tag:blogger.com,1999:blog-47663680352612345622024-02-08T05:14:01.239-08:00M U S F I A L D Y SEMOGA TULISAN YANG ADA BISA BERMANFAAT BAGI SEMUA
Aamin.......Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-68802936716210936692012-06-04T19:26:00.000-07:002012-07-23T07:44:57.307-07:00Organisasi dan Komunikasi Organisasi<br />
<b><span lang="FI"></span></b><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN">Komunikasi di dalam organisasi tidak
terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi.</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="SV"> Komunikasi merupakan kegiatan yang paling
sering dilakukan </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="SV">dalam </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="SV">organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi.</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="SV"> Tujuan dari
dibuatnya teori komunikasi untuk menjembatani jurang pemisah dalam organisasi,
sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi. </span></i></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV">I. Organisasi</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV"> </span></b><span lang="SV">Telaah mengenai organisasi dapat menjadi
demikian kompleks. Umpamanya organisasi dapat memiliki aspek mikro dan makro.
Dari pandangan makro memberikan pertimbangan/ memperhatikan sekumpulan
organisasi yang mempunyai komponen (mikro). Komponen ini mempunyai sasaran atau
ciri-ciri khusus yang berbeda dengan system makro (Herbert G Hick dan Ray
Gullet, 1987).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Organisasi dengan demikian
adalah kesatuan (<i>entity</i>) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan
sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang
relative terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok
tujuan. Batasan ini terlihat amat panjang dan perlu diuraikan bagian-bagian
penting yang relevan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Konsep dikoordinasikan
dengan sadar, mengandung pengertian manajemen. Kesatuan sosial, berarti bahwa
unit itu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama
lain. Pola interaksi yang diikuti orang di dalam sebuah organisasi tidak begitu
saja timbul, melainkan telah dipikirkan
terlebih dahulu. Sebuah organisasi memiliki batasan yang relative dapat diidentifikasi,
berarti batasan dapat berubah dalam kurun waktu tertentu dan tidak selalu
jelas, namun semua batasan yang nyata harus ada agar kita dapat membedakan
antara anggota dan bukan anggota. Orang-orang di dalam sebuah organisasi
mempunyai suatau keterikatan yang terus-menerus. Rasa keterikatan ini tentunya
bukan berarti keanggotaan seumur hidup, akan tetapi sebaliknya organisasi
menghadapi perubahan yang konstan di dalam keanggotaan mereka. Akhirnya,
organisasi itu ada untuk mencapai sesuatu. “Sesuatu” itu adalah tujuan, dan
tujuan tersebut biasanya tidak dapat dicapai oleh individu-individu yang
bekerja sendiri, atau jika mungkin, hal tersebut dicapai secara efisien melalui usaha kelompok (Stephen P. Robbins,
1994).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Dari pengertian tentang
organisasi tersebut dapat disimpulkan, bahwa individu dengan organisasinya
adalah tidak mungkin melepaskan diri dari hubungan jalin menjalin satu sama
lain. Keberhasilan suatu organisasi secara tidak langsung merupakan
pengkoordinasian yang baik dari dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan
bersama. Organisasi yang mutakhir dan yang serba kompleks pada umumnya bekerja
secara serentak, terstruktur dan terkendali dalam rangka mencapai tujuan
organisasi secara efisien dan efektif.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Burn dan Stalker (1979)
menyatakan bahwa suatu organisasi tidak akan berfungsi dengan efektif apabila
struktur organisasinya tidak disesuaikan dengan lingkungannya. Apabila kondisi
lingkungan organisasi relatif stabil,
maka struktur yang cocok adalah struktur yang mekanistik yaitu struktur yang
diatur secara rinci, pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab dan hubungan
kerja antar unit-unit organisasi tersebut. Sebaliknya, apabila kondisi
lingkungan tidak stabil, sehingga banyak faktor-faktor lingkungan yang tidak
bisa diperkirakan situasi masa depannya, maka struktur organisasi yang sesuai
adalah struktur yang organik yang pengaturannya tidak terlalu kaku, lebih
fleksibel, dalam arti kata pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
hubungan kerja antar unit-unit.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV">1. Sasaran, Efisiensi dan Efektivitas Organisasi</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Menurut Amitai Etzioni
dalam <i>Modern Organizations</i> (dikutip Hari Lubis dan Martani Huseini,
PAU-UI, 1987), bahwa sasaran (goal) organisasi adalah suatu keadaan atau
kondisi yang akan dicapai oleh suatu organisasi. Dalam pengertian tersebut
sasaran dapat diidentikan sebagai tujuan organisasi, baik tujuan jangka panjang
maupun jangka pendek, yang mencakup sasaran dari keseluruhan organisasi ataupun
sasaran dari suatu bagian tertentu dari organisasi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pemahaman tentang tujuan
atau sasaran organisasi ini akan sangat berkaitan sekali dengan efisiensi dan
efektifitas organisasi, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan
suatu organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV"> Efisiensi merupakan sebuah konsep yang bersifat
lebih terbatas dan menyangkut proses
internal yang terjadi dalam organisasi. Efisiensi menunjukkan banyaknya input
atau sumber yang diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan
output. Karena itu, efisiensi dapat diukur sebagai ratio atau sumber yang
diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output dengan
menggunakan input atau masukan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang digunakan
oleh organisasi lainnya. Dapat dikatakan sebagai organisasi yang lebih efisien.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span lang="SV">Sementara itu konsep efektifitas organisasi dapat
dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai
tujuan atau sasarannya. Efektifitas ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang
sangat luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi itu
sendiri (Hari Lubis dan Martani Huseini, 1987).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Efektifitas organisasi dapat diukur dengan
berbagai macam cara, tapi tidak ada satupun ukuran yang benar-benar sempurna
dan setiap ukuran yang digunakan pasti memiliki kelebihan ataupun kekurangan
dibanding ukuran yang lainnya. Diantara pendekatan yang ada untuk mengukur
efektifitas organisasi adalah pendekatan sasaran (<i>goal approach</i>) atau
pendekatan pencapaian tujuan, pendekatan sumber (<i>system Resources approach</i>),
pendekatan sistem (<i>system approach</i>), pendekatan Kontituensi dan
pendekatan nilai-nilai bersaing.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="FI">Pendekatan sasaran atau tujuan memiliki kelemahan
antara lain ; </span></div>
<div class="ListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 21.3pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l1 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">(1)<span style="font: 7pt "Times New Roman";">
</span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">pencapaian bersifat wujud (<i>tangible</i>), </span></div>
<div class="ListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 21.3pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l1 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">(2)<span style="font: 7pt "Times New Roman";">
</span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">organisasi mencoba mencapai lebih dri satu
tujuan, tetapi pencapaian satu tujuan acapkali menghalangi atau mengurangi
kemampuan mereka mencapai tujuan yang lain, </span></div>
<div class="ListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 21.3pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l1 level1 lfo6; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">(3)<span style="font: 7pt "Times New Roman";">
</span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">keberadaan tujuan resmi yang lazim dimana
anggota menyatakan <i>koitman</i> masih dipertanyakan, beberapa peneliti telah
menemui kesulitan memperoleh konsesus diantara manajer, atas tujuan organisasi
mereka (lihat James L Gibson at.al, edisi kedelapan, 1996).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Dalam pendekatan sistem untuk mengukur efektifitas
organisasi juga mengandung kelemahan, yaitu pendekatan ini lebih terfokus pada
cara-cara yang diperlukan untuk mencapai keefektifan dari pada keefektifan
organisasi itu sendiri, karena melihat variabel proses bagaimana organisasi
berinterkasi dengan lingkungan yang terbuka dan mempengaruhinya, sehingga sulit
dikembangkan alat ukur yang sah dan andal untuk memperoleh kuantitas atau
intensitasnya (Stephen P. Robbins, 1994).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Pendekatan konstituensi dalam pengukuran
efektifitas organisasi adalah mencoba untuk memandang keseluruhan kegiatan yang
dilakukan pada suatu organisasi dengan memusatkan perhatiannya pada berbagai
komponen atau kelompok di dalam maupun di luar organisasi yang mempunyai
kepentingan dengan performa organisasi, seperti karyawan, pemegang saham,
leveransir bahan, pemilik dan sebagainya. Dengan demikian, efektifitas
organisasi akan diukur dari tingkat kepuasan setiap elemen konstituensi
terhadap organisasi itu (Hari Lubis dan Martaini Huseini, 1987).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Pendekatan ini tentu memiliki kelemahan, bahwa
tingkat kepuasan kelompok konstituensi atau pelanggan / konsumen bersifat
relatf dan sulit diukur serta setiap elemen konstituensi tentu memiliki
kriteria yang berbeda menilai organisasi sesuai dengan perbedaan kepentingan
masing-masing.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN">Guna memahami organisasi pengawasan sebagai wadah
dan proses maka perlu menghayati lima pertanyaan sebagai berikut : (Siagian,
2002; 229)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 14.4pt; mso-list: l2 level1 lfo4; tab-stops: list 14.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>Siapa
yang melakukan, melakukan apa?. Karena dalam organisasi selalu terjadi
pembagian tugas.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 14.4pt; mso-list: l2 level1 lfo4; tab-stops: list 14.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>Siapa
yang bertanggung jawab, kepada siapa?. Perlu dikatakan dengan jelas sebab di
dalam organisasi terdapat hierarki wewenang dan tanggung jawab.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 14.4pt; mso-list: l2 level1 lfo4; tab-stops: list 14.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
<span lang="SV">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";">
</span></span><span lang="SV">Siapa
yang berinteraksi, dengan siapa?. Hal ini mengingat bahwa organisasi yang
dikelola dengan baik berpedoman pada prinsip sinergi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 14.4pt; mso-list: l2 level1 lfo4; tab-stops: list 14.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span><span lang="SV">Pola komunikasi yang bagaimana yang
berlaku di dalam organisasi?. </span>Berkaitan dengan kultur organisasi yang
dianut.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 14.4pt; mso-list: l2 level1 lfo4; tab-stops: list 14.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
5.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>Jaringan
informasi apa yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh para anggota organisasi
yang bersangkutan?</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
Organisasi-organisasi
pemerintah adalah salah satu bagian dari organisasi public, disamping itu
terdapat juga apa yang disebut organisasi privat (korporat). Kedua bentuk organisasi
tersebut memiliki perbedaan, diantaranya bahwa organisasi publik cenderung
bertahan lama, sementara organisasi privat, daur hidupnya fluktuatif, terkadang
mengalami kemajuan, terkadang mengalami kemunduran bahkan kemungkinan bubar
sebagai organisasi. Mengapa demikian, organisasi publik memiliki kecenderungan
bertahan terhadap berbagai perubahan lingkungan karena ditopang oleh kekuasaan,
sementara organisasi privat, hidupnya banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam
merespon perubahan dan lingkungannya.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Salah satu bagian bahasan dalam organisasi adalah
yang menyangkut struktur organisasi. Struktur organisasi menunjukan bagaimana
tugas akan dibagi, siapa yang melapor kepada siapa, dan mekanisme koordiansi
yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Robbins (1994: 6)
menyebutkan bahwa adatiga komponen dari struktur organisasi, yaitu
kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Kompleksitas mempertimbangkan tingkat
differensiasi yang ada dalam organisasi, termasuk didalamnya tingkat
spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan didalam hirarki
organisasi, serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara
geografis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Sementara
formalisasi menyangkut tingkat sejauh mana sebuah organisasi menyadarkan
dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur prilaku dari para
pegawainya. Sentralisasi mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan
keputusan. Dalam organisasi, kecenderunganya secara bergantian dipergunakan
sentralisasi atau desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Ketiga komponen diatas sangat menentukan
berjalannya organisasi, struktur yang komplek dengan tingkat formalisasi aturan
yang ketat serta pengambilan keputusan yang sangat sentralistik membuat
organisasi menjadi sangat lamban dalam merespon perubahan lingkungan, begitu
juga sebaliknya, tingkat kompleksitas yang rendah, dengan derajat formalisasi
yang lentur serta pengambilan keputusan yang desentralistik menjadikan
organisasi cepat merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Persoalan organisasi publik adalah terlalu
kompleknya struktur dengan formalisasi aturan yang ketat dan sangat prosedural
yang disertai oleh minimnya pelimpahan kewenangan (desentralisasi) menjadikan
organisasi publik dijangkiti penyakit birokrasi <i>red-tape</i>, bertele-tele, <i>high
cost</i> dan tidak adaptif terhadap tuntutan atau dukungan publik. Kondisi
tersebut menuntut dilakukannya evaluasi yang dilanjutkan dengan merancang
kembali terhadap struktur organisasi pemerintah daerah agar lebih tanggap perubahan-perubahan lingkungan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Dalam literatur administrasi maupun kebijakan
publik, dimensi struktur organisasi dibedakan atas beberapa bentuk, Jackson dkk
(1986) membedakannya kedalam 8 tingkatan,
masing-masing (1) <i>organization size</i>, (2) <i>complexity or differentiation, </i>(3) <i>formalization,
</i>(4) <i>control, </i>(5)<i> administrative component, </i>(6) <i>bureaucratization,
</i>(7) <i>centralization </i>dan (8) <i>level of authority.</i> </span>Sementara
