerajaan Melayu Riau-Lingga, bernama Radja ’Ali bin Radja Moehammad Joesoef Al-Ahmadi Yang Dipertoean Moeda Riau, atau dipanggil Raja Ali Kelana. Walaupun bukan penerbit pertama di Indonesia, namun Al-Iman termasuk majalah awal mula yang terbit dan menyampaikan semangat perjuangan di Indonesia.

Dalam pengelolaan Al-Iman dia bekerja-sama dengan seorang ulama asal Minangkabau, Sjech Moehammad Tahir Djalaloeddin Falaki, dan Haji Abbas bin Moehammad Thaha. Majalah ini sepenuhnya dikelola para alim-ulama dan cendekiawan Melayu, termasuk Hitam Chalid dan Said Syeich Ahmad Al-Hadi. Di samping itu juga tercatat nama Sjech Salim al-Kilali, seorang saudagar batik Cirebon.

Karena iklim dan kondisi politik kolonial Balanda di Indonesia pada waktu itu senantiasa mencurigai setiap kegiatan yang berbau pergerakan, majalah Al-Iman terpaksa dicetak di Singapura dan didistribusikan ke daerah Sumatera, Jawa, Tanah Semenanjung Malaya, dan di Singapura sendiri. Percetakan yang mengerjakan Al Iman bernama Al-Ahmadiyah Press milik himpunan cendekiawan kerajaan Melayu-Riau-Lingga, Rusydiyah Club. Percetakan ini konon mulanya didirikan oleh Syarikat Dagang Ahmadi milik Radja Ali Pulau asal Midai, Kepulauan Natuna, dengan nama Mathba’at Al Ahmadiyah, yang kemudian terkenal dengan Al Ahmadiyah Press, beralamat di Jalan Lord Minto No. 50, Singapura. Majalah AL Iman diterbitkan oleh Al Iman Printing Company Ltd., Singapura dengan menggunakan tulisan Jawi (Arab-Melayu).

Adapun tujuan dari penerbitan majalah ini adalah untuk menggalang rasa persatuan dan kesatuan di kalangan anak negeri (bumiputra) dalam menghadapi penindasan penguasaaan kolonial Belanda. Selain itu majalah ini meryupakan alat komunikasi dan penyampaiaan aspirasi masyarakat terhadap penjajahan di Indonesia,
Selain mengelola penerbitan Al-Iman Radja Ali kelana juga menerbitkan beberpa buku. Pada tahun 1898 Radja Ali kelana menerbitkan buku berjudul Perhimpunan Plekat, yang juga dicetak di Mathba’at Al Riauwiyah, Pulau Penyengat. Beberapa buku lain yang diterbitkan Radja Ali kelana adalah Kumpulan Ringkas Al Iman (1909), Bughyat al-Ani fi Huruf al-Ma’ani (1922), dan Rencana Madah (1926). 2)
Menjelang Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, atau 22 tahun setelah kehadiran Al Iman, di Singapura terbit pulamajalah MASA yang dikelola para pengarang asal Riau, Radja Moehammad Joenoes Ahmad Riauwi dan Farid Djamil Moeda. Majalah yang terbit setiap awal bulan Arab dan menggunakan tulisan Arab-Melayu (Jawi) ini dicetak pada percetakan Mathba’at Djamiliyah Farid Djamil Moeda di Jalan Sulaiman No. 19, Muar, Johor.

Majalah berformat 30 x 20 cm. ini memuat aneka berita, riwayat, sejarah, dan pengetahuan umum. Dalam edisinya 16 Mei 1934, Tahun VI, di halaman 43, MASA memuat berita tentang lagu Indonesia Raya yang dilarang oleh penguasa Kerajaan Hindia Belanda (Nederlans Oost Indie). Ditulisnya bahwa lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan dengan mulut (suara), kecuali hanya dengan musik saja. 30

Masa Penjajahan Jepang
Pada tahun 1944 masa penjajahan Jepang, di Pekanbaru terbit sebuah media mingguan propoganda Jepang Riau Kobo yang dikelola badan propoganda Jepang, Seng Deng. Mingguan ini dikelola dengan memanfaatkan tenaga seorang wartawan Indonesia yang aktif dalam gerakan kemerdekaan, bernama Sboe Bakar Abdoeh. Pada tahun yang sama terbit pula majalah Fajar Asia di Syohnan To (Singapura). Majalah ini berisi artikel feature dalam bahasa Indonesia sebagai propoganda Jepang tentang Asia Timur Raya. Di samping sebagai media propoganda Jepang, majalah ini juga dimanfaatkan para wartawan muda Indonesia dan Semennanjung Malaya untuk kmenyalurkan aspirasi mereka tentang kemerdekaan. Mereka terinspirasi dan terangsang oleh kebangkitan kaum muda Mesir dan Timur Tengah.

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II (1945) terbit pula majalah bulanan Kenchana, yang bertujuan untuk persatuan Melayu Raya Indonesia dan Semenanjung Malaya. Majalah yang diterbitkan di Singapura ini ditangani oleh Harun Aminurrashid, Naz Achnas dan Amir Haji Omar, dan diisi oleh banyak jurnalis Melayu dari Riau dan para penulis dari Indonesia. Sebagaimana umumnya media yang mengandung misi perjuangan waktu itu, majalah Kenchana pun tidak berumurn panjang. Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, majalah inipun tak terbit lagi.
Selain penerbitan yang sudah ada di Pekanbaru terbit pula surat kabar Pekanbaru Shimbun yang dikelola sendiri oleh orang-orang Jepang sebagai alat komunikasinya.

Masa Kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan Indonesia koran Riau Koho diambil-alih oleh para pemuda pejuang namanya mereka ganti menjadi Perdjoeangan Kita. Pimpinan redaksinya dipegang oleh Aboe Bakar Abdoeh yang tadinya mengasuh surat kabar Riau Koho bersama Jepang. Perdjoeangan Kita mempunyai sasaran untuk membangkitkan semangat para pemuda pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Koran ini diterbitkan dengan tiras 3000 eksemplar, suatu angka yang cukup besar untuk ukuran zaman revolusi itu.
Waktu Agresi Belanda II (1948-1949) di Pekanbaru terbit koran stensilan Perintis. Walaupun bentuknya sangat sederhana dan sirkulasinya terbatas, koran ini telah berjasa besar dan sangat berperan dalam membangkitkan semangat perjuangan anak bangsa di Kota Bertuah ini.

Pada masa perang gerilia di daerah pengungsian, yakni kampung Dua Pelanduk, Tanjung Palas, pedalaman Dumai di pantai timur Sumatera, lahir pula mingguan stensilan Republiken. Mingguan ini dikelola oleh Nurdin sebagai Pemimpin Redaksi dan Sersan Mayor CPM Nahar Efendy sebagai Penanggung Jawab.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI 27 Desember 1949, di Riau terbit beberapa surat kabar harian atau mingguan. Tidak hanya di kota-kota kabupaten seperti Pekanbaru, Tanjung Pinang dan Rengat, tapi merambah sampai ke ibukota kewedanaan dan kecamatan. Peluang suasana liberal semasa Republik Indonesia Serikat (RIS), yang setahun kemudian (27 Desember 1950) diutuhkan kembali oleh Bung Karno menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), betul-betul dimanfaatkan oleh para praktisi pers Riau yang sudah mulai membentuk jati dirinya sejak awal abad itu.
Pada tahun 1950 di Tanjung Pinang terbit media stensilan empat halaman bertajuk Bulletin IPPI pimpinan Korengkeng. Lima tahun kemudian bulletin ini berganti baju menjadi Sari Pers, diasuh orang yang sama dan juga di reproduksi secara stensilan empat halaman. Media yang kedua ini bertahan sampai tahun 1957.

Tahun 1954, di Bagansiapiapi terbit surat kabar stensilan Pewarta Kita sebagai penyeimbang dari tiga koran beraksara Cina dan berbahasa Mandarin (juga stensilan) yang di terbitkan oleh tiga kelompok etnis Tionghoa berbdea ideologi di kota tersebut. Koran pertama berkiblat ke Peking (Republik Rakyat Tiongkok yang berpaham Komunis yang atau lazim disebut kelompok go kak atau ”bintang lima”). Yang kedua berkiblat ke Taiwan (Kwo Min Tang, atau Cina Nasionalis, dikenal sebagai kelompok cap ji kak atau ”bintang 12”), dan yang ketiga adalah milik WNI keturunan yang bernaung dibawah panji-panji partai Baperki, yang diketuai Siauw Giok Tjhan.

Pewarta Kita, surat kabar pertama dan satu-satunya koran berbahasa Indonesia yang terbit di Bagansiapiapi saat itu, diasuh oleh suatu generasi multi usia dengan aneka latar belakang. Mereka adalah A. Baza alias Pak Benggol (pensiunan bea cukai), Dollah Achmad (pensiunan polisi), M. Arsyad dan Djohan Joenoes (karyawan Bank Rakyat Indonesia), A. Togo Hanafie (tokoh pemuda), dan Moeslim Roesli (wartawan Harian Warta Berita dan majalah WAKTU, Medan).

