Minggu, 20 Mei 2012

Mekanisme Pengawasan Pemilu Di Indonesia

Suatu ketika seorang Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu menanyakan, apa pentingnya (urgensi) pengawasan pemilu di Indonesia. Pertanyaan tersebut bukan hanya menjadi pertanyaan seorang panwaslu saja tetapi sebagian besar masyarakat di Indonesia menanyakan sejauhmana pentingnya pengawasan pemilu di Indonesia. Seberapa efektifkah pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan jajaran dibawahnya pada pelaksanaan pemilu selama ini dan yang akan datang. Pertanyaan yang menjadi wacana dalam masyarakat terkait langsung pada pelaksanaan pemilu di Indonesia. 

Jika ditinjau dari perspektif pemilu yakni agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu.

Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni :
  1. Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri. 
  2. Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality), 
  3. Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih.
  4. Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih. 
  5. Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004). 

PENGERTIAN PENGAWASAN 
Pengertian pengawasan menurut George R. Terry yang dikutip Muchsan SH menyatakan sebagai berikut; “ Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measure, if needed to result in keeping with the plan” Dalam pengertianya pengawasan menitik beratkan pada tindakan evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana. Dengan demikian tindakan pengawasan itu tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan, akan tetapi justru pada akhir suatu kegiatan setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu. 

Menurut Hendry fanyol menyebutkan : “Control consist in veryfiying wether everything accur in comformity with the plan asopted, the instruction issued and principles established. It has for object to point out weaknesses and errors in to recttivy then and prevent recurrance” Adapun maksud dari pengertian diatas adalah realitas bahwa hakikat merupakan suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Melalui pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahan- kesalahan yang akhirnya kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali. Sementara itu Newman berpendapat bahwa “ control is assurance that the perfomance conform to plan”. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Karena itu, pengawasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan. 

 DR. S.P. Siagian, MPA mengambarkan pengawasan sebagai berikut; “Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.” Pendapat Siagian ini sama dengan Newman dimana pengawasan menitik beratkan pada tindakan pengawasan pada proses yang sedang berjalan atau dilaksanakan. 

Pengawasan tidak dilaksanakan pada akhir suatu kegiatan, justru pengawasan dilaksanakan pada dalam menilai dan mewarnai hasil yang akan dicapai oleh kegiatan yang sedang dilaksanakan tersebut. Berdasarkan definisi diatas, wujud pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto. Sedangkan tujuan pengawasan hanyalah terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditentukan sebelumnya karena pengawasan tidak terkandung kegiatan yang bersifat korektif ataupun pengarahan. 

Adapun fungsi pengawasan secara teoritis berfungsi sebagai ;
  1. Eksplanasi, pengawasan menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program yang dicanangkan berbeda. 
  2. Akuntansi, pengawasan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu. 
  3. Pemeriksaan, pengawasan membantu menentukan apakah sumber daya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu memang telah sampai kepada mereka. dan 
  4. Kepatuhan, pengawasan bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para administrator program, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator, instansi pemerintah dan atau lembaga profesional. 

Guna memahami organisasi pengawasan sebagai wadah dan proses maka perlu menghayati lima pertanyaan sebagai berikut : (Siagian, 2002; 229)
  1. Siapa yang melakukan, melakukan apa?. Karena dalam organisasi selalu terjadi pembagian tugas. 
  2. Siapa yang bertanggung jawab, kepada siapa?. Perlu dikatakan dengan jelas sebab di dalam organisasi terdapat hierarki wewenang dan tanggung jawab. 
  3. Siapa yang berinteraksi, dengan siapa?. Hal ini mengingat bahwa organisasi yang dikelola dengan baik berpedoman pada prinsip sinergi. 
  4. Pola komunikasi yang bagaimana yang berlaku di dalam organisasi?. Berkaitan dengan kultur organisasi yang dianut. 
  5. Jaringan informasi apa yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh para anggota organisasi yang bersangkutan? 