itu Robbins (1994) membedakan kedalam tiga dimensi<i> , </i>masing-masing : (1)
<i>complexity or differentiation, </i>(2) <i>formalization, </i>(3)<i>
centralization. </i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
Dari ketiga
dimensi struktur sebagaimana diatas <i>complexity</i> memiliki kaitan dengan
kajian tentang rancangan struktur organisasi. <i>Complexity </i>adalah “<i>degree
of differentiation”, </i> baik horizontal
maupun vertikal.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>2. Diferensiasi Horizontal</b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Diferensiasi
secara horizontal adalah <i>the</i> <i>degree of horizontal separation between
units, </i>diferensiasi horizontal dilakukan dalam bentuk spesialisasi atau
departementasi. <span lang="SV">Diferensiasi ini
dalam batas tertentu berkaitan dengan efisiensi dan produktivitas. Dalam batas
tertentu, semakin spesial suatu tugas (<i>full-specialized</i>) atau pekerjaan,
semakin efisien, tetapi diluar batas itu <i>over</i> <i>specialized </i>atau <i>under
specialized </i>bahkan<i> overlapped, </i>efisiensi menjadi menurun. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Dengan demikian maka
struktur yang terdefrensiasi secara penuh spesialisasi berpengaruh pada
pencapaian tingkat efisiensi dari organisasi. Diferensiasi melalui spesialisasi
fungsi-fungsi disamping menciptakan efisiensi dan meningkatkan produktifitas
(karena tingkat kecakapan dari para spesialis-spesialis) juga mempersingkat
waktu pencapaian tujuan organisasi. Spesialisasi pada organisasi privat
biasanya terbentuk departementalisasi, yakni pengelompokkan pekerjaan dan
orang-orang berdasarkan spesialisasinya, misalnya departemen <i>purchasing,
marketing, </i>dan sebagainya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Diferensiasi horizontal
berkaitan dengan bentuk struktur suatu organisasi, Mary Jo Hatch dalam
Organization Theory (1997) membedakan enam bentuk struktur organisasi, yaitu :
(1) <i>simple structure, </i>(2) <i>functional structure, </i>(3) <i> multi division structure, </i>(4) <i> matrix structure, </i>(5) <i>hybrid structure </i>dan
(6) <i>network structure. </i>Pilihan atas model-model struktur tersebut
tergantung atau disesuaikan dengan tujuan suatu organisasi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV">3 Diferensiasi Vertikal</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="SV"> </span></b><span lang="SV">Sementara itu diferensiasi vertikal adalah
“the depth of organizations hierarchy”. Diferensiasi vertikal merujuk pada
struktur organisasi, semakin tinggi tingkat hierarki organisasi semakin jauh
hubungan antara <i>top management </i>dengan staf atau struktur bawahnya.
Diferensiasi vertikal berkaitan dengan otoritas dan rentang kendali sebuah
organisasi, semakin tinggi bentuk struktur organisasi, semakin tinggi rentang
kendali dalam organisasi tersebut semakin besar (<i>cost</i>) birokrasi yang
dibutuhkan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Ada dua model struktur
dalam diferensiasi vertikal, yaitu model <i>tall </i>dan model <i>flat.</i>
Model <i>tall </i>terdiri atas beberapa tingkatan dalam struktur organisasi
(bentuk meninggi) sementara model <i>flat </i>lebih mendatar dengan sedikit
tingkatan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Struktur tall memberikan
supervisi dan kontrol yang berorientasi pada atasan yang lebih ketat, dan
kordinasi serta komunikasi menjadi rumit, disebabkan oleh bertambahnya jumlah
yang harus dilalui perintah-perintah. Struktur flat mempunyai rantai komunikasi
yang lebih singkat dan sederhana, peluang supervisi yang lebih sedikit karena
para manajer (kepala bagian) mempunyai lebih banyak orang yang melapor
kepadanya, dan mengurangi peluang kenaikan jabatan karena tingkat manajemen
yang lebih sedikit (Robbins, 1990).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="SV">Secara konseptual Henry Mintzberg dalam <i>Structure-In-Five
</i>(1983) mengatakan bahwa organisasi formal setidaknya memiliki lima bagian
dalam strukturnya, masing-masing :</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 50.4pt; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 50.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span><i>Strategic
Apex</i> (unsur pimpinan, unsur kepala);</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 50.4pt; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 50.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span><i>Middle
Line </i>(lini tengah);</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 50.4pt; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 50.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span><i>Technostructure
</i>(unsur staf);</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 50.4pt; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 50.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span><i>Support
Staf </i> (staf pendukung);</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 50.4pt; mso-list: l3 level1 lfo5; tab-stops: list 50.4pt; text-align: justify; text-indent: -14.4pt;">
5.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span><i>Operating
Core</i> (unsur pelaksana).</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 36.0pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>4. Teori Organisasi Modern </b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Perkembangan
teori organisasi pada mulanya menunjukan gejala “ menyebar”. Berbagai
pendekatan muncul sering kali tidak ada hubungan satu dengan yang lainya,
bahkan saling berlawanan. <span lang="SV">Pendekatan
klasik dan Neo-klasik misalnya memberikan jelas gambaran tentang penyebaran
tersebut. Pendekatan klasik memusatkan perhatian pada anatomi organisasi dan
tidak memperhatikan aspek sosial. Sedangkan pendekatan neo klasik justru
mementingkan aspek sosial tetapi kurang memperhatikan anatomi oranisasi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Selanjutnya muncul
pendekatan modern dalam teori organisasi yang sering kali mampu menyatukan
keseluruhan pandangan dalam analisa organisasi. Pendekatan ini muncul diawali
oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Joan Woodward pada tahun 1950-an,
terhadap 100 buah perusahaan industri di South Essex-Ingris.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Penelitian Woodward ini
diikuti oleh beberapa peneliti lainya menunjukan bahhwa selain teknologi
terdapat juga aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap karakteristik
organisasi yaitu faktor-faktor lain yang terdapat dalam lingkungan organisasi.
Hal ini menunjukan bahwa organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, dan
hanya organisasi yang bisa beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan
lingkungan yang dapat mencapai keberhasilan. Karena itu bentuk dan cara
pengelolaan organisasi haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungannya agar organisasi itu
bisa mencapai keberhasilan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Pendekatan modern
mempunyai beberapa perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan pendekatan
sebelumnya yaitu:</span></div>
<div class="ListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 1.0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l2 level4 lfo4; text-align: justify; text-indent: -1.0cm;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";">
</span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Pendekatan Modern memandang organisasi sebagai
suatu sistem terbuka, yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub
sistem) dari lingkunganya, sehingga organisasi bisa dipengaruhi maupun
mempengaruhi lingkunganya.</span></div>
<div class="ListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 1.0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; mso-list: l2 level4 lfo4; text-align: justify; text-indent: -1.0cm;">
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";">
</span></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Keterbukaan dan ketergantungan organisasi
terhadap lingkunganya menyebabkan bentuk organisasi harus disesuaikan dengan
lingkungan dimana organisasi tersebut berada. (S.B. Hari Lubis dan Martani
Husein, 1987 : 6)</span></div>
<div class="ListParagraph" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 1.0cm; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="height: 196px; left: 0px; margin-left: -11px; margin-top: 11px; position: absolute; width: 576px; z-index: -7;"><br /></span><span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div>
<span lang="IN" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> </span>
<br />
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="color: black;">II. KOMUNIKASI ORGANISASI</span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="JA" style="color: black; font-family: "MS Mincho";"> </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="color: black;">(</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="color: black;">ORGANIZATIONAL COMMUNICATION</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN" style="color: black;">)</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="color: black;"></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;"> </span><span lang="IN">Komunikasi organisasi banyak dipengaruhi
oleh teori <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Frederick Taylor (teori
manajemen)</b> dan teori <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Max Weber
(teori</b></span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN"> </span></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN">birokrasi)</span></b><span lang="IN"> yang
melihat bahwa komunikasi dalam organisasi diatur oleh standar yang</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">jelas. Tahun 60 dan 70-an berkembang
pandangan organisasi sebagai suatu sistem, perkembangan selanjutnya tahun 80-an
masyarakat kebingungan dengan rasionalitas dan objektivitas dalam pandangan
sistem dari sinilah muncul pandangan budaya yang</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">melihat dalam organisasi terdapat sejarah, nilai,
ritual dan perilaku anggota organisasi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN"> </span> </b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>Max Weber </b>merupakan pendiri <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">modern
organization studies</b> mengatakan:</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">His account can be summarized as follows: members use the ideal type
conception of bureaucracy to understand the conduct of other members and to
guide their own actions; because they all act in patterns organized by the
ideal type, their actions coordinate in such a way that organizations
consequentially and meaningfully exist. Thus, from its beginning, organization
studies have pursued the central question of how large-scale,
purposefully-controlled organizations are constituted. </i></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: normal;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman";"> </span></b></div>
<div class="MsoBodyText" style="line-height: normal;">
<b><span style="font-family: "Times New Roman";">Max Weber</span></b><span style="font-family: "Times New Roman";"> membentuk studi-studi organisasi modern
dengan menawarkan satu analisis interpretif mengenai birokrasi (1968).
Paparannya dapat diringkaskan sebagai berikut: para anggota menggunakan jenis
ideal konsepsi birokrasi untuk memahami kelakuan anggota lain dan untuk memandu
tindakan mereka sendiri; karena mereka semua bertindak dalam pola-pola yang
diorganisir oleh jenis ideal, tindakan-tindakan mereka mengkordinir dalam cara
yang sedemikian sehingga organisasi-organisasi ada secara konsekuensial dan
secara bermakna. </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">(</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">Robert
D. McPhee</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">, </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">Arizona
State University </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">& </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">Pamela
Zaug</span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">, </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">Arizona State University </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">dalam </span></i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Times New Roman";">The Communicative Constitution Of
Organizations: A Framework For Explanation</span></i></b><span style="font-family: "Times New Roman";">, 2000)</span><span style="font-family: "Times New Roman";"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
James
R. Taylor<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"> </b>dalam<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"> </b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Rethinking the Theory of Organizational
Communication</b>, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">How to Read An
Organization Series: Communication and Information Science </i>menjelaskan bahwa komununikasi organisasi <b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">(</i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">organizational
communication</i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">)</i></b><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"> </b>merupakan faktor penentu suksesnya suatu
organisasi yang bertujuan menjadi sistem demi menyamakan gerak, membentuk
harmonisasi organ-organ, penyelarasan berbagai konflik internal, pencitraan,
pencapaian tujuan bahkan pengembangan organisasi.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Masyarakat
kita merupakan “masyarakat
organisasi”, kita lahir di organisasi, belajar di organisasi dan banyak menghabiskan waktu dari hidup
kita untuk bekerja di organisasi <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">(Littlejohn,
2002</b>). Komunikasi merupakan
kegiatan yang paling sering dilakukan dalam
organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi. Dari kegiatan
tersebut dapat dirinci 5% untuk menulis, 10% baca, 35% bicara dan 50%
mendengar. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Adapun
komunikasi organisasi dilakukan
dalam kerangka: sebanyak 44% untuk
komunikasi rutin; 26% untuk
pengembangan SDM (sumber daya manusia)
antara lain untuk penilaian karyawan,
konseling karyawan, training, seleksi, promosi karyawan, dll.; 19% untuk <i style="mso-bidi-font-style: normal;">traditional management</i> seperti pengawasan, memberi instruksi,
melapor, dll.; 11% untuk net-working antara lain untuk berkoordinasi dengan bagian lain, mencari
informasi pesaing, dll. </div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Istilah organisasi diartikan merupakan sebuah kelompok
individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu (Devito, 1997). <span lang="FI">Jumlah anggota organisasi sangat bervariasi dari satu organisasi ke
organisasi lainnya. </span><span lang="SV">Ada yang
beranggotakan tiga atau empat orang bekerja dengan kontak yang sangat dekat.