Pada tahun 1956, di Pekanbaru terbit suratkabar mingguan Kumandang pimpinan B.M. Thahar yang nada pemberitaan dan tajuk rencananya cenderung merupakan terompet gerakan Dewan Banteng di Sumatera Tengah. Di tahun yang sama, di Selatpanjang, terbit sebuah mingguan yang dipimpin oleh trio A.Manan Thalib, seorang seniman, A.Gaffar Noor, jebolan Akademi Wartawan Effendi Harahap Institute di Medan yang pernah menulis untuk koran Padang Nippo di Padang pada zaman Pendudukan Jepang (Perang Dunia II), dan Idris Rajiman, seorang penulis tempatan. Mingguan stensilan ini cuma terbit selama setahun saja.

Setahun kemudian terbitlah mingguan Bahtera, pimpinan Abdoel Moeis Hadjads, sebagai pendukung perjuangan pembentukan Provinsi Riau yang ingin berpisah dari Provinsi Sumatera Tengah. Kedua media tersebut sama-sama dicetak di Padang, karena Pekanbaru belum memiiliki unit percetakan yang sanggup mencetak koran ukuran plano. Sirkulasi dan distribusi kedua koran tersebut meliputi wilayah Keresidenan Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Waktu itu ketiga wilayah masih berada dalam kawasan Provinsi Sumatera Tengah, dengan ibukotanya Bukittinggi, yang kemudian dipindahkan ke Padang.
Pada tahun 1958 lahir pula mingguan Taruna yang juga dicetak di luar daerah. Koran Kumandang, Bahtera, dan Taruna berhenti terbit akibat terjadinya peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada awal 1958. 11)

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), di Riau terbit koran-koran Riau Pos (1959), Sinarmasa (1961), Suluh Riau, Gotong Royong, Duta Riau, dan Obor (1962). Kemudian menyusul pula Teladan Minggu dan Angkatan Bersenjata edisi Tanjung Pinang (1963).

Pada bulan Maret 1959 terbitlah suratkabar mingguan Riau Pos empat halaman, yang dicetak di Jakarta. Koran ini dimotori oleh Letnan Kolonel (pur). Hassan Basri, bersama Wan Sulung (Selatpanjang), dan Tengku Marhaya (Pekanbaru). Kru Riau Pos terdiri dari Abu Hasyim K. sebagai Pemimpin Umum, serta Zoechrij Lilith dan G.N.T. Ilyas sebagai redaksi. Riau Pos pertama ini terbit dengan izin Penguasa Perang Daerah (Peperda) Swatantra Tingkat I Djakarta Raya. Riau Pos ini merupakan koran Riau yang punya dua ”markas” (Pekanbaru dan Jakarta), Koran ini menyandang sebuah trilogi semboyan: ”mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945

Karena berbagai kendala, terutama jarak yang sangat jauh antara kedudukan redaksi Riau Pos dengan lokasi pecetakan, masalah transportasi dan distribusi, serta kesulitan teknis lainnya, koran milik Letkol. Hassan Basri ini akhirnya terpaksa juga menyerah kepada keadaan, dan mengistirahatkan diri sejak 1961.
Kekosongan media yang ditinggal oleh kepergian Riau Pos ini kemudian langsung diisi oleh kelahiran koran Sinarmasa yang terbit pada 1961. pengelolanya adalah Wan Sjafroeddin Idroes (Pemimpin Umum), A. Moeis Hadjads (Pemimpin Redaksi), Boestamam Halimy (Wakil Pemred), serta Mawardittam dan A. Rahman Junus (redaksi). Mulanya koran ini terbit tiga kali seminggu, berupa stensilan 16-20 halaman, dengan oplah beberapa ratus eksemplar saja. Kemudian ia tampil dalam format plano empat halaman, dicetak di Padang, dengan frekuensi terbit menjadi mingguan. Mereka dibantu dengan karya karikatur goresan Tenas Effendy, dan berita-berita lokal oleh wartawan RRI Zainal Abbas, Marlis Ramali, dan Arisun Agust.

Koran Riau berikutnya yang memperoleh SIT (Surat Izin Terbit) dan SIPK (Surat Izin Penerbit Koran) adalah suratkabar Obor. Walaupun SIT-nya harian tapi hanya mampu terbit dua sampai tiga kali seminggu. Inilah surat kabar pertama dan satu-satunya yang dicetak setempat waktu itu di Pekanbaru. Format-nya adalah tabloid (setengah plano) dengan ketebalan 8 sampai 12 halaman dan dikerjakan pada Percetakan Otonom milik Pemerintah Kebupaten Kampar, di Pekanbaru. Sebelum pindah ke Bangkinang ibukota Kabupaten Kampar berikut kedudukan Bupati dan seluruh perangkatnya berada di Pekanbaru. Lokasi Percetakan Otonom waktu itu persis di sudut Jalan Riau dengan Jalan Mawar, Pekanbaru. Percetakan ini sudah sangat tua, konon bikian tahun 1890. seluruh hurufnya masih disusun dengan tangan (handzet), mulai dari judul sampai ke semua naskah berita. Puluhan, bahkan ratus ribu huruf harus disusun huruf demi huruf, baris demi baris dan kolom demi kolom untuk setiap penerbitan.

Surat kabar Riau lainnya yang terbit pada era ini adalah harian pagi Suluh Riau di bawah asuhan M. Ali Rasahan, Eddy Mawuntu, dan Soedirman Backry (1962-1965) yang terbit di Tanjungpinang, disusul oleh majalah bulanan budaya stensilan Sempena, juga terbit di Tanjungpinang dengan pengelola H. Soedirman Backry, Samsulkamar A.H., Rona Sjuib, dan Rossanjoto (1962-1967) Pada tahun yang sama (1962) di Pekanbaru lahir pula mingguan stensilan Gotong Royong asuhan Burhanuddin Ajam dan Mawardiittam, dan koran minggu Duta Riau cetakan Medan yang digarap oleh Muhammad S. dan Busra Algerie.

Pada saat-saat kritis menjelang pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI), di Riau terbit lagi lima surat kabar, yakni Teladan Minggu di Tanjung Pinang (1963), Angkatan Bersenjata edisi Tanjungpinang (1963-1964), Demokrasi (1964-1965), Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru (1964-1968), dan Berita Rumbai (1965).
Selain Obor (1962-1966) dan Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru (1964-1968) koran-koran pada era Demokrasi Terpimpin ini tak ada yang berusia lanjut. Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru yang dipimpin Perwira Penerangan Korem 031/Wirabima, Kapten Zuhdi, merupakan koran pertama berukuran plano yang di cetak di Pekanbaru, menggunakan unit Percetakan ’Daya Upaya hasil perjuangan mati-matian PWI Cabang Riau. Unit percetakan tersebut ditampatkan di Jalan Kuantan Raya 101, yang pernah menjadi ”markas” Harian Riau Pos sebelum menempati gedung sendiri di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang (sekarang H.R. Subrantas) KM 10 1/2, tanggal 5 Maret 1997.

Masa Orde Baru
Selama 12 tahun pertama Orde Baru (1966-1978), di Riau hampir tidak sebuahpun suratkabar yang berhasil hidup, selain organ resmi humas Pemda Provinsi, yakni Gema Riau. Memang pernah terbit sebuah majalah kanak-kanak , Nenek Kebayan, sebuah mingguan, Sempana, serta dua majalah budaya, Solarium dan Canang, tapi sayang tak satupun yang berumur panjang.

Gema Riau diterbitkan oleh Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur, setelah Kolonel Arifin Achmad memangku jabatan Gubernur Riau menggantikan Brigjen. Kaharoedin Nasoetion di penghujung 1966. Pada mulanya Gema Riau terbit hanya berupa stensilan satu halaman ukuran kuarto. Distribusinya terbatasuntuk para pejabat dan kantor-kantor Pemerintah, ditambah beberapa anggota masyarakat yang berminat saja. Pada bulan September 1967, Arifin Achmad merekrut Drs. Rustam S. Abrus (alm.), untuk menjadi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur Riau. Waktu itu dia masih wartawan harian Duta Masyarakat di Jakarta.

Surat kabar organ resmi Pemda Riau Gema Riau sempat bertahan sampai tahun 1980-an, dengan mengalami beberapa kali regenerasi pengelola sesuai dengan pergantian pejabat Humas Pemda. Demikian juga stafnya mengalami beberapa kali penggantian dan penambahan sesuai kebutuhan. Peran Gema Riau ini kemudian digantikan oleh mingguan Warta Karya (1987) pada era Gubernur Imam Munandar dengan Kepala Biro Humasnya Drs. Aparaini Rasyad.

Melanjutkan misi dan peran Gema Riau yang sempat eksis di Bumi Lancang Kuning selama hampir 20 tahun, Imam Munandar mendukung ide penerbitan koran baru tersebut. Malah konon dia sendiri yang memilih nama Warta Karya, dengan penerbitnya Yayasan Penerbit dan Percetakkan Pers ”Riau Makmur” yang juga dipimpin oleh Imam Munandar. Pengelolanya adalah Sekwilda Riau Ir. Firdaus Malik, sedang Pemimpin Redaksi dijabat oleh drs. Asparaini Rasyad, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur Riau.

Namun dalam Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tertanggal 22 September 1987, sebagai pengganti Surat Izin Terbit (SIT) Gema Riau, disebutkan bahwa para pengelola Warta Karya adalah Drs. Asparaini Rasyad (Pemimpin Umum), Zoechrij Lilith (Pemimpin Redaksi), dan Drs. Ruskin Har (Pemimpin Perusahaan).