PENGAWASAN PEMILU DI INDONESIA 
Sejarah telah memperlihatkan bahwa sejak pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 sampai pemilu tahun 1982 pengawasan dalam pemilu belum ada. Ini membuktikan bahwa belum adanya kepedulian masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya pengawasan dalam pemilu. Regulasi pada masa Orde Lama maupun Orde Baru menurut Arbi Sanit (1997) menganut falsafah kekuasaan tradisional, yakni terdapatnya niat pemerintah sebagai pola hubungan kekuasaan dalam proses pengawasan pemilu, dimana pemilu diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai pelaksananya (prinsip pengawasan internal). Kepedulian pengawasan dalam pemilu baru dilaksanakan pada tahun 1980. Penguasa pada saat itu segera membentuk badan pengawas pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Lembaga yang diberi nama Panitia Pengawasan Pelaksana (Panwaslak) ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya. Panwaslak sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR. 

 Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 serta 2009. Namun dari sepuluh kali pemilu baru pada tahun 1982 ada lembaga pengawasan. Artinya pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu baru menyadari pentingnya pengawas pemilu. Ada beberapa model pengawasan yang pernah dilaksanakan di Indonesia. 

Ada beberapa model pengawasan yang pernah dilaksanakan di Indonesia.
 Pertama  Model Pengawasan Pemilu bagian Kejaksaan Agung Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (PANWASLAK) sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR. Perubahan ini lahir sebagai kekurang-efektifan parlemen karena dihasilkan pemilu tanpa pengawasan, dan kesulitan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak, telah memaksa pemerintah dalam memenuhi kebutuhan terciptanya dukungan masyarakat kepada mereka. Keberadaan PANWASLAK merupakan organ pengawasan yang dibentuk oleh Panitia Pemilu di Indonesia (PPI). Lembaga ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya PANWASLAK dibentuk ditiap Panitia Pemilu mulai dari pusat hingga kecamatan. Komposisi keanggotaannya diambilkan dari unsur pemerintah, Golkar, PPP, PDI, dan ABRI. 

kedua  Model Pengawasan Bagian Masyarakat Berawal dari lontaran isu yang dilemparkan oleh PPP, yang akan membentuk Lajnah (lembaga pengawas) pemilu hingga ke tingkat kecamatan, menjelang pemilu 1997, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bandung nekad mendirikan Lembaga Independen Pemantau Pemilu (LIPP) yang akan mengawasi pelaksanaan pemilu sejak pendaftaran pemilih sampai pengumuman perhitungan suara. Pendirian lembaga pengawas yang dideklarasikan di Bandung itu ternyata mendapat sambutan cukup luas dari para aktifis LSM, aktifis mahasiswa dan LBH di 10 propinsi lainnya di Indonesia. Tak berselang lama, lahirlah KIPP (Komite Independen Pengawas Pemilu) yang dimotori oleh Goenawan Muhammad dan kawan-kawan. Landasan filosofis didirikannya KIPP ini adalah realitas bahwa pemilu telah banyak dikotori dengan kecurangan dan manipulasi, hak rakyat diabaikan. Kelahirannya adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan demokrasi baru yang lebih baik, sehingga KIPP diorientasikan untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa mereka bisa bekerja untuk perbaikan. Selain atas kehadiran LIPP dan KIPP, sejumlah tokoh yang dipelopori oleh Luhut Sitompul, dan kawan kawan, membentuk Tim Obyektif Pemantau Pemilu (TOPP). Institusi ini bersifat independen guna mendukung peran, posisi, serta fungsi PANWASLAK sebagai lembaga resmi yang berwenang melakukan pengawasan. (Wahidah, 2004) 

Ketiga Model Pengawasan Pemilu Bagian Makamah Agung (MA) Pemilu 1999 lalu memang terbilang istimewa, sebab untuk pertama kalinya tugas pengawasan pemilu diserahkan kepada lembaga yudikatif, yakni Makamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya. Pemilu 1999 memposisikan tanggung jawab pengawasan formal pada yudikatif, dalam wewenangnya untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas), sebagaimana diamanatkan pasal 24 UU No.3/1999. Panwas adalah institusi yuridis yang diberi tanggung jawab dan kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan memonitor proses pelaksanaan pada setiap tahapan pemilu guna menjamin terselenggaranya pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Makamah Agung (MA) dan jajaran di bawahnya yaitu Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN), sangat berperan dalam proses pelaksanaan pemilu 1999 lalu, karena disamping membentuk Panwas, yudikatif juga menempatkan personelnya dalam kepengurusan Panwas. 