Yang lainnya memiliki seribu karyawan tersebar di seluruh dunia. Yang
terpenting adalah mereka ini bekerja di dalam struktur tertentu. Individu</span><span lang="SV"> </span><span lang="SV">di abad ke-21 ini sangat dinamis, masuk
dan keluar dari suatu perusahaan atau organisasi</span><span lang="SV"> </span><span lang="SV">untuk mencari pengalam baru atau penghasilan lebih
baik bukan hal yang aneh.</span><span lang="SV"> </span><span lang="FI">Pada
saat itulah proses asimilasi terjadi.</span><span lang="FI"> </span><span lang="FI">Studi komunikasi organisasi merupakan studi yang interdisipliner.
Bidang-bidang studi yang menggunakan kajian komunikasi organisasi</span><span lang="FI"> yakni:</span><span lang="FI"> manajemen, sosiologi, psikologi sosial,</span><span lang="FI"> </span><span lang="FI">dan lain-lain. Karena itulah maka
teori-teori komunikasi organisasi berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya dan
untuk memahaminya perlu dipelajari terlebih dahulu bagaimana perkembangan
komunikasi organisasi. </span><span lang="IN"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> Pada dasarnya istilah
komunikasi organisasi terbagi menjadi dua arti, yakni; organisasi dan
komunikasi. Kata </span><span lang="FI">’</span><span lang="FI">organisasi</span><span lang="FI">’</span><span lang="FI"> di sini dapat diartikan seperti rangkaian
mesin yang memiliki bagian-bagin untuk
memproduksi sebuah produk atau layanan dari <i style="mso-bidi-font-style: normal;">input
</i>(masukkan) sampai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">output </i>(luaran)
dari suatu sistem. Di samping itu juga
sebagian ahli mendefinisikan organisasi sering dianggap sebagai sesuatu yang
hidup secara natural, seperti layaknya tumbuhan atau binatang. Mereka lahir,
tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan tuntutan zaman yang
melingkupinya. Ada juga yang beranggapan bahwa organisasi seperti otak manusia
yang memiliki proses informasi, intelegensia dan konseptualisasi perencanaan.
Pada perkembangan selanjutnya organisasi sering dianggap, seperti masuk dalam
tatanan realitas budaya karena menciptakan makna, memiliki nilai dan norma yang
dipersuasikan oleh cerita dan ritual yang terbagikan.</span><span lang="FI"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="FI"> </span><span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Dalam
organisasi dikenal juga dengan konsep individualistik atau hubungan
antar individu yang akan memunculkan hubungan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">dyadic</i>. Hubungan dalam kaitannya dengan keintiman ini akan sangat
mengarah kepada adanya hubungan konsepsi jaringan dalam komunikasi organisasi.
Manusia berkomunikasi satu dengan yang lain yang selalu di kaitan dengan
penggunaan saluran komunikasi untuk menjadi instrumen penyampaian pesan bisa
dalam berbagai bentuk, fungsi sosial dalam organisasi yang mampu melingkupi
kelompok besar (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">large groups</i>).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> Sedangkan definisi
komunikasi itu sendiri yang digunakan dalam tulisan ini </span><span lang="SV">yakni</span><span lang="SV"> mengikuti pendapat Pace yang menyebutkan bahwa </span><span lang="SV">”</span><span lang="SV">suatu tindakan komunikasi akan sangat
dipengaruhi oleh dua hal, yakni; penciptaan pesan (atau biasanya disebut dengan
penciptaan pertunjukkan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">display</i>) dan
penafsiran pesan atau penafsiran sebuah pertunjukkan.</span><span lang="SV">”</span><span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Ditambahkan Goldhaber,
bahwa setiap manusia dalam kaitan dengan organisasi akan dihubungan dengan
pertunjukkan yang berjalan. Maksudnya adalah manusia tidak dapat tidak menunjukkan
bahwa mereka tidak mengeluarkan pesan (Goldhaber, 1979). Dalam kantor
pertunjukkan pesan bisa dalam bentuk memo, laporan, pidato dan neraca keuangan
yang dapat merepresentasikan gagasan-gagasan si pengirim pesan. Oleh sebab itu
di dalam menafsirkan pesan akan muncul proses pemindahan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">transfer</i>) dan pertukaran (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">exchange</i>)
pesan, dan di sinilah titik letak penting realitas budaya yang disebutkan oleh
para aliran subyektivis. Keberadaan artefak, gerak tubuh dan tindakan akan
melukiskan suatu makna yang manusia miliki lewat petunjukkan yang secara tidak
langsung digelar. </span><span lang="SV"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">Menurut
James Taylor (1993) tujuan dari dibuatnya teori komunikasi untuk </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV">menjembatani jurang pemisah dalam organisasi,
sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi. </span><i style="mso-bidi-font-style: normal;">“The goal of organizational communication
theory ought to be to bridge the micro/macro gap, by showing how to discover
the structure in the process and delineating the processes that realize the
structure” (261). The processes of communication create a patterning which
constitutes the structure of organization and the organization itself
simultaneously. To develop his conception of <a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4766368035261234562" name="BM6"></a>communication, Taylor turns to Greimas
(among, we should hasten to note, many other theoretic strands), who contends
that all communication has an underlying deep narrative structure that
organizes conversation through various speech acts. The constitution of an
organization would involve its deep narrative structuring of a great number of
elementary transactions conducted by human agents. Another main tenet is his
claim that communication involves two aspects, conversation and text, with the
latter (the medium of organizational structure) stabilizing and grounding, but
also being enacted and potentially transformed by, the former (the medium of
organizationally communicative action). Since communication creates the
structure of organization, Taylor
argues that it makes sense to study organizations from the communication
perspective. A key point to his position, which seems to be comparable to
Weick, is that organization is an effect of communication and not its
predecessor. Taylor vastly extends the range of communication theory applied to
the constitution problem, but his fascination (even as a pronounced interpretivist)
with structuralism leads him to root his answer to the constitution problem in
a grammatical rather than a systems conception. </i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;">Komunikasi
organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di
antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi
tertentu. Suatu organisasi terdiri dari
unit-unit komunikasi yang terdiri dari unit-unit komunikasi dalam
hubungan-hubungan hirarkris antara yang satu lainnya dan berfungsi dalam suatu
lingkungan (Pace and Faules, 2002: 20).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;"> Di
samping itu juga komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif
intepretatif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang
merupakan organisasi. Proses interaksi itu tidak mencerminkan organisasi; ia
adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah perilaku pengorganisasian yang
terjadi dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya bertransaksi dan
memberikan makna atas apa yang sedang terjadi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;">Menurut
Monge dan Eisenberg, kerja dari hubungan komunikasi organisasi antara kolega
yang terinstitusi akan memberikan gambaran terbaik menciptakan konstitusi
konsep jaringan (Littlejohn, 1999:303). Organisasi dianggap sebagai suatu
sistem yang sedikitnya terdiri dari dua orang atau pihak (atau lebih). Di
dalamnya terdapat interdepen, masukan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">input</i>),
hubungan dan luaran (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">output</i>). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;">Struktur
hubungan antara komunikasi organisasi terdiri dari pola interaksi antar
anggota, siapa yang berbicara dan memberi pesan kepada siapa? Hal ini yang
disebut dengan aliran informasi. Dasar pemikiran dari ide ini teori jaringan
yang dapat diprediksikan antar komunikasi antar individu yang ada di dalam
organisasi. </span><span lang="SV" style="color: black;">Jelasnya
dalam struktur komunikasi organisasi pasti terdapat struktur antar dependen dan
interdependen, sehingga antar yang berhubungan dapat menjalankan jaringan
komunikasi. Tapi dalam hal ini perlu ada aturan yang mengikat jaringan dalam
menciptakan hubungan. Oleh sebab itu perlu ada pemahaman peran jabatan dalam
komunikasi organisasi yang tercipta.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="color: black;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="color: black;">Komunikasi
organisasi informal berkaitan dengan fenomena yang disebut komunikasi jabatan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">posisitional communications</i>) (Redfield,
1953). Hubungan yang dimaksud adalah terbentuk atas antar jabatan-jabatan bukan
antara orang-orang. Keseluruhan organisasi terdiri dari jaringan jabatan. Praktik
komunikasi jabatan ini membingungkan
karena tidak semua jabatan dan interaksi secara seksama dapat berjalan dalam
alur informasi yang sesuai dengan jabatan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="color: black;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="color: black;"> Dalam
hubungan informal terbentuk sebagai respon terhadap berbagai kesempatan yang
diciptakan lingkungan, organisasi informal merupakan lingkungan kelompok lebih
nyata yang mempengaruhi jumlah dan pelaksanaan hubungan informal dalam
organisasi. Ada dua model teori organisasi besar, yakni; Weber dengan model
birokrasi yang terfokus pada pengorganisasian. Teori ini dianggap sebagai
pernyataan terpenting tentang organisasi formal yang didasarkan pada
pengelolaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="color: black;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="SV" style="color: black;">Sedangkan
model kedua </span><span lang="SV" style="color: black;">yakni </span><span lang="SV" style="color: black;">organisasi menurut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Frederick
W. Taylor</b>. Bagi beliau doktrin klasik organisasi dan manajemen dapat secara
langsung dilacak kembali ke minat Taylor atas pengawasan (supervisi)
fungsional. Secara khusus Weber dan Taylor menyajikan teori-teori organisasi
dan manajemen yang hampir secara khusus membahas anatomi organisasi formal.
Dalam artian khusus dibahas dalam anatomi formal yang dapat disebut dengan
teori-teori struktural klasik. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="color: black;">Pendekatan Taylor terhadap manajemen dilakukan di sekitar
empat unsur kunci: pembagian kerja, proses skalar dan fungsional, struktur, dan
rentang kekuasaan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN" style="color: black;">1. PEMBAGIAN
KERJA </span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="IN" style="color: black;"> Pembagian kerja di sini
berkaitan dengan bagaimana tugas, kewajiban dan pekerjaan organisasi
didistribusikan. Kewajiban perusahaan secara sistematik dibebankan kepada
jabatan-jabatan dalam suatu tatanan spesialisasi yang menurun. Bila dapat
dilakukan, pekerjaan setiap orang dalam organisasi harus terbatas pada
pelaksanaan suatu fungsi, yang merupakan konsep pembagian kerja. <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">Parkinson</b> merumuskan sejumlah prinsip
yang membantu menjelaskan bagaimana orang-orang dalam organisasi memanipulasi
unsur tersebut (1957). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="IN" style="color: black;"> Dalam
hukum Parkinson (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Parkinson’s Law</i>) ini
menyebutkan bahwa manajer, pekerja dan administrator mulai merasa kekurangan
tenaga karena kelelahan dalam kerja. Oleh sebab itu manajer perusahaan perlu
melakukan tiga pilihan: mengundurkan diri, berbagi kerja dengan kolega atau
meminta bantuan memiliki dua orang bawahan (parkinson dalam Pace and Wyne,
2002:51). </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
<span lang="IN" style="color: black;"> </span><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="SV" style="color: black;">2. PROSES
SKALAR DAN FUNGSIONAL</span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify;">
<span lang="SV" style="color: black;"> Proses
ini berkaitan dengan pertumbuhan vertikal dan horisontal organisasi. </span><span lang="FI" style="color: black;">Proses skalar ini menunjukkan
rantai perintah atau dimensi vertikal organisasi. Dengan penambahan sumber daya
manusia organisasi akan memberikan delegasi dan kewenangan atas tanggungjawab,
kesatuan perintah dan kewajiban pelaporan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify;">
<span lang="FI" style="color: black;"> Pembagian
ini sesuai dengan pilar keempat teori manajemen klasik, bahwa pembagian kerja
dalam tugas-tugas lebih khusus akan menjadi unit-unit yang sesuai dengan
proses-proses fungsional dan ekspansi horisontal organisasi. </span></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="SV">BENTUK KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI <br />
1. Management Information System</span></b><span lang="SV"> <br />
Misalnya: dengan menggunakan
computer, data, informasi. <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">2. Telecomunication</b> <br />
Komunikasi dengan peralatan yang
mana komunikator dan komunikan tidak </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="SV"> </span>berhadapan langsung. <br />
Misalnya: telepon, TV, e-mail, voice
messaging, electronic bulletin board. <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">3. Non verbal communication</b> <br />
Pralinguistic, proxemics, kinesics,
chronemics, olfaksi, tactile, artifactual. <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">4. Interpersonal communication</b> <br />
Komunikasi yang terjadi antar
individu. <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">5. The organizational communication
process</b> <br />
- instruksi atau komando <br />
- laporan, pertanyaan, permintaan <br />
- subsgroup dengan subsgroups <br />
- staff <br />
</div>
<div class="MsoNormal">
<b>BENTUK KOMUNIKASI BERDASAR STRUKTUR
ORGANISASI</b> <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">1. Superior - subordinate communication</b>
<br />
Disebut juga downward communication yaitu
komunikatornya adalah atasan </div>
<div class="MsoNormal">
dan komunikasinya
adalah bawahannya. <br />
Katz & Kahn menyebutkan 5 bentuk komunikasi <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">downward,</b> yaitu: <br />
a. memberi tugas rinci - <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">job instruction</b>
<br />
b. memberi informasi tentang prosedur organisasi dan latihan-latihan. <br />
c. memberi informasi tentang rastionale of the job yaitu alasan mengapa tugas </div>
<div class="MsoNormal">
tersebut harus
dilakukan <br />
d. memberi tahu tentang kinerja anak buah <br />
e. memberi informasi tentang ideologi organisasi (visi, misi) untuk memudahkan </div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 12.75pt;">
dalam mencapai tujuan organisasi.