Baru berjalan kurang dari setahun, penerbitan ini sudah mengalami kemacetan akibat kelemahan manajemen, padahal dukungan dana Pemda Riau cukup tersedia. Mingguan Warta Karya ternyata bernasib sama dengan pendahulunya, yang akhirnya terpaksa menghentikan penerbitan.

Awal Mulanya Riau Pos
Ketika Gubernur Riau di pegang oleh Soeripto, pertama sekali, dia memutuskan untuk menghidupkan kembali media pemda, dengan semangat baru, para pengelola baru, dan bahkan nama baru. Maka diajukannyalah permohonan penggantian SIUPP dari Warta Karya menjadi Riau Pos, dengan para pengasuhnya Zuhdi SH sebagai Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi, dan J.K. Aris (Pemimpin Perusahaan). Dengan diperolehnya persetujuan Menteri Penerangan tertanggal 28 Agustus 1989, maka mingguan Riau Pos pun mulai beredar dengan melanjutkan nomor edisi Warta Karya sebelumnya.

Setahun kemudian Riau Pos kembali bernasib sama dengan pendahulunya, yakni mengalami kemacetan karena lemahnya sistem pengelolaan (manajemen). Kemudian Riau Pos dikelila oleh Rida K. Liamsi, mantan pengasuh GeNTA yang hijrah ke harian Suara Karya Jakarta. Dibawah komando Rida K Liamsi Yayasan Penerbit Riau Makmur, pengayom Riau Pos, akhirnya berhasil menemukan mitra usaha baru Jawa Pos Group’ dari Surabaya. Kerjasama ini terjalin berkat jasa wartawan senior Dahlan Iskan, kolega Rida dari majalah berita mingguan TEMPO, Jakarta.

Bulan Juni 1990 tercapailah kesepakatan resmi antara YPP ’Riau Makmur’ dengan ’Jawa Pos Group’. Dan mulai tanggal 17 Januari 1991, Riau Pos pun mulai merajut sejarah barunya sebagai koran harian pertama di Riau. Sampai sekarang kemitraan itu sudah berjalan lebih 16 tahun. Dan kini Riau Pos sudah berkembang biak dan beranak pinak menjadi 12 media cetak (11 koran dan satu majalah), dua media elektronik (TV), enam unit perangkat cetak koran, sedang jangkauannya telah menggurita, menggapai sampai ke empat provinsi yakni Riau, Kepri, Sumatera Utara, dan sumatera Barat.

Tahun 1998 merupakan tonggak sejarah baru bagi pertumbuhan pers perjuangan di indonesia, lebih-lebih di Riau. Seiring terbukanya pintu reformasi untuk mendirikan partai-partai baru, media cetakpun muncul bak cendawan tumbuh. Sejak saat itu dunia penerbitan Riaupun ikut gegap gempita dengan kelahiran sejumlah penerbitan baru. Pertumbuhan pers Riau betul-betul booming sejak 1998. Puluhan koran harian, mingguan dan majalah lahir silih berganti. Beberapa di antaranya ada yang reinkernasi dengan gonta ganti nama.
Dalam tahun pertama reformasi (1998) terbit tabloid mingguan Pantau, majalah berita Tema, tabloid berita Azam, majalah budaya Sagang, semua di Pekanbaru, dan harian Lantang di Batam. Tahun berikutnya (1999) muncul pula majalah bulanan Madani, tabloid berita Mediator Solusi, harian Suara Kita, harian Media Riau, majalah Utama, harian Pekanbaru Sore, dan mingguan Cahaya Riau di Pekanbaru, serta mingguan Serantau di Tanjungpinang. Cuma sayang umumnya tidak mampu bertahan lama, kecuali Sijori Pos, Azam, Lantang, Media Riau, dan Sagang. Suara Kita yang kemudian berganti nama menjadi Suara Riau, tadinya diperkirakan bakal bertahan lama, dan bisa menjadi pesaing Riau Pos. Tapi ternyata hanya bertahan dua tahun.

Tahun 2000 nafsu menerbitkan koran malah kian menggebu-gebu. Waktu itu tampil pula harian Riau Mandiri, Riau Express dan Sijori Mandiri yang didukung modal yang cukup kuat, serta sejumlah tabloid mingguan

Pemberdayaan Masyarakat Riau Dalam Menghadapi Terpaan Media Penyiaran

Komunikasi massa merupakan organisassi media menciptakan dan meyebarkan pesan-pesan pada masyarakat luas dan proses pesan tersebut dicari, digunakan dan dipengaruhi oleh audiens. Organisasi media menyebarkan pesan yang mempengaruhi dan mengambarkan budaya masyarakat, dan media memberikan informasi kepada audiens yang heterogen, menjadikan media sebagai bagian dari kekuataninstitusi masyarakat. (Stephen W Litteljohn)
Denish McQuil mengatakan bahwa media massa merupakan :
• Jendela (windaws), yang memungkinkan kita untuk melihat lingkungan kita lebih jauh. Penafsir (interpretasi) yang membantu kita memahami pengalaman,
• Landasan (platform) atau pembawa yang menyampaikan informasi,
• Komunikasi Interaktif (interaktive communication) yang meliputi opini audiens
• Penanda (Signposts) yang memberikan kita intruksi dan petunjuk
• Penyaring (filters) yang membagi pengalaman dan fokis terhadap orang lain,
• Cermin (mirror) yang merefleksikan diri kita dan
• Penghalang (barriers) yang menutupi kebenaran.

I. KERANGKA TEORITIS
Selama ini perspektif masyarakat sangat negatif dalam memandang media massa khususnya media penyiaran yang ada. Masyarakat selalu menuding siaran yang mengandung kekerasan yang menyebabkan seorang anak dirumah menjadi lebih beringas. Seorang guru bahkan sering berkomentar bahwa murid-muridnya membandel setelah adanya siaran tinju yang ditayangkan oleh sebuah station penyiaran tertantu. Kebiasaan sebuah station menyiarkan iklan tentang “life stile’ dituding menybabkan tingkat konsumeritas di suatu daerah menjadi tinggi.

Pandangan ini mungkin sesuai dengan perspektif sebagian kalangan yang mengatakan bahwa masyarakat tidak berdaya ketika mengkonsumsi (diterpa) oleh media massa. Beberapa teori bahkan membenarkan perspektif tersebut. Salah satu yang mendukung perspektif tersebut adalah teori masyarakat massa (Mass Society Theory) yang diusung oleh Kornhouser (1959), Bromson (1961), Giner (1979) (Danis Mc Quil 1991). Dalam teoti ini dijelaskan bahwa, rata rata orang merupakan korban media massa. (Richad West and Lynn H Turner 2007). Hasil penelitian dan pengamatan mereka menunding media yang menyebabkan rusaknya moral individu bahkan kelompok dari suatu komunitas.

Pandangan ini diperkuat oleh Wilbur Schramm dengan teori peluru (Bullet Theory). Menurut Schramm seorang komunikator dapat menembakan peluru (pesan) komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif dan tidak berdaya (Onong U. Effendy). Pandangan yang diusung oleh Schramm ini atau lebih terkenal Hipodermik Needle Theori mengatakan terjadi kepanikan setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasion radio CBS di amerika yang berjudul “The invation From Mars“ tahun 1950-an. Akibat siaran tersebut timbul kepanikan pada masyarakat Amerika akan invasi dari planet Mars. Ini menunjukan ketidak berdayaan masyarakat (Pasif) ketika diterpa oleh media penyiaran.

Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia pada tahun 80-an. Beberapa sinetron yang disiarkan oleh radio swasta di berbagai kota di Indonesia mengambarkan suatu yang riil terjadi sebagaimana yang digambarkan dalan siaran tersebut. Darama Misteri Gunung Merapi yang disiarkan di radio mengambarkan akan suatu mistik yang terjadi di sekitar gunung merapi di Sumatera Barat. Bahkan dengan antusiasnya masyarakat drama ini, beberapa kali dibuat menjadi film layar lebar dan sukses di pasaran. Hal yang sama juga terjadi pada drama Brama Kumbara yang ditayangkan oleh beberapa siaran radio swasta di tanah air. Padahal cerit ayang disiarkan oleh radio tersebut hampir sebagian besar merupakan fiksi belaka.

Gambaran diatas seolah-olah menunjukan ketidak-berdayaan (Pasif) masyarakat ketika diterpa oleh media penyiaran. Padahal siaran yang ditayangkan televisi dan radio tersebut merupakan karya fiksi saja. Namun rekasi yang terjadi di masyarakat sangat fenomenal.
Ironinya pandangan diatas kemudian dibatah oleh Elihu Katz dan, Jay G. Blumner dan Michael Gurevitch (Richad West and Lynn H Turner 2007). Dalam dari hasil penelitian mereka kemudian ditemukan teori kegunaan dan gratifikasi (Uses and Gratification Theory). Teori ini menyatakan bahwa orang secara aktif mencari media tertentu dan isi (content) tertentu untuk menghasilkan kepuasan (atau hasil) tertentu. Dalam pengembangan teori ini dikatakan orang aktif karena mereka mampu untuk mempelajari dan mengevaluasi berbagai jenis media untuk mencapai tujuan tertantu.
Seseorang akan menonton suatu acara dari sebuah lembaga penyiaran disebakan adanya kegunaan (use) bagi meraka dan penghargaan (gratifikasi) dari upaya yang dilakukanya. Mereka akan menonton berita, apabila mereka membutuhkan informasi baik daerah nasioanl maupun mancanegara. Seorang ibu akan lebih mencari siaran di televisi maupun di radio tentang bagaimana cara memasak yang enak dan cepat daripada menyaksikan siaran berita. Seorang politikus akan mencari berita atau informasi tentang siatuasi daerah pemilihannya (constituen) daripada menonton siaran olahraga.