Keempat Model Pengawasan Pemilu Bentukan KPU Berdasarkan Pasal 120 UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, untuk melaksanakan pengawasan pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Panitia Pengawas Pemilu ini dibentuk oleh KPU, sedangkan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi sampai Penitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu diatasnya. Demikian juga Panitia Pengawas Pemilu Presoden dan wakil Presiden, menurut pasal 76 UU nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden, tugas dan wewenang pengawasan pemilu Presiden dan wakil Presiden dilakukan oleh panitia Pengawas Pemilu seperti Panitia Pengawas Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Mekanisme kerja Penitia Pengawas Pemilu ini pun lebih banyak dikoordinasikan kepada KPU/KPUD. (Wahidah 2004) 

Kelima Model Pangawasan Pemilu Bersifat Tetap. Menurut Undang Undang no 22 tahun 2007 penyelenggaraan pengawasan Pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dibantu oleh Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu au Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Badan Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang bersifat tetap. Anggotanya diangkat sekali dalam 5 tahun atau bersifat tetap. Sedangkan Panwaslu di Provinsi, Panwaslu di Kabupaten/Kota, Panwaslu di Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri bersifat ad hoc. Panwaslu di Provinsi, Panwaslu di Kabupaten/Kota, Panwaslu di Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai. Bawaslu berkedudukan di ibu kota negara.Panwaslu di Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. Panwaslu Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota Kabupaten/kota. Panwaslu Kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan. Pengawas Pemilu Lapangan berkedudukan di desa/kelurahan.Pengawas Pemilu Luar Negeri berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia. Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik. Jumlah anggota: 1. Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang; 2. Bawaslu di Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang; 3. Panwaslu di Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang; 4. Panwaslu di Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang. 5. Jumlah anggota Pengawas Pemilu Lapangan di setiap desa/kelurahan sebanyak 1 (satu) orang. (UU No 15 Tahun 2011)

 Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud diatas, Bawaslu beserta jajaran dibawahnya:
  • Menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;
  • Menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak mengandung unsur pidana;
  • Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;
  • Meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  • Memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/kota berdasarkan laporan Panwaslu legislatif di Provinsi dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota; dan/atau
  • Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 123) 

Proses pengawasan pemilu antara lain;
  1.  Pendaftaran partai Politik dan Verifikasi Partai Politik, 
  2. Penyusunan Daftar Pemlih dan Penetapan Daftar Pemilih Tetap,
  3.  Pendaftaran Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kota/Kabupaten,
  4.  Penyusunan dan Verifikasi Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota,
  5.  Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota,
  6.  Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD, Kampanye, 
  7. Pemungutan Suara, 
  8. Penghitungan Suara, 
  9. Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara, 
  10. Penetapan hasil Pemilu, Penetapan perolehan kursi dan calon terpilih, dan 
  11. Penyelesaiaan Pelangaran Pemilu dan Perselisiahan hasil Pemilu. 

MEKANISME KERJA PENGAWASAN PEMILU 

A. Pendaftaran partai Politik dan Verifikasi Partai Politik Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon Peserta Pemilu kepada KPU. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 14) Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 14) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

B. Penyusunan Daftar Pemlih dan Penetapan Daftar Pemilih Tetap Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 19) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan. Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara. KPU Kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. KPU Kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah. 

C. Pendaftaran Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kota/Kabupaten Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diajukan kepada KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain. KPU Kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD Kabupaten/kota yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 58) 

D. Penyusunan dan Verifikasi Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 disusun dalam daftar calon sementara olehKPU untuk daftar calon sementara anggota DPR. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi. KPU Kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 61) 

E. Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR. KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi. KPU Kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 65)

 F. Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD Perseorangan yang memenuhi persyaratan dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan bakal calon anggota DPD. Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan persyaratan administrasi bakal calon anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 70) 

G. Kampanye Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/kota, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD.
 Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 78) Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan kampanye secara nasional, terhadap : a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung; atau b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung. 