<br />
Media yang digunakan adalah media
tulis, media lesan, interaktif. <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">2. Subordinate - initiated communication</b>
<br />
Disebut juga dengan upward
communication yaitu komunikasi yang terjadi dari </div>
<div class="MsoNormal" style="text-indent: 12.75pt;">
<span lang="ES">bawahan ke atasannya. <br />
Adapun bentuknya adalah: <br />
a. Informasi pribadi tentang gagasan, sikap, peampilan kerja. <br />
b. Informasi feedback tentang performance teknis, beberapa informasi penting </span></div>
<div class="MsoNormal">
<span lang="ES"> lainnya. <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">3. Interactive communication</b> <br />
Komunikasi yang terjadi pada karyawan yang selevel. <br />
Bentuknya adalah <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">a. Task coordination <br />
b. Problem solving <br />
c. Information sharing <br />
d. Conflict Resolution <br />
</b>Beberapa faktor pada struktur organisasi yang berpengaruh pada pola
komunikasi antara lain <br />
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;">a. ukuran <br />
b. sentralisasi - desentralisasi <br />
c. degrees of uncertainity</b> <br style="mso-special-character: line-break;" />
<br style="mso-special-character: line-break;" />
</span></div>
<span lang="ES" style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"><br clear="all" style="page-break-before: always;" /></span>Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-57130246817143662042012-05-20T04:16:00.001-07:002012-07-31T09:43:53.725-07:00Mekanisme Pengawasan Pemilu Di Indonesia<div style="text-align: justify;">
Suatu ketika seorang Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan di Kabupaten Rokan Hulu menanyakan, apa pentingnya (urgensi) pengawasan pemilu di Indonesia. Pertanyaan tersebut bukan hanya menjadi pertanyaan seorang panwaslu saja tetapi sebagian besar masyarakat di Indonesia menanyakan sejauhmana pentingnya pengawasan pemilu di Indonesia. Seberapa efektifkah pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan jajaran dibawahnya pada pelaksanaan pemilu selama ini dan yang akan datang.
Pertanyaan yang menjadi wacana dalam masyarakat terkait langsung pada pelaksanaan pemilu di Indonesia. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika ditinjau dari perspektif pemilu yakni agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu.<br />
<br />
Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni :<br />
<ol>
<li>Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri. </li>
<li>Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality), </li>
<li>Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih.</li>
<li>Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih. </li>
<li>Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004). </li>
</ol>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
PENGERTIAN PENGAWASAN </div>
<div style="text-align: justify;">
Pengertian pengawasan menurut George R. Terry yang dikutip Muchsan SH menyatakan sebagai berikut; “ Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measure, if needed to result in keeping with the plan”
Dalam pengertianya pengawasan menitik beratkan pada tindakan evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana. Dengan demikian tindakan pengawasan itu tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan, akan tetapi justru pada akhir suatu kegiatan setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Hendry fanyol menyebutkan : “Control consist in veryfiying wether everything accur in comformity with the plan asopted, the instruction issued and principles established. It has for object to point out weaknesses and errors in to recttivy then and prevent recurrance”
Adapun maksud dari pengertian diatas adalah realitas bahwa hakikat merupakan suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Melalui pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahan- kesalahan yang akhirnya kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali.
Sementara itu Newman berpendapat bahwa “ control is assurance that the perfomance conform to plan”. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Karena itu, pengawasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DR. S.P. Siagian, MPA mengambarkan pengawasan sebagai berikut; “Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.”
Pendapat Siagian ini sama dengan Newman dimana pengawasan menitik beratkan pada tindakan pengawasan pada proses yang sedang berjalan atau dilaksanakan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengawasan tidak dilaksanakan pada akhir suatu kegiatan, justru pengawasan dilaksanakan pada dalam menilai dan mewarnai hasil yang akan dicapai oleh kegiatan yang sedang dilaksanakan tersebut.
Berdasarkan definisi diatas, wujud pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto. Sedangkan tujuan pengawasan hanyalah terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditentukan sebelumnya karena pengawasan tidak terkandung kegiatan yang bersifat korektif ataupun pengarahan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adapun fungsi pengawasan secara teoritis berfungsi sebagai ;<br />
<ol>
<li>Eksplanasi, pengawasan menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program yang dicanangkan berbeda. </li>
<li>Akuntansi, pengawasan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu. </li>
<li>Pemeriksaan, pengawasan membantu menentukan apakah sumber daya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu memang telah sampai kepada mereka. dan </li>
<li>Kepatuhan, pengawasan bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para administrator program, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator, instansi pemerintah dan atau lembaga profesional. </li>
</ol>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Guna memahami organisasi pengawasan sebagai wadah dan proses maka perlu menghayati lima pertanyaan sebagai berikut : (Siagian, 2002; 229)<br />
<ol>
<li>Siapa yang melakukan, melakukan apa?. Karena dalam organisasi selalu terjadi pembagian tugas. </li>
<li>Siapa yang bertanggung jawab, kepada siapa?. Perlu dikatakan dengan jelas sebab di dalam organisasi terdapat hierarki wewenang dan tanggung jawab. </li>
<li>Siapa yang berinteraksi, dengan siapa?. Hal ini mengingat bahwa organisasi yang dikelola dengan baik berpedoman pada prinsip sinergi. </li>
<li>Pola komunikasi yang bagaimana yang berlaku di dalam organisasi?. Berkaitan dengan kultur organisasi yang dianut. </li>
<li>Jaringan informasi apa yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh para anggota organisasi yang bersangkutan? </li>
</ol>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br /><div style="text-align: justify;">
PENGAWASAN PEMILU DI INDONESIA </div>
<div style="text-align: justify;">
Sejarah telah memperlihatkan bahwa sejak pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 sampai pemilu tahun 1982 pengawasan dalam pemilu belum ada. Ini membuktikan bahwa belum adanya kepedulian masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya pengawasan dalam pemilu. Regulasi pada masa Orde Lama maupun Orde Baru menurut Arbi Sanit (1997) menganut falsafah kekuasaan tradisional, yakni terdapatnya niat pemerintah sebagai pola hubungan kekuasaan dalam proses pengawasan pemilu, dimana pemilu diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai pelaksananya (prinsip pengawasan internal).
Kepedulian pengawasan dalam pemilu baru dilaksanakan pada tahun 1980. Penguasa pada saat itu segera membentuk badan pengawas pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Lembaga yang diberi nama Panitia Pengawasan Pelaksana (Panwaslak) ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya. Panwaslak sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 serta 2009. Namun dari sepuluh kali pemilu baru pada tahun 1982 ada lembaga pengawasan. Artinya pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu baru menyadari pentingnya pengawas pemilu. Ada beberapa model pengawasan yang pernah dilaksanakan di Indonesia. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada beberapa model pengawasan yang pernah dilaksanakan di Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pertama Model Pengawasan Pemilu bagian Kejaksaan Agung
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (PANWASLAK) sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR. Perubahan ini lahir sebagai kekurang-efektifan parlemen karena dihasilkan pemilu tanpa pengawasan, dan kesulitan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak, telah memaksa pemerintah dalam memenuhi kebutuhan terciptanya dukungan masyarakat kepada mereka.
Keberadaan PANWASLAK merupakan organ pengawasan yang dibentuk oleh Panitia Pemilu di Indonesia (PPI). Lembaga ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya PANWASLAK dibentuk ditiap Panitia Pemilu mulai dari pusat hingga kecamatan. Komposisi keanggotaannya diambilkan dari unsur pemerintah, Golkar, PPP, PDI, dan ABRI. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
kedua Model Pengawasan Bagian Masyarakat
Berawal dari lontaran isu yang dilemparkan oleh PPP, yang akan membentuk Lajnah (lembaga pengawas) pemilu hingga ke tingkat kecamatan, menjelang pemilu 1997, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bandung nekad mendirikan Lembaga Independen Pemantau Pemilu (LIPP) yang akan mengawasi pelaksanaan pemilu sejak pendaftaran pemilih sampai pengumuman perhitungan suara. Pendirian lembaga pengawas yang dideklarasikan di Bandung itu ternyata mendapat sambutan cukup luas dari para aktifis LSM, aktifis mahasiswa dan LBH di 10 propinsi lainnya di Indonesia.
Tak berselang lama, lahirlah KIPP (Komite Independen Pengawas Pemilu) yang dimotori oleh Goenawan Muhammad dan kawan-kawan. Landasan filosofis didirikannya KIPP ini adalah realitas bahwa pemilu telah banyak dikotori dengan kecurangan dan manipulasi, hak rakyat diabaikan. Kelahirannya adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan demokrasi baru yang lebih baik, sehingga KIPP diorientasikan untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa mereka bisa bekerja untuk perbaikan.
Selain atas kehadiran LIPP dan KIPP, sejumlah tokoh yang dipelopori oleh Luhut Sitompul, dan kawan kawan, membentuk Tim Obyektif Pemantau Pemilu (TOPP). Institusi ini bersifat independen guna mendukung peran, posisi, serta fungsi PANWASLAK sebagai lembaga resmi yang berwenang melakukan pengawasan. (Wahidah, 2004) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ketiga Model Pengawasan Pemilu Bagian Makamah Agung (MA)
Pemilu 1999 lalu memang terbilang istimewa, sebab untuk pertama kalinya tugas pengawasan pemilu diserahkan kepada lembaga yudikatif, yakni Makamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya. Pemilu 1999 memposisikan tanggung jawab pengawasan formal pada yudikatif, dalam wewenangnya untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas), sebagaimana diamanatkan pasal 24 UU No.3/1999. Panwas adalah institusi yuridis yang diberi tanggung jawab dan kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan memonitor proses pelaksanaan pada setiap tahapan pemilu guna menjamin terselenggaranya pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Makamah Agung (MA) dan jajaran di bawahnya yaitu Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN), sangat berperan dalam proses pelaksanaan pemilu 1999 lalu, karena disamping membentuk Panwas, yudikatif juga menempatkan personelnya dalam kepengurusan Panwas. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Keempat Model Pengawasan Pemilu Bentukan KPU
Berdasarkan Pasal 120 UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, untuk melaksanakan pengawasan pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Panitia Pengawas Pemilu ini dibentuk oleh KPU, sedangkan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi sampai Penitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu diatasnya. Demikian juga Panitia Pengawas Pemilu Presoden dan wakil Presiden, menurut pasal 76 UU nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden, tugas dan wewenang pengawasan pemilu Presiden dan wakil Presiden dilakukan oleh panitia Pengawas Pemilu seperti Panitia Pengawas Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Mekanisme kerja Penitia Pengawas Pemilu ini pun lebih banyak dikoordinasikan kepada KPU/KPUD. (Wahidah 2004) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kelima Model Pangawasan Pemilu Bersifat Tetap.