Begitu juga mereka akan menonton siaran syang berhubungan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Seorang dokter akan banyak menonton sinetron yang berhubungan dengan kesehatan daripada sinetron tentang aksi laga. Begitu juga sebaliknya seorang aparat kepolisian akan menyaksikan film aksi laga dari pada film drama.
Adapun asumsi-asumsi dasar teori ini adalah :
1. Khalayak dianggap aktif; artinya, sebagian penting dari pengunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengkaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipengaruhi media hanyalah bagian yang rentan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpengaruhi melalui konsumsi media amat tergantung pada prilaku khalayak yang bersangkutan.
4.Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya,orang dianggapa cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu
5. Penilaiaan tentang arti kulturasi dari media massa harus ditangguhkan sebalum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak. (Blumer dan Katz, 1974)
Asumsi ini jelas menerangkan bahwa khalayak (pemirsa media) yang aktif dan pengunaan yang berorientasi pada tujuan yang jelas. Asumsi diatas menjelaskan kebutuhan pada pilihan terhadap sebuah media berada diangan khalayak atau pemirsa. (Richad West and Lynn H Turner 2007) Hal ini sangat bertentangan sekali dengan asumsi sebelumnya khalayak yang pasif ketika mereka diterpa oleh media massa.

II. KERANGKA NORMATIF
Pasal 6 UU no 32 tahun 2002 dijelaskan bahwa Penyiaran dilakukan oleh satu sistem penyiaran nasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam UU No 32 tahun 2002 Sistem Penyiaran Nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya dasar, asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional.

Sebelum membahas mengenai sistem penyiaran ada baiknya kita memahami beberapa istilah yang terkait dengan organisasi penyiaran sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Penyiaran yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU 32/2002). Pertama, UU 32/2002 menggunakan istilah ‘lembaga penyiaran’ seperti lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas dan seterusnya. Apa yang dimaksud dengan ‘lembaga penyiaran’ ini? Menurut Ketentuan Umum UU 32/2002 “lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[1] Dari sini dapat kita simpulkan bahwa pengertian lembaga penyiaran adalah sama dengan penyelenggara penyiaran.

Ada pula istilah ‘jasa penyiaran’ yang dalam UU 32/2002 terbagi atas jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi sebagaimana ketentuan pasal 13: “Jasa penyiaran terdiri atas: a) jasa penyiaran radio dan; b) jasa penyiaran televisi”.[2] Undang-undang tidak memberi definisi mengenai apa yang dimaksud dengan jasa penyiaran, dan apa yang membedakannya antara lembaga penyiaran dan jasa penyiaran.

Dengan demikian terdapat empat istilah dalam Undang-undang Penyiaran yaitu: lembaga penyiaran, penyelenggara penyiaran, jasa penyiaran dan stasiun penyiaran. Adanya empat istilah ini agak membingungkan dan terkesan berlebihan, tidak jelas kapan kita harus menggunakan salah satu istilah itu dan kapan harus menggunakan istilah yang lainnya karena pada dasarnya semuanya mengacu pada pengertian yang sama. Suatu lembaga penyiaran sudah tentu akan menyelenggarakan siaran dan menawarkan jasanya ke berbagai pihak (utamanya pemasang iklan), dan setiap lembaga penyiaran sudah pasti memiliki stasiun penyiaran.

Di Amerika Serikat, ke-empat istilah tersebut dirangkum hanya dalam satu istilah yaitu broadcast station atau stasiun penyiaran. Head-Sterling (1982) mendefinisikan stasiun penyiaran sebagai: “an entity (individual, partnership, corporation, or non-federal governmental authority) that is licensed by the federal government to organize and schedule program for a specific community in accordance with an approved plan and to transmit them over designated radio facilities in accordance with specified standars”.[4] Artinya: “suatu kesatuan (secara sendiri, bersama, korporasi, atau lembaga yang bukan lembaga pemerintahan pusat) yang diberi izin oleh pemerintah pusat untuk mengorganisir dan menjadwal program bagi komunitas tertentu sesuai dengan rencana yang sudah disetujui dan menyiarkannya untuk penerima radio tertentu sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan”.

Definisi ini memberikan pengertian yang menunjukkan unsur-unsur elemen stasiun penyiaran yang mencakup atau meliputi: kepemilikan, perijinan, fungsi, kegiatan menyiarkan (transmisi), bahkan juga sasaran siaran (target audien) yang ingin dituju. Definisi ini juga menunjukkan bahwa suatu stasiun siaran dapat dikelola oleh perorangan atau bersama-sama atau dikelola perusahaan atau lembaga tertentu.

Undang-undang Penyiaran tampaknya menggunakan istilah ‘stasiun penyiaran’ khusus untuk menekankan pada aspek teknik yaitu segala hal yang terkait dengan pemancaran sinyal siaran atau transmisi padahal stasiun penyiaran tidaklah selalu melulu terkait dengan masalah teknis penyiaran semata sebagaimana pengertian yang diberikan Head-Sterling tersebut di atas.

Istilah lain yang sering digunakan adalah ‘media penyiaran’. Istilah yang terakhir ini tampaknya lebih bisa diterima karena memiliki pengertian yang luas yang meliputi organisasi, kepemilikan, perijinan, fungsi, kegiatan dan sebagainya. Khusus dalam konteks ilmu komunikasi, istilah media penyiaran tampaknya lebih cocok karena media penyiaran merupakan salah satu media atau channel untuk menyampaikan pesan kepada khalayak luas. Penulis tidak ingin terlalu mempersoalkan antara kedua istilah tersebut. Dalam buku ini istilah ‘stasiun penyiaran’ dan istilah ‘media penyiaran’ digunakan secara berganti-ganti.

Mereka yang ingin mendirikan stasiun penyiaran harus terlebih dahulu memikirkan untuk membuat perencanaan stasiun penyiaran seperti apa yang akan didirikan. Pertanyaan pertama tentu saja mengenai apakah stasiun penyiaran yang akan didirikan itu merupakan stasiun penyiaran televisi atau stasiun penyiaran radio. Jika pertanyaan pertama ini sudah terjawab maka hal lain yang perlu dipikirkan adalah mengenai: A) jenis stasiun penyiaran dan; B) jangkauan siaran.

Istilah lainnya adalah ‘stasiun penyiaran.’ Juga tidak terdapat definisi mengenai hal ini. Istilah stasiun penyiaran hanya muncul ketika undang-undang pasal 31 menjelaskan bahwa “lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal”.

Sedangkan Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran, baik Lembaga Penyiaran Pemerintah, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus maupun penyelenggara siaran lainnya, yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berpedoman pada perturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 UU no 32 tahun 2002).

Dalam pelaksanaannya sietem penyiaran tersebut dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam UU no 32 tahun 2002 tersebut dijelaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia, adalah lembaga negara yang bersifat independen yang berada di Pusat dan di daerah yang tugas dan wewengnya diatur Undang Undang sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.Berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah.

Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.

Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Guna melaksanakan fungsinya KPI memiliki wewenang :
1. Menetapkan standar program siaran
2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman prilaku penyiaran.
3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman prilaku penyiaran serta standar program siaran
4. Memeberikan sangsi terhadap pelanggaran perturan dan pedoman prilaku penyiaran serta standar program siaran
5. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah lembaga penyiaran dan masyarakat.
Tugas KPI adalah :
1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benarsesuai dengan hak asazi manusia.
2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran
3. Ikut membangun iklilm persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan idustri terkait
4. Medmelihara tatanan informasi nasioanal yang adil, merata dan seimbang
5. Menampung, meneliti dan melajuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyrakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesioanlitas di bidang penyiaran

III. PROVINSI RIAU
Selajutnya kita tinjau kondisi provinsi Riau saat ini, secara GEOGRAFIS : Luas wilayah Provinsi Riau adalah 111.228,65 kilometer persegi (luas sesudah pemekaran Provinsi Kepulauan Riau) yang terdiri dari pulau-pulau dan laut-laut. Keberadaannya membentang dari lereng Bukit Barisan sampai Laut Cina Selatan, terletak antara 1°15´ Lintang Selatan sampai 4°45´ Lintang Utara atau antara 100°03´-109°19´ Bujur Timur Greenwich dan 6°50´-1°45´ Bujur Barat Jakarta.

Dengan jumlah penduduk sekitar 4 juta lebih Provinsi Riau terdiri dari Suku bangsa: Suku Melayu, Suku Jawa, Suku Minangkabau, Suku Batak, Suku Banjar, Suku Tionghoa, Suku Bugis, Suku Sunda. Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, Bahasa Minangkabau. Agama: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu.