H. Pemungutan Suara Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak. Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan ditetapkan dengan keputusan KPU. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 148) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan suara dengan tertib dan bertanggung jawab. Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan pemungutan suara oleh KPPS/KPPSLN, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri memberikan saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS/TPSLN. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 169) 

I. Penghitungan Suara Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di TPS dilaksanakan oleh KPPS. Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPSLN dilaksanakan oleh KPPSLN Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di TPS disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu. Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di TPS diawasi oleh Pengawas Pemilu Lapangan. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 172) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di dalam TPS. Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/ Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud diatas dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga mengadakan pembetulan. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 178)

 J. Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara
  • Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Kecamatan PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari TPS melalui PPS. PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di kecamatan. PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu legislatif di kecamatan, dan KPU Kabupaten/kota.(UU No 10 Tahun 2008 Pasal 182) Panwaslu legislatif di kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada PPK. 
  • Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Kabupaten/Kota KPU Kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari PPK. KPU Kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 187) Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada KPU Kabupaten/kota. 
  • Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Provinsi KPU provinsi membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari KPU Kabupaten/kota. KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwas Provinsi. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 192) Panwaslu legislatif di Provinsi wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada KPU provinsi. 
  • Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Nasional KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari KPU provinsi. KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 194) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada KPU. 

K. Penetapan hasil Pemilu Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu. Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di Provinsi. Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD Kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU Kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 200) 

 L. Penetapan perolehan kursi dan calon terpilih Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan oleh KPU. Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi. Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD Kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 204) Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan oleh KPU. Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi. Calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 213) 

M. Penyelesaiaan Pelangaran Pemilu dan Perselisiahan hasil Pemilu Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Laporan sebagaimana dimaksud diatas dapat disampaikan oleh: a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih; b. pemantau Pemilu; atau c. Peserta Pemilu. Laporan sebagaimana dimaksud diatas disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat: a. nama dan alamat pelapor; b. pihak terlapor; c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan d. uraian kejadian. Laporan sebagaimana dimaksud diatas disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu. Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.

Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud diatas terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima. Dalam hal Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif dikecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut laporan dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima. Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut laporan dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima.

Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota. Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilu diatur dalam peraturan Bawaslu. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 247)
  • pelanggaran admnistrasi Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU. Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi , dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya. Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya. KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota. (UU No 10 tahun 2008 Pasal 250) 
  •  Pelanggaran pidana Pemilu Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu 

KESEKTRETARIATAN 
Sekretariat Bawaslu dipimpin oleh kepala sekretariat yang berasal dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Kepala Sekretariat Bawaslu adalah jabatan struktural eselon II. Kepala Sekretariat Bawaslu bertanggung jawab kepada Bawaslu. Kepala Sekretariat Bawaslu diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri atas usul Bawaslu. Pegawai Sekretariat Bawaslu berasal dari pegawai negeri sipil dan tenaga profesional yang diperlukan. Pola organisasi dan tata kerja Sekretariat Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Bawaslu. (UU No 22 tahun 2007 pasal 108) Jumlah pegawai sekretariat Panwaslu di Provinsi/Kabupaten/Kota/ Kecamatan masing-masing paling banyak 5 (lima) orang. Pegawai sekretariat Panwaslu di Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamatan berasal dari pegawai negeri sipil dan tenaga profesional yang diperlukan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan pegawai sekretariat Panwaslu di provisnsi/kabupaten/kota dan tata kerja sekretariat Panwaslu sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan peraturan Bawaslu dengan berpedoman pada Peraturan Presiden. (UU No 22 tahun 2007 pasal 109)

Kamis, 17 Mei 2012

Komunikasi Politik dalam Integritas Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu wujud dari sistem demokrasi. Pelaksanaan pemilu merupakan partisipasi masyarakat dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik. Penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu sehingga tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Integritas proses dan hasil pemilu (Integrity Electoral) akan terwujud apabila semua ketentuan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan dengan konsisten.