Menurut Undang Undang no 22 tahun 2007 penyelenggaraan pengawasan Pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dibantu oleh Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu au Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Badan Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang bersifat tetap. Anggotanya diangkat sekali dalam 5 tahun atau bersifat tetap. Sedangkan Panwaslu di Provinsi, Panwaslu di Kabupaten/Kota, Panwaslu di Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri bersifat ad hoc. Panwaslu di Provinsi, Panwaslu di Kabupaten/Kota, Panwaslu di Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.
Bawaslu berkedudukan di ibu kota negara.Panwaslu di Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. Panwaslu Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota Kabupaten/kota. Panwaslu Kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan. Pengawas Pemilu Lapangan berkedudukan di desa/kelurahan.Pengawas Pemilu Luar Negeri berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.
Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
Jumlah anggota:
1. Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang;
2. Bawaslu di Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang;
3. Panwaslu di Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang;
4. Panwaslu di Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.
5. Jumlah anggota Pengawas Pemilu Lapangan di setiap desa/kelurahan sebanyak 1 (satu) orang. (UU No 15 Tahun 2011)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud diatas, Bawaslu beserta jajaran dibawahnya:<br />
<ul>
<li>Menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan kampanye Pemilu;</li>
<li>Menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye Pemilu yang tidak mengandung unsur pidana;</li>
<li>Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya pelanggaran kampanye Pemilu untuk ditindaklanjuti;</li>
<li>Meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana Pemilu kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia;</li>
<li>Memberikan rekomendasi kepada KPU tentang dugaan adanya tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/kota berdasarkan laporan Panwaslu legislatif di Provinsi dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota; dan/atau</li>
<li>Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 123) </li>
</ul>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Proses pengawasan pemilu antara lain;<br />
<ol>
<li> Pendaftaran partai Politik dan Verifikasi Partai Politik, </li>
<li>Penyusunan Daftar Pemlih dan Penetapan Daftar Pemilih Tetap,</li>
<li> Pendaftaran Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kota/Kabupaten,</li>
<li> Penyusunan dan Verifikasi Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota,</li>
<li> Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota,</li>
<li> Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD, Kampanye, </li>
<li>Pemungutan Suara, </li>
<li>Penghitungan Suara, </li>
<li>Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara, </li>
<li>Penetapan hasil Pemilu, Penetapan perolehan kursi dan calon terpilih, dan </li>
<li>Penyelesaiaan Pelangaran Pemilu dan Perselisiahan hasil Pemilu. </li>
</ol>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
MEKANISME KERJA PENGAWASAN PEMILU </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
A. Pendaftaran partai Politik dan Verifikasi Partai Politik
Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu dengan mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon Peserta Pemilu kepada KPU. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 14) Partai politik calon Peserta Pemilu yang lulus verifikasi ditetapkan sebagai Peserta Pemilu oleh KPU. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 14) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai dilaksanakan paling lambat 9 (sembilan) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
B. Penyusunan Daftar Pemlih dan Penetapan Daftar Pemilih Tetap
Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 19)
Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan. Data kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari/tanggal pemungutan suara. KPU Kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. KPU Kabupaten/kota melakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dari Pemerintah dan pemerintah daerah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
C. Pendaftaran Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kota/Kabupaten
Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diajukan kepada KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lain. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain. KPU Kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD Kabupaten/kota yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris atau sebutan lain. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 58) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
D. Penyusunan dan Verifikasi Daftar Calon Sementara Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota
Bakal calon yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 disusun dalam daftar calon sementara olehKPU untuk daftar calon sementara anggota DPR. KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi. KPU Kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 61) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
E. Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota
KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPR. KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi. KPU Kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 65)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
F. Penetapan dan Pengumuman Daftar Calon Tetap Anggota DPD
Perseorangan yang memenuhi persyaratan dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU provinsi.KPU melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan bakal calon anggota DPD. Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan persyaratan administrasi bakal calon anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 70) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
G. Kampanye
Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/kota, juru kampanye, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. Pelaksana kampanye Pemilu anggota DPD terdiri atas calon anggota DPD, orang-seorang, dan organisasi yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu anggota DPD.</div>
<div style="text-align: justify;">
Peserta kampanye terdiri atas anggota masyarakat. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 78)
Bawaslu melakukan pengawasan pelaksanaan tahapan kampanye secara nasional, terhadap :
a. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/kota melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung; atau
b. kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye melakukan tindak pidana Pemilu atau pelanggaran administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye Pemilu yang sedang berlangsung. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
H. Pemungutan Suara
Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak. Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota untuk semua daerah pemilihan ditetapkan dengan keputusan KPU. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 148) Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan suara dengan tertib dan bertanggung jawab. Dalam hal terjadi penyimpangan pelaksanaan pemungutan suara oleh KPPS/KPPSLN, Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri memberikan saran perbaikan disaksikan oleh saksi yang hadir dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS/TPSLN. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 169) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
I. Penghitungan Suara
Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di TPS dilaksanakan oleh KPPS. Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di TPSLN dilaksanakan oleh KPPSLN Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di TPS disaksikan oleh saksi Peserta Pemilu. Penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di TPS diawasi oleh Pengawas Pemilu Lapangan. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 172)
Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di dalam TPS. Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi pelaksanaan penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR di dalam TPSLN.Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/ Pengawas Pemilu Luar Negeri yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal keberatan yang diajukan melalui saksi Peserta Pemilu atau Pengawas Pemilu Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri sebagaimana dimaksud diatas dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga mengadakan pembetulan. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 178)<br />
<br />
J. Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara<br />
<ul>
<li>Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Kecamatan
PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari TPS melalui PPS. PPK melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di kecamatan. PPK menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi Peserta Pemilu, Panwaslu legislatif di kecamatan, dan KPU Kabupaten/kota.(UU No 10 Tahun 2008 Pasal 182) Panwaslu legislatif di kecamatan wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada PPK. </li>
<li>Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Kabupaten/Kota
KPU Kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari PPK. KPU Kabupaten/kota melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 187) Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada KPU Kabupaten/kota. </li>
<li>Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Provinsi
KPU provinsi membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari KPU Kabupaten/kota. KPU provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Panwas Provinsi. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 192) Panwaslu legislatif di Provinsi wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada KPU provinsi. </li>
<li>Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara ditingkat Nasional
KPU membuat berita acara penerimaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota dari KPU provinsi. KPU melakukan rekapitulasi hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud diatas dalam rapat yang dihadiri saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 194) Bawaslu wajib menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, penyimpangan dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota kepada KPU. </li>
</ul>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
K. Penetapan hasil Pemilu
Hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas perolehan suara partai politik serta perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota. KPU wajib menetapkan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota.
Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan perolehan suara untuk calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu. Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di Provinsi. Perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD Kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU Kabupaten/kota dalam sidang pleno terbuka yang dihadiri oleh para saksi Peserta Pemilu dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 200) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
L. Penetapan perolehan kursi dan calon terpilih
Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPR ditetapkan oleh KPU. Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi. Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD Kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 204)
Calon terpilih anggota DPR dan anggota DPD ditetapkan oleh KPU. Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi. Calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU Kabupaten/kota. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 213) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
M. Penyelesaiaan Pelangaran Pemilu dan Perselisiahan hasil Pemilu
Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.<br />
Laporan sebagaimana dimaksud diatas dapat disampaikan oleh:
a. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih;
b. pemantau Pemilu; atau
c. Peserta Pemilu.
Laporan sebagaimana dimaksud diatas disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat:
a. nama dan alamat pelapor;
b. pihak terlapor;
c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d. uraian kejadian.
Laporan sebagaimana dimaksud diatas disampaikan paling lama 3 (tiga) hari sejak terjadinya pelanggaran Pemilu. Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima.<br />
<br />
Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud diatas terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima. Dalam hal Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif dikecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut laporan dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima.
Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota, Panwaslu legislatif di kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut laporan dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah laporan diterima.<br />
<br />
Laporan pelanggaran administrasi Pemilu diteruskan kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota. Laporan pelanggaran pidana Pemilu diteruskan kepada penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelanggaran Pemilu diatur dalam peraturan Bawaslu. (UU No 10 Tahun 2008 Pasal 247)<br />
<ul>
<li>pelanggaran admnistrasi
Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU. Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi , dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya. Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, dan Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya. KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu legislatif di Provinsi, Panwaslu legislatif di Kabupaten/kota. (UU No 10 tahun 2008 Pasal 250) </li>
<li> Pelanggaran pidana Pemilu
Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu, Panwaslu </li>
</ul>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
KESEKTRETARIATAN </div>
<div style="text-align: justify;">
Sekretariat Bawaslu dipimpin oleh kepala sekretariat yang berasal dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Kepala Sekretariat Bawaslu adalah jabatan struktural eselon II. Kepala Sekretariat Bawaslu bertanggung jawab kepada Bawaslu. Kepala Sekretariat Bawaslu diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri atas usul Bawaslu. Pegawai Sekretariat Bawaslu berasal dari pegawai negeri sipil dan tenaga profesional yang diperlukan. Pola organisasi dan tata kerja Sekretariat Bawaslu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Bawaslu. (UU No 22 tahun 2007 pasal 108)
Jumlah pegawai sekretariat Panwaslu di Provinsi/Kabupaten/Kota/ Kecamatan masing-masing paling banyak 5 (lima) orang. Pegawai sekretariat Panwaslu di Provinsi/Kabupaten/Kota/Kecamatan berasal dari pegawai negeri sipil dan tenaga profesional yang diperlukan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan pegawai sekretariat Panwaslu di provisnsi/kabupaten/kota dan tata kerja sekretariat Panwaslu sebagaimana dimaksud diatas diatur dengan peraturan Bawaslu dengan berpedoman pada Peraturan Presiden. (UU No 22 tahun 2007 pasal 109)</div>
Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-33509813732506903322012-05-17T20:38:00.003-07:002012-06-06T05:50:47.846-07:00Komunikasi Politik dalam Integritas Pemilu<div style="text-align: justify;">
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu wujud dari sistem demokrasi. Pelaksanaan pemilu merupakan partisipasi masyarakat dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik. Penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu sehingga tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Integritas proses dan hasil pemilu (Integrity Electoral) akan terwujud apabila semua ketentuan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan dengan konsisten.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kajian komunikasi politik dalam Pemilu membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem politik khususnya sistem pemilu yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem pemilu itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Lembaga legislatif Indonesia (DPR RI) kembali melahirkan regulasi pemilihan umum (Pemilu), Setelah UU No 15 Tahun 2011 regulasi tetntang penyelenggara Pemilu, DPR RI telah memutuskan UU tentang pemilihan DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten dan DPD RI. Kedua regulasi yang diputuskan DPR RI ini menyempurnakan UU No 22 Tahun 2007 dan UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu 2009. Walaupun masih ada satu regulasi yang masih ditunggu oleh masyarakat -UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta UU Pemerintahan Daerah yang mengatur Pemilu Kepala Daerah-, upaya yang dilakukan oleh dewan legislatif telah memperlihatkan keinginan untuk mengupayakan pemilu yang lebih baik tahun 2014 nantinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu wujud dari sistem demokrasi. Pelaksanaan pemilu merupakan partisipasi masyarakat dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik. Pemilihan umum dilakukan guna ; pertama mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden/wakil presiden serta Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Kedua mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/atau mengenai sirkulasi elit secara priodik dan tertib.dan ketiga mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradap.
Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi masyarakat. Sehingga pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi tersebut (Mariam Budiardjo ; 2008). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk menilai tingkat demokrasi suatu pemilu antara lain : <b>petama</b> setiap tahapan penyelengaraan pemilu sesuai mengandung kepastian hukum (predictable procedur). Untuk itulah DPR bersama pemerintah setiap lima tahun membuat regulasi (Undang-Undang Pemilu) guna mengevaluasi dan mengantisipasi persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi pada penyelengara. Untuk menilai tingkat demokrasi suatu pemilu antara lain : </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>1. </b>setiap tahapan penyelengaraan pemilu sesuai mengandung kepastian hukum (predictable procedur) </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>2.</b>setiap tahapan peneyelengaraan pemilu berdasarkan azas pemilu yag demokratik yakni Langsung umum bebas dan rahasia (luber), Jujur dan Adil (jurdil) serta Akuntabel (Free and fairelection) </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>3. </b>proses penyelengaraan pemilu menggandung sistem pengawasan untuk menjamin setiap pelaksanaan sesuai dengan ketentuan dan juga hasil pemilu yang akurat dan sesuai dengan hasil pilihan pemilih (Electoral Integrity) </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>4. </b>proses penyelenggaraan pemilu mengandung sistem penyelesaian sengketa pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepatn pemilu nantinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Kedua </b>setiap tahapan peneyelengaraan pemilu berdasarkan azas pemilu yag demokratik yakni Langsung umum bebas dan rahasia (luber), Jujur dan Adil (jurdil) serta Akuntabel (Free and fairelection). </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ketiga</b> proses penyelengaraan pemilu menggandung sistem pengawasan untuk menjamin setiap pelaksanaan sesuai dengan ketentuan dan juga hasil pemilu yang akurat dan sesuai dengan hasil pilihan pemilih (Electoral Integrity). Hal ini menjadi tugas dan kewajiban Bawaslu dan jajaranya dalam mengawasi penyelengaraan pemilu di Indonesia. </div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Keempat</b> proses penyelenggaraan pemilu mengandung sistem penyelesaian sengketa pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Banyaknya keluhan masyarakat dan pesrta pemilu (partai Politik) yang kecewa terhadap penyelenggaraan pemilu di Indonesia selama ini. Bahkan KPU dan Bawaslu yang telah melaksanakan tugasnya secara baik dituding sebagai salah satu titik lemah penyelangaraan pemilu yang tidak aspiratif. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada beberapa persoalan yang sangat esensial yang timbul selama proses pemillihan umum tersebut. Persoalan itu antara lain : </div>
<div style="text-align: justify;">
pertama Masalah regulasi. Ada persoalan yang menyangkut regulasi yakni masalah kekosongan hukum, masalah ketidak konsistenan hukum dan masalah ketentuan yang multitafsr. </div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua Masalah penyelenggara. Masalah profesional dan integritas penyelengara baik KPU maupun Bawaslu menjadi persoalan dalam pelaksanaan pemilu </div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga Masalah politik lokal di sejumlah daerah yang memang rawan persoalan. Hal ini tentunya akan menjadi persoalan terselubung pada saat pemilu. </div>
<div style="text-align: justify;">
Keempat Masa kampanye panjang yang dapat menyebabkan kekacauan ancaman ketertiban, kenyamanan dan keamanan social, </div>
<div style="text-align: justify;">
Kelima Gugatan selisih hasil pemilu yang merupakan pola memperoleh kemungkinan kekuasaan keenam Politik uang sebagai modus memenangkan pertarungan dalam pemilu </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tidak hanya lemabaga penyelengara saja yang menjadi titik perhatian, namun diperlukan sistem pendukung yang memadai. Sistem pendukung tersebut antara lain; </div>
<div style="text-align: justify;">
pertama organisasi penyelengara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang sesuai dengan personal yang profesional dan berintegritas. </div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua sistem anggaran yang memadai. </div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga sistem pengadaan dan distribusi logistik yang sesuai keempat sistem dokumentasian data dan informasi yang sesuai </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam praktek kenegaraan, keabsahan sistem pemilu apabila mendapat dukungan dari seluruh warganegara yang berada dalam lingkup sistem tersebut, yang terwujud dalam partisipasi politik.sehingga pelaksanaan pemilu tersebut benar-benar mencerminkan totalitas aspirasi dan cita–cita seluruh warga masyarakat negara dalam berdemokrasi
Integritas proses dan hasil pemilu (Integrity Electoral) akan terwujud apabila semua ketentuan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan dengan konsisten. Integritas pemilu ini terwujud apabila tidak ada penyimpangan, pelanggaran, intimidasi, manipulasi, dan kesalahan dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan pemilu. Sehingga rakyat sebagai pemegang kedaulatan maupun sebagai pemilih ataupun semua pihak yang menaruh perhatian terhadap pemilu yang demokratis akan percaya terhadap hasil pemilu apabila interitas proses dan hasil pemilu ini dilaksanakan dengan baik. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni :
1. Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri.
2. Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality),
3. Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih.
4. Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih.
5. Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas pemilu atau integritas pemilu adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu. Menurut DR. S.P. Siagian, MPA mengambarkan pengawasan sebagai berikut; “Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.”
Dalam pelaksanaanya Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi pemilu 2014, selain bertugas melaksanakan kewajiban (tugas pokok) dalam mengawal pemilu yang berintegitas, juga mengupayakan keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengawasan pemilu tersebut.
Namun untuk memaksimalkan fungsi pengawasan, perlu meningkatkan peran serta masyarakat secara keseluruhan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal ini disebabkan pertama masyarakat yang memiliki kedaulatan dalam negara ini kedua masyarakat memiliki kepentingan dalam pemilu. Karena mereka harus mengawal suara mereka supaya tidak dicurangi kedua fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu beserta jajaran kurang optimal. Hal lain dikarenakan pengawasan hanya dilakukan sampai pada tingkat kelurahan/desa. letak geografis daerah pengawasan yang cukup luas idak sebanding dengan jumlah pengawas yang ada. pemahaman sebagian besar pengawas tentang pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan yang minim. peralatan pendukung terhadap pengawasan yang minim
.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penurunan Partisispasi
Ironisnya pemilu di Indosinesia menurut data KPU, partisipasi masyarakat dalam pemilu ini semakin lama semakin menurun. Hal ini ditandai dengan angka partisipasi yang mencapai 94 % pada pemilu 1971, 90% pada pemilu 1977, meningkat 97% pada pemilu 1982. Pada saat reformasi partisipasi masyarakat pada pemilu 1999 menjadi 93 %, pada pemilu 2004 menurun menjadi 84 %, dan menurun menjadi 71 % pada pemilu 2009 (70,99% pemilu legislatif dan 72,56% pada pemilu presiden) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Upaya peningkatan pertisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengawasan pemilu dilakukan dengan cara : </div>
<div style="text-align: justify;">
pertama Edukasi (pendidikan). Pendidikan politik dan pemilu perlu dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemilu tersebut. Sehingga masyarakat tahu hak dan kewajiban dalam pemilu tersebut. </div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua Sosialisasi Pemilu. Sosialisasi ini berupa sosialisasi tahapan pemilu mulai dari verifikasi peserta pemilu sampai pelantikan dan pengabilan sumpah. Selain itu sosialisasi peraturan (regulasi) yang mengatur pelaksanaan pemilu baik berupa Undang-undang maupun peraturan KPU dan Bawaslu serta perturan lainya. </div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga Transparansi (keterbukaan). Masyarakat perlu diberikan kesempatan dalam mengakses proses pemilu dan aturan-aturan dalam proses dan hasil pemilu. Akses tersebut berupa Akses terhadap mekanisme pelaksanaan tahapan yang telah dan sedang dilakukan dalam pemilu. Akses terhadap anggaran pelaksanaan pemilu Akses terhadap pelaksanaan pengadaan dan distribusi peralatan pemilu sehingga tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat spesifikasi, tepat anggaran. Akses terhadap mekanisme penyelesaiaan sengketa dan hasil sengketa pemilu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Komunikasi Politik </b></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain upaya yang KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu dalam meningkatkan kualitas pemilu, KPU dan Bawaslu juga membangun komunikasi politik secara vertikal dan horizontal. Komunikasi vertikal adalah membangun sinergi dengan Kpu/Bawaslu Provinsi dan KPU/Panwaslu Kabupaten/kota. Komunikasi horizontal adalah komuniksi yang dilakukan dengan pemangku kepentingan pada pemilu yang akan datang. Kominikasi dilakukan dengan Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah, Media Massa, Lembaga Pemantau Pemilu, LSM, DPR RI, Lembaga Penegakan Hukum, Lembaga Pemerintah yang berhubungan langsung dengan penyelanggaraan Pemilu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tidak hanya lemabaga penyelengara saja yang menjadi titik perhatian, namun diperlukan sistem pendukung yang memadai. Sistem pendukung tersebut antara lain ; pertama organisasi penyelengara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang sesuai dengan personal yang profesional dan berintegritas. Kedua sistem anggaran yang memadai. Ketiga sistem pengadaan dan distribusi logistik yang sesuai keempat sistem dokumentasian data dan informasi yang sesuai. Selain itu komunikasi dilakukan denga peserta pemilu yakni partai-partai yang mengikuti pemilu di Indonesia. Namun yang terpenting komunikasi yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu adalah komunikasi yang dilakukan dengan masyarakat khususnya pemilih yang menyapaikan aspirasinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam kajian komunikasi politik dalam Pemilu membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem
politik khususnya sistem pemilu yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem pemilu itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasan tentang sistem pemilu ini berkait pula dengan transformasi nilai-nilai yang dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi politik dan pendidikan politik. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Komunikasi Politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik Astrid S. Susanto (1975)
Komunikasi politik berfungsi untuk menumbuhkan persamaan persepsi dan kesatuan pandang melalui simbol-simbol komunikasi sebagai produk interpretasi bersama. Hal ini yang dimaksud berwujud sifat-sifat integratif perilaku dan pola pikir ke dalam sistem politik yang sedang berlangsung dan sekaligus terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai yang dijunjung tinggi bersama.
Dalam hal ini KPU dan Bawaslu adalah aktor pemilu yang yang ditugasi menyelengarakan dan mengawasi pemilu. Mereka menafsirkan regulasi dan sistem pemilu yang terkandung didalam lingkungan mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi susksesnya proses penyelengaraan dan pengawasan pemilu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam proses ini, mereka menggunakan bahasa, label (simbul-simbul), dan rutinitas untuk pengelolaan pesan dan mode-mode lain tindakan spesifik secara cultural.