Visi Riau 2020 “Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin, di Asia Tenggara Tahun 2020”

SEJARAH RIAU : Pembentukan Provinsi Riau ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan Provinsi lain yang ada di Indonesia, untuk berdirinya Provinsi Riau memakan waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17 Nopember 1952 s/d 5 Maret 1958). Dalam Undang-undang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, Jo Lembaran Negara No 75 tahun 1957, daerah swatantra Tingkat I Riau meliputi wilayah daerah swatantra tingkat II : Bengkalis, Kampar, Indragiri, Kepulauan Riau, termaktub dalam UU No. 12 tahun 1956 (L. Negara tahun 1956 No.25) dan Kotaparaja Pekanbaru, termaktub dalam Undang-undang No. 8 tahun 1956. Dengan Ibukota Provinsi Tanjung PinangDengan surat keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958 telah diangkat Mr. S.M. Amin, Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman.
Pada tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau.Untuk merealisir ketetapan tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk pula suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution. Gubernur Mr. S.M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik di Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960.

Selanjutnya diangkatnya Kolonel Arifin Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau terhitung mulai tanggal 16 Oktober 1966 dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP/4/43-1506. pelantikannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Basuki Rachmad dalam suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15 Nopember 1966. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau mengukuhkan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk masa jabatan 5 tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260, tertanggal 24 Februari 1967. Surat Keputusan tersebut diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor : 146/M/1969 tertanggal 17 Nopember 1969.
GUBERNUR. Hingga sekarang pejabat Gubernur Riau sudah mengalami beberapa kali pergantian, yaitu
1. Mr. S.M. Amin Periode 1958 – 1960
2. H. Kaharuddin Nasution Periode 1960 – 1966
3. H. Arifin Ahmad Periode 1966 – 1978
4. Hr. Subrantas.S Periode 1978 – 1980
5. H. Prapto Prayitno (Plt) 1980
6. H. Imam Munandar Periode 1980 - 1987.
7. H. Baharuddin Yusuf (Plh) 1988
8. Atar Sibero (Plt) 1988 9. H. Soeripto Periode 1988 – 1998
10. H. Saleh Djasit Periode 1998 – 2003
11. H.M. Rusli Zainal Periode 2003 – 2008
12. Wan Abubakar September 2008 (Plh) karena incumbent mendaftar Pilkada
13. H.M Rusli Zainal 2008- sekarang
KABUPATEN/KOTA: Seiring dengan berhembusnya angin reformasi telah memberikan perubahan yang drastis terhadap negeri ini, tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri. Salah satu perwujudannya adalah dengan diberlakukannya pelaksanaan otonomi daerah yang mulai di laksanakan pada tanggal 1 Januari 2001. Hal ini berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah baru di Indonesia, dari 27 Provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 32 Provinsi. Tidak terkecuali Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi mejadi Provinsi ke 32 di Indonesia, itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 11 Kabupaten/Kota. Kabupaten-Kabupaten tersebut adalah; (1) Kuantang Singingi, (2) Inderagiri Hulu, (3) Inderagiri Hilir, (4) Pelalawan, (5) Siak, (6) Kampar, (7) Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, dan Kota (10) Pekanbaru, (11) Dumai dan terakhir (12) Meranti.

IV. SISTEM PENYIARAN DI PROVINSI RIAU.
Provinsi Riau yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengunakan sistem penyiaran yang ada pada UU no 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan PP no 11 Tahun 2005 serta aturan lainya. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana tranmisi di barat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan gelombang elektromagnetik, kabel, serat optik, dan /atau media lainnya untuk dapat diterima oleh masyarakat dengan pesawat penerima siaran televisi, atau perangkat elektronik lainnya dengan atau tanpa alat bantu. Walaupun begitu aplikasinya penyiaran di Provinsi Riau perlu memberikan konten (isi) budaya melayu dan pendidikan yang jelas dan tegas dari masyarakat dan lembaga penyiaran maupun pemerintah daerah.

Persoalannya adalah apakah sistem penyiaran lokal tersebut bisa dicover oleh KPI Daerah Riau. Dengan wilayah dan jumlah penduduk yang besar, rasanya tugas yang diemban oleh KPI daerah Riau tidak efektif. Cara yang terbaik dalam memberikan konten budaya dan pendidikan bagi bumi lancang kuning ini adalah bagaimana melibatkan (pemberdayaan) masyarakat Riau baik yang aktif dalam mengunakan media maupun masyarakat lainya.

Pemberdayaan masyarakat ini dapat mengunakan teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory). Dalam teori ini dijelaskan bahwa media massa sebagai agen sosialisasi yang utama disamping keluarga, guru di sekolah dan sahabat. Manusia mampu menyadari atau berfikir dan bahwa mereka dapat mengabil manfaat dari pengamatan dan pengalaman (Albert Badura 1977).

Lebih lanjut dijelaskanya bahwa sebuah variabel penting yang mempengaruhi apakah terjadi pembelajaran sosial atau tidak adalah persepsi atas kemampuan diri (self efficacy) atau penilaiaan orang mengenai kemampuan untuk mengunakan kontrol atas kinerja mereka dan kejadian yang mempengaruhi kehidupan mereka. Badura menyebutkan bahwa Pengaruh percontohan harus didisain untuk membangun self efficacy dan juga menyampaikan ilmu pengetahuan dan aturan-aturan yang berlaku. Banyak komunikasi yang ditujukan pada perobahan prilaku orang tidak hanya memperagakan perilaku-perilaku tapi berusaha untuk menarik atau meningkatkan perasaan self efficacy anggota. Disini kita bisa mensinergikan antara media yang memberikan pesan dengan kemampuan berfikir dan menganalisa dari masyarakat terhadap siaran maupun lembaga penyiaran yang ada. Sikap kritis dan evaluatif dari masyarakat apabila disinergikan dengan upaya KPI dan KPID dalam mengawasi dan mengkontol penyiaran dapat menghasilakn upay yang maksimal.

Pengawasan menurut George R. Theri sebagaimana yang dikutib oleh Muchsan SH dalam Sistem Pengawasan Terhadap aparat Pemerintah dan peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia (1992) menyatakan “ Control is to determine what accomplished evaluate it, and applly corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan” (tindakan evaluatif serta koreksi terhadap hasil yang dicapai dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana). Apabila masyarakat dan KPI atau KPID Riau bisa mengevaluasi dan mengkoreksi secara benar maka fungsi kontrol terhadap media menjadi maksimal dan efektif. Jadi peran serta dan pemberdayaan masyarakat Riau akan sangat membantu pelaksanaan penyiaran yang sesuai dengan regulasi (UU no 32 tahun 2002 dan PP 11 tahun 2005)

Musfialdy, S. Sos M. Si
Dosen Komunikasi
Fakultas dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Suska Pekanbaru

Fungsi dan Bentuk Komunikasi dalam Organisasi

Komunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan dalam organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi. tujuan dari dibuatnya teori komunikasi untuk menjembatani jurang pemisah dalam organisasi, sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi.

Komunikasi organisasi banyak dipengaruhi oleh teori Frederick Taylor (teori manajemen) dan teori Max Weber (teori birokrasi) yang melihat bahwa komunikasi dalam organisasi diatur oleh standar yang jelas. Tahun 60 dan 70-an berkembang pandangan organisasi sebagai suatu sistem, perkembangan selanjutnya tahun 80-an masyarakat kebingungan dengan rasionalitas dan objektivitas dalam pandangan sistem dari sinilah muncul pandangan budaya yang melihat dalam organisasi terdapat sejarah, nilai, ritual dan perilaku anggota organisasi.

Max Weber merupakan pendiri modern organization studies mengatakan:
His account can be summarized as follows: members use the ideal type conception of bureaucracy to understand the conduct of other members and to guide their own actions; because they all act in patterns organized by the ideal type, their actions coordinate in such a way that organizations consequentially and meaningfully exist. Thus, from its beginning, organization studies have pursued the central question of how large-scale, purposefully-controlled organizations are constituted.

Max Weber membentuk studi-studi organisasi modern dengan menawarkan satu analisis interpretif mengenai birokrasi (1968). Paparannya dapat diringkaskan sebagai berikut: para anggota menggunakan jenis ideal konsepsi birokrasi untuk memahami kelakuan anggota lain dan untuk memandu tindakan mereka sendiri; karena mereka semua bertindak dalam pola-pola yang diorganisir oleh jenis ideal, tindakan-tindakan mereka mengkordinir dalam cara yang sedemikian sehingga organisasi-organisasi ada secara konsekuensial dan secara bermakna. (Robert D. McPhee, Arizona State University & Pamela Zaug, Arizona State University dalam The Communicative Constitution Of Organizations: A Framework For Explanation, 2000)

James R. Taylor dalam Rethinking the Theory of Organizational Communication, How to Read An Organization Series: Communication and Information Science menjelaskan bahwa komununikasi organisasi (organizational communication) merupakan faktor penentu suksesnya suatu organisasi yang bertujuan menjadi sistem demi menyamakan gerak, membentuk harmonisasi organ-organ, penyelarasan berbagai konflik internal, pencitraan, pencapaian tujuan bahkan pengembangan organisasi.

Masyarakat kita merupakan “masyarakat organisasi”, kita lahir di organisasi, belajar di organisasi dan banyak menghabiskan waktu dari hidup kita untuk bekerja di organisasi (Littlejohn, 2002). Komunikasi merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan dalam organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi. Dari kegiatan tersebut dapat dirinci 5% untuk menulis, 10% baca, 35% bicara dan 50% mendengar.