Dalam kajian komunikasi politik dalam Pemilu membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem politik khususnya sistem pemilu yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem pemilu itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lembaga legislatif Indonesia (DPR RI) kembali melahirkan regulasi pemilihan umum (Pemilu), Setelah UU No 15 Tahun 2011 regulasi tetntang penyelenggara Pemilu, DPR RI telah memutuskan UU tentang pemilihan DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten dan DPD RI. Kedua regulasi yang diputuskan DPR RI ini menyempurnakan UU No 22 Tahun 2007 dan UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu 2009. Walaupun masih ada satu regulasi yang masih ditunggu oleh masyarakat -UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta UU Pemerintahan Daerah yang mengatur Pemilu Kepala Daerah-, upaya yang dilakukan oleh dewan legislatif telah memperlihatkan keinginan untuk mengupayakan pemilu yang lebih baik tahun 2014 nantinya. 

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu wujud dari sistem demokrasi. Pelaksanaan pemilu merupakan partisipasi masyarakat dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik. Pemilihan umum dilakukan guna ; pertama mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden/wakil presiden serta Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Kedua mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/atau mengenai sirkulasi elit secara priodik dan tertib.dan ketiga mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradap. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi masyarakat. Sehingga pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi tersebut (Mariam Budiardjo ; 2008). 

Untuk menilai tingkat demokrasi suatu pemilu antara lain : petama setiap tahapan penyelengaraan pemilu sesuai mengandung kepastian hukum (predictable procedur). Untuk itulah DPR bersama pemerintah setiap lima tahun membuat regulasi (Undang-Undang Pemilu) guna mengevaluasi dan mengantisipasi persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi pada penyelengara. Untuk menilai tingkat demokrasi suatu pemilu antara lain : 
1. setiap tahapan penyelengaraan pemilu sesuai mengandung kepastian hukum (predictable procedur) 
2.setiap tahapan peneyelengaraan pemilu berdasarkan azas pemilu yag demokratik yakni Langsung umum bebas dan rahasia (luber), Jujur dan Adil (jurdil) serta Akuntabel (Free and fairelection) 
3.  proses penyelengaraan pemilu menggandung sistem pengawasan untuk menjamin setiap pelaksanaan sesuai dengan ketentuan dan juga hasil pemilu yang akurat dan sesuai dengan hasil pilihan pemilih (Electoral Integrity) 
4. proses penyelenggaraan pemilu mengandung sistem penyelesaian sengketa pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepatn pemilu nantinya. 
Kedua setiap tahapan peneyelengaraan pemilu berdasarkan azas pemilu yag demokratik yakni Langsung umum bebas dan rahasia (luber), Jujur dan Adil (jurdil) serta Akuntabel (Free and fairelection). 
Ketiga proses penyelengaraan pemilu menggandung sistem pengawasan untuk menjamin setiap pelaksanaan sesuai dengan ketentuan dan juga hasil pemilu yang akurat dan sesuai dengan hasil pilihan pemilih (Electoral Integrity). Hal ini menjadi tugas dan kewajiban Bawaslu dan jajaranya dalam mengawasi penyelengaraan pemilu di Indonesia. 
Keempat proses penyelenggaraan pemilu mengandung sistem penyelesaian sengketa pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepat. 

Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Banyaknya keluhan masyarakat dan pesrta pemilu (partai Politik) yang kecewa terhadap penyelenggaraan pemilu di Indonesia selama ini. Bahkan KPU dan Bawaslu yang telah melaksanakan tugasnya secara baik dituding sebagai salah satu titik lemah penyelangaraan pemilu yang tidak aspiratif. 

Ada beberapa persoalan yang sangat esensial yang timbul selama proses pemillihan umum tersebut. Persoalan itu antara lain : 
pertama Masalah regulasi. Ada persoalan yang menyangkut regulasi yakni masalah kekosongan hukum, masalah ketidak konsistenan hukum dan masalah ketentuan yang multitafsr. 
Kedua Masalah penyelenggara. Masalah profesional dan integritas penyelengara baik KPU maupun Bawaslu menjadi persoalan dalam pelaksanaan pemilu 
Ketiga Masalah politik lokal di sejumlah daerah yang memang rawan persoalan. Hal ini tentunya akan menjadi persoalan terselubung pada saat pemilu. 
Keempat Masa kampanye panjang yang dapat menyebabkan kekacauan ancaman ketertiban, kenyamanan dan keamanan social, 
Kelima Gugatan selisih hasil pemilu yang merupakan pola memperoleh kemungkinan kekuasaan keenam Politik uang sebagai modus memenangkan pertarungan dalam pemilu 

Untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tidak hanya lemabaga penyelengara saja yang menjadi titik perhatian, namun diperlukan sistem pendukung yang memadai. Sistem pendukung tersebut antara lain; 
pertama organisasi penyelengara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang sesuai dengan personal yang profesional dan berintegritas. 
Kedua sistem anggaran yang memadai. 
Ketiga sistem pengadaan dan distribusi logistik yang sesuai keempat sistem dokumentasian data dan informasi yang sesuai 

Dalam praktek kenegaraan, keabsahan sistem pemilu apabila mendapat dukungan dari seluruh warganegara yang berada dalam lingkup sistem tersebut, yang terwujud dalam partisipasi politik.sehingga pelaksanaan pemilu tersebut benar-benar mencerminkan totalitas aspirasi dan cita–cita seluruh warga masyarakat negara dalam berdemokrasi Integritas proses dan hasil pemilu (Integrity Electoral) akan terwujud apabila semua ketentuan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan dengan konsisten. Integritas pemilu ini terwujud apabila tidak ada penyimpangan, pelanggaran, intimidasi, manipulasi, dan kesalahan dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan pemilu. Sehingga rakyat sebagai pemegang kedaulatan maupun sebagai pemilih ataupun semua pihak yang menaruh perhatian terhadap pemilu yang demokratis akan percaya terhadap hasil pemilu apabila interitas proses dan hasil pemilu ini dilaksanakan dengan baik. 

Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni : 1. Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri. 2. Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality), 3. Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih. 4. Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih. 5. Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004). 

Salah satu implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas pemilu atau integritas pemilu adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu. Menurut DR. S.P. Siagian, MPA mengambarkan pengawasan sebagai berikut; “Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.” Dalam pelaksanaanya Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi pemilu 2014, selain bertugas melaksanakan kewajiban (tugas pokok) dalam mengawal pemilu yang berintegitas, juga mengupayakan keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengawasan pemilu tersebut. Namun untuk memaksimalkan fungsi pengawasan, perlu meningkatkan peran serta masyarakat secara keseluruhan. 

Hal ini disebabkan pertama masyarakat yang memiliki kedaulatan dalam negara ini kedua masyarakat memiliki kepentingan dalam pemilu. Karena mereka harus mengawal suara mereka supaya tidak dicurangi kedua fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu beserta jajaran kurang optimal. Hal lain dikarenakan pengawasan hanya dilakukan sampai pada tingkat kelurahan/desa. letak geografis daerah pengawasan yang cukup luas idak sebanding dengan jumlah pengawas yang ada. pemahaman sebagian besar pengawas tentang pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan yang minim. peralatan pendukung terhadap pengawasan yang minim .

Penurunan Partisispasi Ironisnya pemilu di Indosinesia menurut data KPU, partisipasi masyarakat dalam pemilu ini semakin lama semakin menurun. Hal ini ditandai dengan angka partisipasi yang mencapai 94 % pada pemilu 1971, 90% pada pemilu 1977, meningkat 97% pada pemilu 1982. Pada saat reformasi partisipasi masyarakat pada pemilu 1999 menjadi 93 %, pada pemilu 2004 menurun menjadi 84 %, dan menurun menjadi 71 % pada pemilu 2009 (70,99% pemilu legislatif dan 72,56% pada pemilu presiden) 

 Upaya peningkatan pertisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengawasan pemilu dilakukan dengan cara : 
pertama Edukasi (pendidikan). Pendidikan politik dan pemilu perlu dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemilu tersebut. Sehingga masyarakat tahu hak dan kewajiban dalam pemilu tersebut. 
Kedua Sosialisasi Pemilu. Sosialisasi ini berupa sosialisasi tahapan pemilu mulai dari verifikasi peserta pemilu sampai pelantikan dan pengabilan sumpah. Selain itu sosialisasi peraturan (regulasi) yang mengatur pelaksanaan pemilu baik berupa Undang-undang maupun peraturan KPU dan Bawaslu serta perturan lainya. 
Ketiga Transparansi (keterbukaan). Masyarakat perlu diberikan kesempatan dalam mengakses proses pemilu dan aturan-aturan dalam proses dan hasil pemilu. Akses tersebut berupa Akses terhadap mekanisme pelaksanaan tahapan yang telah dan sedang dilakukan dalam pemilu. Akses terhadap anggaran pelaksanaan pemilu Akses terhadap pelaksanaan pengadaan dan distribusi peralatan pemilu sehingga tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat spesifikasi, tepat anggaran. Akses terhadap mekanisme penyelesaiaan sengketa dan hasil sengketa pemilu. 