Sebagai contoh salah satu kegiatan penyelengaran pemilu dalam menfsirkan regulasi (undang-undang Pemilu) dan mensosialisai kepada masyarakat dan peserta pemilu. Guna pencapaian komunikasi secara efektif dan efisien proses sosialisasi mengunakan bahasa, simbul-simbul dan kegiatan rutinitas yang ada pada adat-istiadat (Cultural) setempat. Sehingga dapat mudah dipahami oleh masyarakat setempat dan dapat dengan mudah terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai pemilu yang dijunjung tinggi bersama. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam mencapai interitas pemilu di Indonesia
Demikianlah fungsi dan peranan komunikasi politik dalam pelasanaan pemilu. Banyak hal yang menjadi kajian dalam proses pengembangan komunikasi politik seiring dengan perkembangan dan kompleknya persoalan pemilu saat ini. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Musfialdy S.Sos M.Si
Dosen Komunikasi
UIN Suska Pekanbaru Riau</div>Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-62087119861407228162011-05-17T05:41:00.000-07:002011-05-17T05:41:19.932-07:00Tidak selamanya Televisi Mempengaruhi PemirsanyaSelama ini perspektif masyarakat sangat negatif dalam memandang media massa khususnya media penyiaran yang ada. Ironisnya manusia hidup membutuhkan informasi dan hiburan yang disiarkan oleh media massa baik televisi, radio dan film. <br />
Dalam suatu percakapan santai seorang teman mengatakan kepada saya bahwa dia melarang anaknya menonton atau melihat sinetron yang ada di televisi. Menurut asumsinnya sinetron dapat mempengaruhi prilaku anaknya kearah yang negative. Asumsi yang sama pernah juga dikatakan saudara saya bahwa anaknya dilarang berhubungan dengan internet. “Anak saya saya larang mengakses internet karena banyak situs-situs yang tak baik untuk perkembangannya nanti”.<br />
Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang anggota DPRD Riau, saya ditanya menggenai dampak media televisi terhadap prilaku sosial yang berkembang dimasyarakat. “Bagaimana pendapat anda tentang perilaku masyarakat setelah menonton kartun Upin dan Ipin”. Banyak anak-anak maupun dewasa sering berkata “Assalamulaikum tuk oh atuk” dengan cirri khas melayu yang kental”. Atau Pertanyaan lain yang diajukan kepada saya dimana maraknya kasus artis Ariel, Luna Maya dan Cut Tari. Sehingga orang selalu berasumsi bahwa perbuatan asusila dibaratkan dengan Ariel dan Luna Maya. Diasumsikan media massa khusnya penyiaran begitu besar pengaruhnya dalam prilaku individu maupun prilaku social dai keluarga dan di masyarakat<br />
Masyarakat selalu menuding siaran yang mengandung kekerasan yang menyebabkan seorang anak di rumah menjadi lebih beringas. Seorang guru bahkan sering berkomentar bahwa murid-muridnya sering melkukan tawuran setelah adanya siaran tinju dan film-film laga yang ditayangkan oleh sebuah lembaga penyiaran. Kebiasaan sebuah lembaga menyiarkan iklan tentang “life stile’ dituding menyebabkan tingkat konsumeritas di suatu daerah menjadi tinggi.<br />
Pada Tahun 1978, seorang peneliti komunikasi George Gerbner melkukan penelitian yang mengamati hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton dengan agresi individu atau masyarakat.Penelitian ini dilakukan karena meningkatnya kekerasa yang ditayangkan oleh televise di Amerika pada saat itu. Dari hasil penelitinya, ditemukan bahwa 80 sampai 90 persen orang akan menirukan apa yang dilihat dan disaksikannya. (Jallaludin Rahmad 1992)<br />
Pandangan ini mungkin sesuai dengan perspektif sebagian kalangan yang mengatakan bahwa masyarakat tidak berdaya ketika mengkonsumsi (diterpa) oleh media massa. Beberapa teori bahkan membenarkan perspektif tersebut. Salah satu yang mendukung perspektif tersebut adalah teori masyarakat massa (Mass Society Theory) yang diusung oleh Kornhouser (1959), Bromson (1961), Giner (1979) (Danis Mc Quil 1991). Dalam teoti ini dijelaskan bahwa, rata rata orang merupakan korban media massa. (Richad West and Lynn H Turner 2007). Hasil penelitian dan pengamatan mereka menunding media yang menyebabkan rusaknya moral individu bahkan kelompok dari suatu komunitas.<br />
Pandangan ini diperkuat oleh Wilbur Schramm dengan teori peluru (Bullet Theory). Menurut Schramm seorang komunikator dapat menembakan peluru (pesan) komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif dan tidak berdaya (Onong U. Effendy). Pandangan yang diusung oleh Schramm ini atau lebih terkenal Hipodermik Needle Theori mengatakan terjadi kepanikan setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasion radio CBS di amerika yang berjudul “The invation From Mars“ tahun 1950-an. Akibat siaran tersebut timbul kepanikan pada masyarakat Amerika akan invasi dari planet Mars. Ini menunjukan ketidak berdayaan masyarakat (Pasif) ketika diterpa oleh media penyiaran.<br />
Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia pada tahun 80-an. Beberapa sinetron yang disiarkan oleh radio swasta di berbagai kota di Indonesia mengambarkan suatu yang riil terjadi sebagaimana yang digambarkan dalan siaran tersebut. Drama Misteri Gunung Merapi yang disiarkan di radio mengambarkan akan suatu mistik yang terjadi di sekitar gunung merapi di Sumatera. Bahkan dengan antusiasnya masyarakat drama ini, beberapa kali dibuat menjadi film layar lebar dan sukses di pasaran. Hal yang sama juga terjadi pada drama Brama Kumbara yang ditayangkan oleh beberapa siaran radio swasta di tanah air. Padahal cerita yang disiarkan oleh radio tersebut hampir sebagian besar merupakan fiksi belaka. <br />
Bahkan skandal video porno artis terbesar di Indonesia yang melibatkan beberapa artis papan atas disiarkan secar vulgar oleh beberapa infotaimen lembaga penyiaran swasta di Inonesia. Hal ini dikhawatirkan berdampak pada moral individu, moral masyarakat mapun moral bangsa.<br />
Guna mengantisispasi persoalan diatas baik pemerintah maupun lembaga kompoten lainya telah melakukan langkah langkah yang kongkret. Dalam rapat kerja antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Dewan Pers dan Anggota DPR RI meminta supaya infotaimen yang disiarkan oleh beberpa stasiun televisi into diatur secara tegas. Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI – KPI – Dewan Pers diJakarta, 14 Juli 2010 menegaskan Komisi I DPR RI bersama KPI dan Dewan Pers, bersepakat bahwa program siaran infotainment, reality show, dan sejenisnya , banyak melakukan pelanggaran terhadap norma agama, etika moral, norma sosial, Kode Etik Jurnalistik, dan P3SPS Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).<br />
Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwanya bahwa infotaimen (informasi dan entertaimen) haram. "Menceritakan aib, kejelekan, gosip, terkait pribadi orang lain hukumnya haram," kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Saleh saat jumpa pers di Hotel Twin Plaza, Jl S Parman, Jakarta Barat, Selasa 27 Juli 2010. Lebih lanjut dijelaskanya dalam berita Detiknews pada hari yang sama, upaya membuat berita, mengorek, membeberkan aib, kejelekan, gosip dan lain-lain hukumnya juga haram. Sedangkan menayangkan dan menyiarkan berita tentang aib terkait pribadi kepada orang lain hukumnya juga haram. <br />
MUI merekomendasikan agar perlu dirumuskan aturan untuk mencegah konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan. Untuk itu disarankan KPI harus membuat regulasi tayangan infotainment agar masyarakat memperoleh tayangan bermutu. LSF juga harus mengambil langkah proaktif untuk menyensor tayangan infotainment.<br />
Gambaran diatas seolah-olah menunjukan ketidak-berdayaan (Pasif) masyarakat ketika diterpa oleh media penyiaran. Padahal siaran yang ditayangkan televisi dan radio tersebut merupakan karya fiksi saja. Namun rekasi yang terjadi di masyarakat sangat fantatis.<br />
-----------------<br />
Malam itu seusai Belanda mengalahkan Uruguay 3-2 pada pertandingan piala Dunia di Cape Town Afrika Selatan (7/07/2010). Tim asuhan Bert van Marwijk ke final menghadapi Juara Eropa Spanyol. Ribuan pendukung oranye yang berada di Belanda hysteria menyambut kemenangan tersebut. Namun ribuan kilo dari Belanda di ibukota Provinsi Maluku (Ambon) hysteria pendukung oranye begitu luar biasa.Malam itu puluhan motor, mobil dan masyrakat kota Ambon dan kota-kota di Maluku menyambut kemenangan tim oranye tersebut.<br />
Anehnya kota-kota lain di Indonesia seperti di Pekanbaru dan Jakarta Ibukota Negara Indonesia kemenangan Belanda tidak disambut oleh pendungnya secara luar biasa seperti di Ambon. Ada hal yang aneh karena Ambon, Pekanbaru dan Jakarta merupakan satu kesatuan dibawah NKRI. Tetapi kejadian yang terjadi sangat bertolak belakang, dampak dari siaran Piala Dunia dari Cape Town Afrika Selatan menyikapi kemenangan tim Belanda sangat betolak belaka. <br />
Kemudian orang menghubungkan bahwa sang kapten Tim Oranye Giovanni Van Bronckhorst yang mencetak gol Balanda pada menit ke 17 masih keturunan Maluku. Tetapi Maluku kan juga Indonesia kenapa masyrakat di wilayah Indonesia lain tidak menanggapi hasil pertandingan tersebut sama dengan masyarakat Ambon.<br />
Tudingan guru bahwa siaran yang ditanyangakan lembaga penyiaran mempengaruhi prilaku murid-murid melakukan tawuran mungkin hanya dirasakan di korta-kota basar seperti Jakreta, Bandung dan kota besar lainya. Padahal siaran yang sama disiarkan kepada seluruh wilayah jangakau di Indonesia. Kota-kota lain bahkan hampir tidak terdengar tawuran pelajar. Bahkan kini kuantitas siaran laga lebih banyak ditanyakn oleh lembaga penyaiaran yang banyak pula. <br />
Peristiwa diatas memperlihatkan bahwa media penyiaran tidak selamanya perkasa mempengaruhi pemirsa. Ada factor lain yang mempengaruhi prilaku individu dan prilaku sosial di suatu daerah.<br />
Apabila kita mengunakan teori yang diusung Elihu Katz dan, Jay G. Blumner dan Michael Gurevitch (Richad West and Lynn H Turner 2007) yakni teori kegunaan dan gratifikasi (Uses and Gratification Theory) asumsi bahwa lembaga penyiaran sangat dominan mempengaruhi masyarakat, sangat bertolak belakang. Dari hasil penelitian mereka kemudian ditemukan teori yang menyatakan bahwa orang secara aktif mencari media tertentu dan isi (content) tertentu untuk menghasilkan kepuasan (atau hasil) tertentu. Dalam pengembangan teori ini dikatakan orang aktif karena mereka mampu untuk mempelajari dan mengevaluasi berbagai jenis media untuk mencapai tujuan tertantu.<br />
Sebagai contoh seseorang akan menonton suatu acara dari sebuah lembaga penyiaran disebakan adanya kegunaan (use) bagi meraka dan penghargaan (gratifikasi) dari upaya yang dilakukanya dan orang-orang disekitarnya. Mereka akan menonton berita, apabila mereka membutuhkan informasi baik daerah nasional maupun mancanegara. Seorang ibu rumah tangga akan lebih mencari siaran di televisi maupun di radio tentang bagaimana cara memasak yang enak dan cepat serta menonton sinetron daripada menyaksikan siaran berita. Seorang politikus akan mencari berita atau informasi tentang siatuasi daerah pemilihannya (constituen) daripada menonton siaran olahraga atau sinetron.<br />
Begitu juga mereka akan menonton siaran yang berhubungan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Seorang dokter akan banyak menonton sinetron yang berhubungan dengan kesehatan daripada sinetron tentang aksi laga. Begitu juga sebaliknya seorang aparat kepolisian akan menyaksikan film aksi laga dari pada film drama.<br />
Adapun asumsi-asumsi dasar teori ini adalah pertama, khalayak dianggap aktif; artinya, sebagian penting dari pengunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan. Kedua, Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengkaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.Ketiga,Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipengaruhi media hanyalah bagian yang rentan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpengaruhi melalui konsumsi media amat tergantung pada prilaku khalayak yang bersangkutan.Keempat Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya,orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu. Dan kelima, Penilaiaan tentang arti kulturasi dari media massa harus ditangguhkan sebalum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak. (Blumer dan Katz, 1974)<br />
Asumsi ini jelas menerangkan bahwa khalayak (pemirsa media) yang aktif dan pengunaan yang berorientasi pada tujuan yang jelas. Asumsi diatas menjelaskan kebutuhan pada pilihan terhadap sebuah media berada diangan khalayak atau pemirsa. (Richad West and Lynn H Turner 2007) Hal ini sangat bertentangan sekali dengan asumsi sebelumnya khalayak yang pasif ketika mereka diterpa oleh media massa. <br />