Adapun komunikasi organisasi dilakukan dalam kerangka: sebanyak 44% untuk komunikasi rutin; 26% untuk pengembangan SDM (sumber daya manusia) antara lain untuk penilaian karyawan, konseling karyawan, training, seleksi, promosi karyawan, dll.; 19% untuk traditional management seperti pengawasan, memberi instruksi, melapor, dll.; 11% untuk net-working antara lain untuk berkoordinasi dengan bagian lain, mencari informasi pesaing, dll.

Istilah organisasi diartikan merupakan sebuah kelompok individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu (Devito, 1997). Jumlah anggota organisasi sangat bervariasi dari satu organisasi ke organisasi lainnya. Ada yang beranggotakan tiga atau empat orang bekerja dengan kontak yang sangat dekat. Yang lainnya memiliki seribu karyawan tersebar di seluruh dunia. Yang terpenting adalah mereka ini bekerja di dalam struktur tertentu. Individu di abad ke-21 ini sangat dinamis, masuk dan keluar dari suatu perusahaan atau organisasi untuk mencari pengalam baru atau penghasilan lebih baik bukan hal yang aneh. Pada saat itulah proses asimilasi terjadi. Studi komunikasi organisasi merupakan studi yang interdisipliner. Bidang-bidang studi yang menggunakan kajian komunikasi organisasi yakni: manajemen, sosiologi, psikologi sosial, dan lain-lain. Karena itulah maka teori-teori komunikasi organisasi berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya dan untuk memahaminya perlu dipelajari terlebih dahulu bagaimana perkembangan komunikasi organisasi.

Pada dasarnya istilah komunikasi organisasi terbagi menjadi dua arti, yakni; organisasi dan komunikasi. Kata ’organisasi’ di sini dapat diartikan seperti rangkaian mesin yang memiliki bagian-bagin untuk memproduksi sebuah produk atau layanan dari input (masukkan) sampai output (luaran) dari suatu sistem. Di samping itu juga sebagian ahli mendefinisikan organisasi sering dianggap sebagai sesuatu yang hidup secara natural, seperti layaknya tumbuhan atau binatang. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan tuntutan zaman yang melingkupinya. Ada juga yang beranggapan bahwa organisasi seperti otak manusia yang memiliki proses informasi, intelegensia dan konseptualisasi perencanaan. Pada perkembangan selanjutnya organisasi sering dianggap, seperti masuk dalam tatanan realitas budaya karena menciptakan makna, memiliki nilai dan norma yang dipersuasikan oleh cerita dan ritual yang terbagikan.

Dalam organisasi dikenal juga dengan konsep individualistik atau hubungan antar individu yang akan memunculkan hubungan dyadic. Hubungan dalam kaitannya dengan keintiman ini akan sangat mengarah kepada adanya hubungan konsepsi jaringan dalam komunikasi organisasi. Manusia berkomunikasi satu dengan yang lain yang selalu di kaitan dengan penggunaan saluran komunikasi untuk menjadi instrumen penyampaian pesan bisa dalam berbagai bentuk, fungsi sosial dalam organisasi yang mampu melingkupi kelompok besar (large groups).

Sedangkan definisi komunikasi itu sendiri yang digunakan dalam tulisan ini yakni mengikuti pendapat Pace yang menyebutkan bahwa ”suatu tindakan komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh dua hal, yakni; penciptaan pesan (atau biasanya disebut dengan penciptaan pertunjukkan (display) dan penafsiran pesan atau penafsiran sebuah pertunjukkan.”

Ditambahkan Goldhaber, bahwa setiap manusia dalam kaitan dengan organisasi akan dihubungan dengan pertunjukkan yang berjalan. Maksudnya adalah manusia tidak dapat tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mengeluarkan pesan (Goldhaber, 1979). Dalam kantor pertunjukkan pesan bisa dalam bentuk memo, laporan, pidato dan neraca keuangan yang dapat merepresentasikan gagasan-gagasan si pengirim pesan. Oleh sebab itu di dalam menafsirkan pesan akan muncul proses pemindahan (transfer) dan pertukaran (exchange) pesan, dan di sinilah titik letak penting realitas budaya yang disebutkan oleh para aliran subyektivis. Keberadaan artefak, gerak tubuh dan tindakan akan melukiskan suatu makna yang manusia miliki lewat petunjukkan yang secara tidak langsung digelar.

Menurut James Taylor (1993) tujuan dari dibuatnya teori komunikasi untuk
menjembatani jurang pemisah dalam organisasi, sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi. “The goal of organizational communication theory ought to be to bridge the micro/macro gap, by showing how to discover the structure in the process and delineating the processes that realize the structure” (261). The processes of communication create a patterning which constitutes the structure of organization and the organization itself simultaneously. To develop his conception of communication, Taylor turns to Greimas (among, we should hasten to note, many other theoretic strands), who contends that all communication has an underlying deep narrative structure that organizes conversation through various speech acts. The constitution of an organization would involve its deep narrative structuring of a great number of elementary transactions conducted by human agents. Another main tenet is his claim that communication involves two aspects, conversation and text, with the latter (the medium of organizational structure) stabilizing and grounding, but also being enacted and potentially transformed by, the former (the medium of organizationally communicative action). Since communication creates the structure of organization, Taylor argues that it makes sense to study organizations from the communication perspective. A key point to his position, which seems to be comparable to Weick, is that organization is an effect of communication and not its predecessor. Taylor vastly extends the range of communication theory applied to the constitution problem, but his fascination (even as a pronounced interpretivist) with structuralism leads him to root his answer to the constitution problem in a grammatical rather than a systems conception.

KOMUNIKASI ORGANISASI (ORGANIZATIONAL COMMUNICATION)
Komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi yang terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hirarkris antara yang satu lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan (Pace and Faules, 2002: 20).

Di samping itu juga komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif intepretatif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Proses interaksi itu tidak mencerminkan organisasi; ia adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah perilaku pengorganisasian yang terjadi dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya bertransaksi dan memberikan makna atas apa yang sedang terjadi.

Menurut Monge dan Eisenberg, kerja dari hubungan komunikasi organisasi antara kolega yang terinstitusi akan memberikan gambaran terbaik menciptakan konstitusi konsep jaringan (Littlejohn, 1999:303). Organisasi dianggap sebagai suatu sistem yang sedikitnya terdiri dari dua orang atau pihak (atau lebih). Di dalamnya terdapat interdepen, masukan (input), hubungan dan luaran (output).

Struktur hubungan antara komunikasi organisasi terdiri dari pola interaksi antar anggota, siapa yang berbicara dan memberi pesan kepada siapa? Hal ini yang disebut dengan aliran informasi. Dasar pemikiran dari ide ini teori jaringan yang dapat diprediksikan antar komunikasi antar individu yang ada di dalam organisasi. Jelasnya dalam struktur komunikasi organisasi pasti terdapat struktur antar dependen dan interdependen, sehingga antar yang berhubungan dapat menjalankan jaringan komunikasi. Tapi dalam hal ini perlu ada aturan yang mengikat jaringan dalam menciptakan hubungan. Oleh sebab itu perlu ada pemahaman peran jabatan dalam komunikasi organisasi yang tercipta.

Komunikasi organisasi informal berkaitan dengan fenomena yang disebut komunikasi jabatan (posisitional communications) (Redfield, 1953). Hubungan yang dimaksud adalah terbentuk atas antar jabatan-jabatan bukan antara orang-orang. Keseluruhan organisasi terdiri dari jaringan jabatan. Praktik komunikasi jabatan ini membingungkan karena tidak semua jabatan dan interaksi secara seksama dapat berjalan dalam alur informasi yang sesuai dengan jabatan.

Dalam hubungan informal terbentuk sebagai respon terhadap berbagai kesempatan yang diciptakan lingkungan, organisasi informal merupakan lingkungan kelompok lebih nyata yang mempengaruhi jumlah dan pelaksanaan hubungan informal dalam organisasi. Ada dua model teori organisasi besar, yakni; Weber dengan model birokrasi yang terfokus pada pengorganisasian. Teori ini dianggap sebagai pernyataan terpenting tentang organisasi formal yang didasarkan pada pengelolaan.

Sedangkan model kedua yakni organisasi menurut Frederick W. Taylor. Bagi beliau doktrin klasik organisasi dan manajemen dapat secara langsung dilacak kembali ke minat Taylor atas pengawasan (supervisi) fungsional. Secara khusus Weber dan Taylor menyajikan teori-teori organisasi dan manajemen yang hampir secara khusus membahas anatomi organisasi formal. Dalam artian khusus dibahas dalam anatomi formal yang dapat disebut dengan teori-teori struktural klasik.

Pendekatan Taylor terhadap manajemen dilakukan di sekitar empat unsur kunci: pembagian kerja, proses skalar dan fungsional, struktur, dan rentang kekuasaan.
Pertama; PEMBAGIAN KERJA
Pembagian kerja di sini berkaitan dengan bagaimana tugas, kewajiban dan pekerjaan organisasi didistribusikan. Kewajiban perusahaan secara sistematik dibebankan kepada jabatan-jabatan dalam suatu tatanan spesialisasi yang menurun. Bila dapat dilakukan, pekerjaan setiap orang dalam organisasi harus terbatas pada pelaksanaan suatu fungsi, yang merupakan konsep pembagian kerja. Parkinson merumuskan sejumlah prinsip yang membantu menjelaskan bagaimana orang-orang dalam organisasi memanipulasi unsur tersebut (1957).