Komunikasi Politik 
 Selain upaya yang KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu dalam meningkatkan kualitas pemilu, KPU dan Bawaslu juga membangun komunikasi politik secara vertikal dan horizontal. Komunikasi vertikal adalah membangun sinergi dengan Kpu/Bawaslu Provinsi dan KPU/Panwaslu Kabupaten/kota. Komunikasi horizontal adalah komuniksi yang dilakukan dengan pemangku kepentingan pada pemilu yang akan datang. Kominikasi dilakukan dengan Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah, Media Massa, Lembaga Pemantau Pemilu, LSM, DPR RI, Lembaga Penegakan Hukum, Lembaga Pemerintah yang berhubungan langsung dengan penyelanggaraan Pemilu. 

Untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tidak hanya lemabaga penyelengara saja yang menjadi titik perhatian, namun diperlukan sistem pendukung yang memadai. Sistem pendukung tersebut antara lain ; pertama organisasi penyelengara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang sesuai dengan personal yang profesional dan berintegritas. Kedua sistem anggaran yang memadai. Ketiga sistem pengadaan dan distribusi logistik yang sesuai keempat sistem dokumentasian data dan informasi yang sesuai. Selain itu komunikasi dilakukan denga peserta pemilu yakni partai-partai yang mengikuti pemilu di Indonesia. Namun yang terpenting komunikasi yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu adalah komunikasi yang dilakukan dengan masyarakat khususnya pemilih yang menyapaikan aspirasinya. 

Dalam kajian komunikasi politik dalam Pemilu membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem politik khususnya sistem pemilu yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem pemilu itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasan tentang sistem pemilu ini berkait pula dengan transformasi nilai-nilai yang dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi politik dan pendidikan politik. 

Komunikasi Politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik Astrid S. Susanto (1975) Komunikasi politik berfungsi untuk menumbuhkan persamaan persepsi dan kesatuan pandang melalui simbol-simbol komunikasi sebagai produk interpretasi bersama. Hal ini yang dimaksud berwujud sifat-sifat integratif perilaku dan pola pikir ke dalam sistem politik yang sedang berlangsung dan sekaligus terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai yang dijunjung tinggi bersama. Dalam hal ini KPU dan Bawaslu adalah aktor pemilu yang yang ditugasi menyelengarakan dan mengawasi pemilu. Mereka menafsirkan regulasi dan sistem pemilu yang terkandung didalam lingkungan mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi susksesnya proses penyelengaraan dan pengawasan pemilu. 

Dalam proses ini, mereka menggunakan bahasa, label (simbul-simbul), dan rutinitas untuk pengelolaan pesan dan mode-mode lain tindakan spesifik secara cultural. Sebagai contoh salah satu kegiatan penyelengaran pemilu dalam menfsirkan regulasi (undang-undang Pemilu) dan mensosialisai kepada masyarakat dan peserta pemilu. Guna pencapaian komunikasi secara efektif dan efisien proses sosialisasi mengunakan bahasa, simbul-simbul dan kegiatan rutinitas yang ada pada adat-istiadat (Cultural) setempat. Sehingga dapat mudah dipahami oleh masyarakat setempat dan dapat dengan mudah terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai pemilu yang dijunjung tinggi bersama. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam mencapai interitas pemilu di Indonesia Demikianlah fungsi dan peranan komunikasi politik dalam pelasanaan pemilu. Banyak hal yang menjadi kajian dalam proses pengembangan komunikasi politik seiring dengan perkembangan dan kompleknya persoalan pemilu saat ini. 

 Musfialdy S.Sos M.Si Dosen Komunikasi UIN Suska Pekanbaru Riau

Organisasi dan Komunikasi Organisasi

Komunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling serin...