Dalam hukum Parkinson (Parkinson’s Law) ini menyebutkan bahwa manajer, pekerja dan administrator mulai merasa kekurangan tenaga karena kelelahan dalam kerja. Oleh sebab itu manajer perusahaan perlu melakukan tiga pilihan: mengundurkan diri, berbagi kerja dengan kolega atau meminta bantuan memiliki dua orang bawahan (Parkinson dalam Pace and Wyne, 2002:51).

Kedua; PROSES SKALAR DAN FUNGSIONAL
Proses ini berkaitan dengan pertumbuhan vertikal dan horisontal organisasi. Proses skalar ini menunjukkan rantai perintah atau dimensi vertikal organisasi. Dengan penambahan sumber daya manusia organisasi akan memberikan delegasi dan kewenangan atas tanggungjawab, kesatuan perintah dan kewajiban pelaporan.
Pembagian ini sesuai dengan pilar keempat teori manajemen klasik, bahwa pembagian kerja dalam tugas-tugas lebih khusus akan menjadi unit-unit yang sesuai dengan proses-proses fungsional dan ekspansi horisontal organisasi.

BENTUK KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
Salam perkembanganya Komunikasi dalam sebuah organisasi dibagi dalam beberapa hal : 1. Management Information System
Misalnya: dengan menggunakan computer, data, informasi.
2. Telecomunication
Komunikasi dengan peralatan yang mana komunikator dan komunikan tidak
berhadapan langsung.
Misalnya: telepon, TV, e-mail, voice messaging, electronic bulletin board.
3. Non verbal communication
Pralinguistic, proxemics, kinesics, chronemics, olfaksi, tactile, artifactual.
4. Interpersonal communication
Komunikasi yang terjadi antar individu.
5. The organizational communication process
- instruksi atau komando
- laporan, pertanyaan, permintaan
- subsgroup dengan subsgroups
- staff

BENTUK KOMUNIKASI BERDASAR STRUKTUR ORGANISASI
1. Superior - subordinate communication
Disebut juga downward communication yaitu komunikatornya adalah atasan
dan komunikasinya adalah bawahannya.

Katz & Kahn menyebutkan 5 bentuk komunikasi downward, yaitu:
a. memberi tugas rinci - job instruction
b. memberi informasi tentang prosedur organisasi dan latihan-latihan.
c. memberi informasi tentang rastionale of the job yaitu alasan mengapa tugas
tersebut harus dilakukan
d. memberi tahu tentang kinerja anak buah
e. memberi informasi tentang ideologi organisasi (visi, misi) untuk memudahkan
dalam mencapai tujuan organisasi.
Media yang digunakan adalah media tulis, media lesan, interaktif.

2. Subordinate - initiated communication
Disebut juga dengan upward communication yaitu komunikasi yang terjadi dari
bawahan ke atasannya.
Adapun bentuknya adalah:
a. Informasi pribadi tentang gagasan, sikap, peampilan kerja.
b. Informasi feedback tentang performance teknis, beberapa informasi penting
lainnya.
3. Interactive communication
Komunikasi yang terjadi pada karyawan yang selevel.
Bentuknya adalah
a. Task coordination
b. Problem solving
c. Information sharing
d. Conflict Resolution
Beberapa faktor pada struktur organisasi yang berpengaruh pada pola komunikasi antara lain
a. ukuran
b. sentralisasi - desentralisasi
c. degrees of uncertainity

Senin, 02 Agustus 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN KOMUNIKASI POLITIK

Sejak manusia pertama (Adam dan Hawa) menghuni planet bumi ini, sejak itu komunikasi menyertai kehidupan kedua mahkluk Tuhan tersebut. Komunikasi terus menyertai perkembangan Adam dan Hawa. Pada awalnya, komunikasi berada dalam lingkup sederhana dan dalam skala sempit. Perkembangan umat manusia terus melaju mengikuti lajunya usia planet bumi ini, sehingga manusia tidak lagi berada dalam dimensi yang sama, mereka tersebar dalam determinasi-determinasi kultur, nilai, ruang dan waktu yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, komunikasi mulai dihadapkan kepada problema yang bertambah komplek dan rumit.

Perkembangan komunikasi terus berimpit mengikuti peningkatan kualitas berpikir manusia. Proses komunikasi tidak lagi berada dalam tahap melukiskan perasaan yang berputar pada lingkup yang berskala kecil dan terbatas, tetapi telah membawa manusia untuk berorientasi ke arah skala yang lebih luas dan lebih kompleks.

Betapa penting peran dan fungsi komunikasi yang selalu berdampingan dengan manusia dalam segala bidang kehidupan, sehingga mulai dirasakan perlunya pengelolaan secara bijak dan terpola terhadap semua aspek yang dimiliki komunikasi.

Bersamaan dengan perkembangan tersebut, maka para teoritis dan ilmuwan mulai mengarahkan perhatiannya pada bidang komunikasi sebagai suatu kajian yang menarik. Hal ini bermula di wilayah Anglo Saxon yang mengintroduksi komunikasi sebagai kajian baru yang berada dalam rumpun sosial. Ilmu yang menekuni kajian ini disebut Science of Communication yang berkembang secara cepat pada perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat. Kajian terhadap ilmu komunikasi tidak dapat mengisolasi dari pengaruh kajian ilmu sosial lainnya seperti, sosiologi, psikologi, antropologi, hukum dan ilmu politik.

Perpaduan kajian antara ilmu komunikasi dengan ilmu sosial lain menghasilkan bentuk perkembangan baru yang menunjukkan pada karakteristik bahwa ilmu ini dapat dipadukan. Suatu hal yang rasional apabila ilmu komunikasi dapat melintasi batas wilayah disiplin ilmu sosial lain karena setiap ilmu pada hakikatnya berkait dengan kehidupan umat manusia dan dipergunakan untuk kemanfaatkan umat manusia juga. Komunikasi yang selalu berdampingan dengan umat manusia tidak akan kaku apabila berpadu dengan ilmu lainnya. Karena setiap ilmu pada hakikatnya merupakan seperangkat simbol komunikasi yang ditrasfer dari individu, kelompok atau masyarakatnya kepada individu, kelompok atau masyarakat lainnya.

Salah satu kajian yang menarik minat para ilmuwan politik dan ilmuwan komunikasi yaitu kajian terhadap komunikasi politik.Di Amerika Serikat telah banyak teoritisi dan ilmuwan yang menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah yang membahas tentang komunikasi politik ini, antara lain Dan Nimmo dalam judul Political Communication and Public Opinion in America. Stven H.Caffe dalam judul buku Political Communication; Issues and Strategies for Research, Michael H.Prosser dalam judul Intercommunication Among Nations and People, William L.Rivers dan rekan-rekan dalam judul Responsibility in Mass Communication, dan banyak lagi kajian-kajian para ilmuwan lainnya.

Kajian komunikasi politik bersifat dimensional dan kauistik karena berkait dengan berbagai macam problem dan kompleksitas permasalahan. Kajian komunikasi politik tidak hanya berkisar pada pembahasan. proses komunikasi yang memuat pesan-pesan politik, tetapi lebih dari itu. Kajian komunikasi politik membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem politik atau sistem pemerintahan yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasan tentang sistem berkait pula dengan transformasi nilai-nilai yang dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi politik dan pendidikan politik.

Dalam praktek kenegaraan, keabsahan suatu sistem apabila mendapat dukungan dari seluruh warganegara yang berada dalam lingkup sistem tersebut, yang terwujud dalam partisipasi politik, sehingga sistem tersebut benar-benar mencerminkan totalitas aspirasi dan cita–cita seluruh warga masyarakat negara.

Bahasan komunikasi politik tidak hanya berlingkar dalam suatu sistem intranegara, akan tetapi melintas batas wilayah sistem ekstranegara, sehingga akan bertemu berbagai sistem dan akan saling mempegaruhi antara satu dengan lainnya. Hal ini sebagai akibat temuan teknologi canggih di bidang komunikasi. Dalam kondisi ini transmisi pesan komunikasi melintas determinan-determinan geografis, geopolitik dan geokultur, sehingga akan membaurnya berbagai sistem nilai yang berakibat sistem nilai setiap negara akan berada di ambang kesemuan dan akan mengacu pada lunturnya identitas suatu sistem apabila suatu negara yang berada dalam sistem tersebut tidak memiliki daya tangkal yang kuat. Kondisi ini yang kita kenal dengan sebutan era globalisasi.

Maswardi Rauf (1993) menyebutkan bahwa Komunikasi Politik sebagai objek kajian ilmu politik karena pesan-pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi bercirikan politik yaitu berkait kekuasaan politik Negara, pemerintah, dan aktivitas komunikator dalam kedudukan sebagai pelaku kegiatan politik.
Komunikasi Politik dibagi dalam dua dimensi :
1.Sebuah kegiatan politik : Penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik lepada pihak lain.
2.Kegiatan ilmiah : Kegiatan politik dalam sistem politik.
Rusadi Kantaprawira (1983) mendefinsikan Komunikasi Politik adalah untuk menghubungkan sistem politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik pemerintah.
Menurut Astrid S. Susanto (1975), Komunikasi Politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik.
Dari kata-kata mengingkat dan sanksi memberikan isyarat bahwa disiplin ilmu hukum telah memperkaya formulasi pengertian komunikasi politik karena kedua kata tersebut terminologi yang biasa digunakan dalam kajian ilmu hukum. Dan Nimmo (1978) berpandangan bahwa Komunikasi Politik menggunakan politik hanya untuk mengartikan kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial.
Kata Mark Roelofs dan Barn Lund, Komunikasi Politik lebih memusatkan kajiannya pada bobot materi muatan yang berisi pesan-pesan politik (isu politik, peristiwa politik dan perilaku politik individu-individu baik sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan atau asosiasi politik

Hakikat Komunikasi Politik

Menyimak Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik secara filosofis, secara esensial keduanya tidak dapat melepaskan diri pada peran aktif manusia, terutama sebagai mahluk sosial dan menelusuri realitas sosial. Konsep dasar realitas sosial, menurut R. Wayne Pace dan Don F. Faules (2000:07), adalah suatu pola hubungan dan makna simbolik yang ditopang lewat suatu proses tindakan dan interaksi manusia. Meskipun suatu derajat tertentu kontinuitas dipelihara lewat berlangsungnya kegiatan-kegiatan yang menyerupai aturan (rule-like activities) yang menentukan suatu lingkungan sosial tertentu, pola tersebut selalu terbuka bagi reafirmasi atau perubahan melalui penafsiran dan tindakan individu. Karakter dasar dunia sosial tertanam dalam jaringan makna subyektif yang menopang tindakan-tindakan yang menyerupai aturan (rule-like actions) yang memberi dunia sosial tersebut suatu bentuk yang tahan lama. Realitas terletak bukan pada aturan atau kepatuhan atas aturan, tetapi dalam sistem tindakan bermakna yang menampilkan dirinya sendiri kepada seorang pengamat sebagai menyerupai aturan.

Manusia adalah aktor sosial yang menafsirkan lingkungan mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi mereka. Dalam proses ini, mereka menggunakan bahasa, label, dan rutinitas untuk pengelolaan kesan dan mode-mode lain tindakan spesifik secara cultural. Dengan begitu, mereka memberikan sumbangan kepada pembentukan realitas, manusia hidup dalam suatu dunia signifikansi simbolik, menafsirkan dan melibatkan diri dalam hubungan yang bermakna dalam dunia tersebut. Manusia adalah aktor yang mempunyai kemampuan untuk menafsirkan, mengubah, dan kadang-kadang menciptakan naskah yang mereka mainkan di atas panggung kehidupan.

Landasan berpikir tentang ”peran” manusia dalam merekonstruksi realitas sosial secara teoretis telah melahirkan Teori Tindakan Sosial yang digagas oleh Filosof Jerman Max Weber (1864-1920). Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna sibjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda seluju dalam situasi tersebut.

Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan oleh individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya. Bagi Weber jelas bahwa tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir, dan kesengajaan. Tindakan sosial baginya adalah tindakan yang disengaja, disengaja bagi orang lain dan bagi sang aktor sendiri yang pikiran-pikirannya aktif saling mempengaruhi menafsirkan perilaku orang lainnya, berkomunikasi satu sama lain dan mengendalikan perilaku dirinya masing-masing sesuai dengan maksud komunikasinya (Mulyana,2001:60).

Teori Tindakan Sosial inilah yang melandasi lahirnya Komunikasi Politik. Kendati, Komunikasi Politik ini berada dalam kajian Ilmu Komunikasi, tetapi masuk dalam wilayah Komunikasi Aplikatif. Komunikasi Politik dikaji dalam Komunikasi Penunjang Pembangunan dan berdampingan dengan Komunikasi Pendidikan, Komunikasi Kesehatan, dan sebagainya. Hal itu jelas tergambar dalam Perspektif Pohon Komunikasi yang merupakan Rekonstruksi Ilmu Komunikasi dari Nina Winangsih Syam (2002:18).
Secara filosofis kajian Komunikasi Politik adalah kajian tentang hakikat kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup dalam lingkup berbangsa dan bernegara. Hakikat kehidupan sebagai motif atau sebagai Das Wollen (keinginan) yang mendorong manusia untuk berkiprah yang mengarah pada terpenuhinya Das Wollen tersebut.
Lahirnya asosiasi-asosiasi di masyarakat sebagai transparansi dari das wollen. Dalam asosiasi inilah, individu-individu menyeimbangan das wollen (keinginan) melalui tukar menukar pesan yang distrukturisasikan ke dalam simbol-simbol komunikasi.

Tukar menukar pesan ditata dengan baik yang diselenggarakan oleh suatu asosiasi kemasyarakat yang tertinggi sebagai pranata politik (political instituion) yang disebut negara. Dikatakan asosiasi kemasyarakatan tertinggi karena diberi atribut kekuasaan (power) untuk mengatur dan menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg) yang tidak pernah diberikan kepada asosiasi kemasyarakatan lainnya.
Setiap negara akan selalu berorientasi kepada fungsi primer negara yaitu tujuan negara. Secara das sollen tujuan itu dapat dicapai apabila terwujud sifat-sifat integratif dari semua unsur penghuni negara. Hal ini berarti bahwa sikap, perilaku, dan pola pikir terintegrasi ke dalam sistem nilai yang sedang berlangsung. Atau perkataan lain terdapat komitmen moral penghuni sistem terhadap sistem nilai yang dijunjung tinggi bersama.

Pengertian nilai (value) adalah konsep abstrak tentang baik dan buruk, benar dan salah, lurus dan menyimpang. Nilai hanya dapat dikonkritisasi dalam bentuk atau wujud norma-norma atau kaidah-kaidah yang mempedomani aktivitas kehidupan.
Hakikat norma (kaidah adalah untuk melindungi hak-hak yang bersifat azasi. Norma menjadi dasar untuk mengatur lalu lintas tranformasi pesan-pesan komunikasi. Norma sebagai rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap rambu-rambu tersebut berarti akan mengundang malapetaka (Sutjipto Rahardjo,1986).

Berkomunikasi merupakan bagian dari hak azasi yang melekat pada diri manusia semenjak manusia lahir. Namun demikian, hak-hak tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak selama hak tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap hak-hak individu lain. Karena itu, maka setiap hak mempunyai dasar moral yang selalu berdampingan dengan tanggung jawab yang berorientasi kepada mandat bersama.
Dalam kenyataan empiris atau secara Das Sein, pengaturan terhadap hak-hak berkomunikasi tidak dapat digeneralisasikan atau distandarisasikan ke dalam suatu sistem tertentu karena setiap negara memiliki sistem politik berbeda.
Munculnya empat macam sistem komunikasi sebagai tanda bahwa pengaturan hak-hak berkomunikasi sangat bergantung kepada sistem politik atau sistem kekuasaan (power sistem) tempat komunikasi politik itu diaktualisasi. Keempat macam sistem politik yang dimaksud yaitu sistem otoriter, sistem liberal, sistem komunis, dan sistem tanggung jawab sosial atau sisten lain yang belum terungkap, misalnya, sistem agama seperti di Timur Tengah.

Dalam keragaman sistem, maka hakikat komunikasi politik tidak dapat ingkar dari nilai-nilai yang bersifat azasi dan yang bersifat elementer yaitu sifat-sifat yang ada pada diri manusia bahwa manusia memerlukan manusia lainnya. Nilai-nilai inilah yang akan menembus isolasi pembeda yang tumbuh karena sistem politik.
Sumarno (2006:09) : Hakikat dan fungsi komunikasi politik berdimensi dua yang bersifat ideal normatif negara, yaitu ideal normatif ke dalam tubuh negara dan idel normatif ke luar negara. Ideal normatif ke dalam tubuh negara, maka hakikat komunikasi politik melihat negara sebagai satu kesatuan yang utuh dan tersusun ke dalam suatu bangunan marsus (tersusun rapi) mengarah tercapainya pada ideal normatif tersebut. Dalam tanggal ini komunikasi politik berfungsi untuk menumbuhkan persamaan persepsi dan kesatuan pandang melalui simbol-simbol komunikasi sebagai produk interpretasi bersama. Hal ini yang dimaksud berwujud sifat-sifat integratif perilaku dan pola pikir ke dalam sistem politik yang sedang berlangsung dan sekaligus terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai yang dijunjung tinggi bersama. Kondisi semacam ini berkait erat dengan mythos dan ethos bangsa yaitu pengakuan terhadap nilai-nilai moralitas dalam lingkup suatu sistem.
Mythos : pola tentang nilai-nilai dasar dan pengalaman sejarah yang menjadi karakter manusia yang ditransformasikan melalui ilmu pengetahuan (The Grolier International Dictionary,1988:869).Ethos berkait erat dengan ethic: seperangkat nilai yang bersifat fundamental yaitu yang dijadikan dasar moral yang memberi arah terhadap suatu bangsa menuju arah yang baik (Sumarno,2006). Mythos dan Ethos mengiringi kehidupan kelompok, masyarakat, bangsa atau negara dan selalu dijunjung tinggi dalam lingkup kehidupan yang bersangkutan.

Demikianlah perkembangan dari fungsi dan peranan komunikasi politik yang terjadi saat ini. Banyak hal yang menjadi kajian dalam proses pengembangan komunikasi politik seiring dengan perkembangan dan kompleknya masyarakat saat ini.

Disadur dari berebagai sumber

Organisasi dan Komunikasi Organisasi

Komunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling serin...