Kembali ke wawancara saya dengan Anggota DPRD Riau tadi. Seorang anggota lain mengatakan kepada saya apakah efektif pembatasa umur yang dilabelkan disuatu siaran di televise swasta tersebut. Dimana ada label untuk semua umur, dan untuk dewasa Jawaban saya itu tidak berlaku efektif apabila kita mengawasi anak-anak kita dalam menyaksikan televise. Dan itu lebih baik daripada melarangnya menyaksikan siara televise. Karena manusia membutuhkan informasi dan hiburan.Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-90424768462614282102010-08-15T04:19:00.000-07:002010-08-15T04:19:47.371-07:00Model Pengawasan Pemilihan Umum di IndonesiaPemilihan Umum (pemilu) di Indonesia telah terjadi pergeseran setelah reformasi bergulir pada tahun 1998. Pergeseran pelaksanaan pemilu yakni terjadinya pemilihan langsung Presiden dan wakil presiden pada pemilu pemilu 2004. Bahkan pada pemilu 2009 ini melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, aspirasi masyarakat langsung diserap melalui suara terbanyak dalam menentukan kursi di legislatif. Ini semakin menunjukan bahwa kedaulatan rakyat di Indonesia telah dikembalikan secara langsung kepada rakyat Indonesia sendiri. Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu. <br />
Menurut Mariam Budiarjo, hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi masyarakat. Sehingga pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi tersebut (Mariam Budiardjo ; 2008).<br />
<br />
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menytakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi yang dilakukan saat ini di Indonesia sesuai dengan definisi demokrasi yakni suatu bentuk partisipasi dalam kehidupan politik pada suatu masyarakat (Orlando Patterson dalam Warren 1999, 158).<br />
<br />
Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dihasilkan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. <br />
<br />
Dalam Pasal 22 E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Lebih lanjut dijelaskan Undang-undang (UU) Republik Indoensia Nomor 10 Tahun 2008 Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945<br />
<br />
Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.<br />
<br />
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin baik untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara. Oleh karena itu, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.<br />
<br />
Sementara itu dalam pemilu ada beberapa persoalan yang sangat esensial yang timbul selama proses tersebut. Persoalan itu antara <br />
1.Persepsi dan multitafsir atas regulasi atau Undang-Undang mengenai pemilu, <br />
2.Persoalan pemilihan kepala daerah yang belum terselesaikan dan dapat mengimbas ke pemilihan legislatif dan eksekutif, <br />
3.Persoalan politik di sejumlah daerah yg memang rawan persoalan, <br />
4.Masa kampanye panjang yang dapat menyebabkan kekacauan ancaman ketertiban, kenyamanan dan keamanan social, <br />
5.Gugatan selisih hasil pemilu yang merupakan pola memperoleh kemungkinan kekuasaan <br />
6.Politik uang sebagai modus memenangkan pertarungan dlm pemilu <br />
<br />
Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni :<br />
1.Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri.<br />
2.Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality),<br />
3.Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih.<br />
4.Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih.<br />
5.Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004). <br />
<br />
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu. <br />
<br />
Sejarah telah memperlihatkan bahwa sejak pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 sampai pemilu tahun 1982 pengawasan dalam pemilu belum ada. Ini membuktikan bahwa belum adanya kepedulian masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya pengawasan dalam pemilu. Regulasi pada masa Orde Lama maupun Orde Baru menurut Arbi Sanit (1997) menganut falsafah kekuasaan tradisional, yakni terdapatnya niat pemerintah sebagai pola hubungan kekuasaan dalam proses pengawasan pemilu, dimana pemilu diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai pelaksananya (prinsip pengawasan internal). <br />
Kepedulian pengawasan dalam pemilu baru dilaksanakan pada tahun 1980. Penguasa pada saat itu segera membentuk badan pengawas pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Lembaga yang diberi nama Panitia Pengawasan Pelaksana (Panwaslak) ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya. Panwaslak sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR.<br />
Secara teoritis pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan (Sondang P.Siagian). Selain itu definisi pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak (Suyamto).<br />
Adapun fungsi pengawasan secara teoritis berfungsi sebagai:<br />
1.Eksplanasi, pengawasan menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program yang dicanangkan berbeda. <br />
2.Akuntansi, pengawasan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu. <br />
3.Pemeriksaan, pengawasan membantu menentukan apakah sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu memang telah sampai kepada mereka. dan <br />
4.Kepatuhan, pengawasan bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para administrator program, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator, instansi pemerintah dan atau lembaga profesional.<br />
<br />
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 serta 2009. Namun dari sepuluh kali pemilu baru pada tahun 1982 ada lembaga pengawasan. Artinya pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu baru menyadari pentingnya pengawas pemilu. Ada beberapa model pengawasan yang pernah dilaksanakan di Indonesia.<br />
<br />
1. Model Pengawasan Pemilu bagian Kejaksaan Agung<br />
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (PANWASLAK) sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR. Perubahan ini lahir sebagai kekurang-efektifan parlemen karena dihasilkan pemilu tanpa pengawasan, dan kesulitan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak, telah memaksa pemerintah dalam memenuhi kebutuhan terciptanya dukungan masyarakat kepada mereka. <br />
<br />
Keberadaan PANWASLAK merupakan organ pengawasan yang dibentuk oleh Panitia Pemilu di Indonesia (PPI). Lembaga ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya PANWASLAK dibentuk ditiap Panitia Pemilu mulai dari pusat hingga kecamatan. Komposisi keanggotaannya diambilkan dari unsur pemerintah, Golkar, PPP, PDI, dan ABRI.<br />
<br />
PANWASLAK bertugas melakukan pelaksanaan terhadap pemilu anggota-anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dalam wilayah kerjanya masing-masing, sesuai dengan tingkatannya dan bertanggung jawab kepada Ketua Panitia Pemilihan/Panitia Pemungutan Suara yang bersangkutan.<br />
<br />
Struktur yang digunakan adalah bahwa pada PPI, PPD I, PPD II dan PPS masing-masing dibentuk:<br />
1.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat yang selanjutnya disebut PANWASLAKPUS;<br />
2.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I yang selanjutnya PANWASLAK I ;<br />
3.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut PANWASLAK II ;<br />
4.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan yang selanjutnya disebut PANWASLAKCAM.<br />
<br />
Berdasarkan struktur dan mekanisme seperti di atas, dalam penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru, terlihat jelas bahwa peran pemerintah memang sangat dominan. Struktur keorganisasian Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang pimpinannya terdiri dari para menteri dan pejabat tinggi negara dengan diketuai Menteri Dalam Negeri. Hal yang sama terlihat dalam panitia pemilihan, mulai dari tingkat pusat (Panitia Pemilihan Indonesia) sampai pada tingkat daerah (Panitia Pemilihan Daerah I dan II), mencerminkan hal tersebut. Struktur organisasi seperti itu terlihat pula pada panitia pengawas, baik di pusat (Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu Pusat - PANWASLAKPUS) yang diketuai Jaksa Agung maupun di daerah (Panwaslakda) yang secara ex-officio dipegang oleh aparat kejaksaan di wilayah masing-masing. Bahkan, di dalam struktur pelaksana pemilu terendah (tingkat desa/kelurahan), yaitu Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih), semangat anggotanya juga terdiri atas unsur pemerintah. Tak berlebihan bila sementara kalangan akhirnya menyebut pemerintah sebagai pelaksana tunggal berbagai pemilu Orde Baru.<br />
<br />
Pengawasan pelaksanaan pemilu Indonesia selama Orde Baru menjadi wewenang PANWASLAK. Seluruh tahap kegiatan penyelenggaraan pemilu yang mencakup 12 tahap kegiatan sesuai dengan UU Pemilu diawasi oleh PANWASLAK. Lembaga ini sendiri merupakan salah satu badan dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang telah ditetapkan oleh UU sebagai satu-satunya lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu.<br />
<br />
Kegiatan PANWASLAK yang terdiri dari semua unsur termasuk ketiga OPP sasarannya menerima laporan dari masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu. Masyarakat tak boleh terlibat dalam tugas pengawasan ini, kendati boleh memberikan masukan-masukan atas penyelenggaraan pemilu. Singkatnya, PANWASLAK merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang melakukan pengawasan pelaksanaan pemilu. Pengawas-pengawas lain di luar PANWASLAK tidak punya landasan hukum untuk melakukan pengawasan. Jaksa Agung Singgih selaku ketua PANWASLAK di penghujung Orde Baru (pemilu 1997) menegaskan masyarakat dilarang melakukan pengawasan dari alam TPS. Kalau memaksa diri akan berhadapan dengan pihak keamanan, karena wewenang pengawasan pemilu Orde Baru hanya dimiliki PANWASLAK.<br />
<br />
PANWASLAK sendiri kemudian juga membuka Kotak Pos 6000 untuk menerima segala bentuk pengaduan pelanggaran pemilu. Jika melihat kecurangan, masyarakat memang diberi hak lapor ke PANWASLAK atau Kotak Pos 6000 yang disediakan menampung ketidakpuasan pemilu. Tetapi, mereka dilarang memberi statemen macam-macam yang dapat menganggu ketertiban umum. Bila hal itu dilakukan, aparat akan bertindak tegas. Kondisi ini diperparah dengan terdapatnya banyak pasal yang tak ada sanksi hukumnya dalam UU No. 1/1985. Ketentuan pidana dalam pelanggaran pemilu hanya pada pelanggar pasal 26, 27, 28 dan 29, sedangkan pelanggaran terhadap pasal lain tak ada ketentuan sanksi hukumnya. Padahal pada pasal-pasal tanpa ketentuan sanksi inilah justru paling banyak dilakukan pelanggaran. Padahal pula penyimpangan pemilu jika diterjemahkan sebagai perilaku birokrasi justru sekitar 60% (177 dari 296 kasus) pelanggaran dalam pemilu 1992 misalnya, adalah dilakukan oleh Lurah/Kepala Desa dan aparat-aparatnya. Selain itu, Ketua PANWASLAK yang selalu dijabat Jaksa Agung adalah kader bahkan pengurus Golkar, maka independensi PANWASLAK semakin sulit didapatkan selama masa pemilu di Orde Baru. <br />
<br />
Keberadaan pengawas yang bersifat struktural tunjukkan pemerintah yang telah terdistorsi, dan menghilangkan hak serta kedaulatan rakyat, maka muncul aspirasi dalam masyarakat menjelang pemilu 1997 untuk membentuk lembaga pengawas pemilu independent. Karena, apabila diadakan secara struktural terlebih dahulu harus mengubah undang-undang. Dengan mekanisme itu rakyat dapat menjadi pengawas yang dibuktikan dengan kewajiban memperlihatkan kotak setelah diisi kepada yang hadir. Kalau anggota yang terorganisir dalam lembaga independent ini juga ikut mengawasi maka bila ada tingkah laku yang terbukti tidak benar bila menggunakan jalur organisasi untuk mengadu ke LPU atau pengadilan. Namun, pemerintah keberatan terhadap munculnya lembaga independent ini, karena mungkin ada anggapan lembaga tersebut akan ikut campur atau dianggap sebagai wujud tidak mempercayai pemerintah.<br />
<br />
2.Model Pengawasan Bagian Masyarakat<br />
Berawal dari lontaran isu yang dilemparkan oleh PPP, yang akan membentuk Lajnah (lembaga pengawas) pemilu hingga ke tingkat kecamatan, menjelang pemilu 1997, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bandung nekad mendirikan Lembaga Independen Pemantau Pemilu (LIPP) yang akan mengawasi pelaksanaan pemilu sejak pendaftaran pemilih sampai pengumuman perhitungan suara. Pendirian lembaga pengawas yang dideklarasikan di Bandung itu ternyata mendapat sambutan cukup luas dari para aktifis LSM, aktifis mahasiswa dan LBH di 10 propinsi lainnya di Indonesia.<br />
<br />
Tak berselang lama, lahirlah KIPP (Komite Independen Pengawas Pemilu) yang dimotori oleh Goenawan Muhammad. Landasan filosofis didirikannya KIPP ini adalah realitas bahwa pemilu telah banyak dikotori dengan kecurangan dan manipulasi, hak rakyat diabaikan. Kelahirannya adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan demokrasi baru yang lebih baik, sehingga KIPP diorientasikan untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa mereka bisa bekerja untuk perbaikan.<br />
<br />
Gayung pun bersambut atas kehadiran LIPP dan KIPP, sejumlah tokoh yang dipelopori oleh Luhut Sitompul, Kristiya Karatika, Suryo Susilo, Petrus Bala Pattyona, Doni Antares Irawan, Sophar M. Hutagalung, Usmar Apriyanto, dan M. Umar Wiranata, membentuk Tim Obyektif Pemantau Pemilu (TOPP). Institusi ini bersifat independen guna mendukung peran, posisi, serta fungsi PANWASLAK sebagai lembaga resmi yang berwenang melakukan pengawasan.<br />
<br />
TOPP mencoba turut serta meningkatkan optimalisasi kualitas keja PANWASLAK, dengan memberikan masukan ide yang berkembang, baik dari hasil pemilu maupun aspirasi masyarakat.Sontak, pro-kontra sekitar kelahiran badan pemantau pemilu independen (partikelir) mengemuka ke publik secara luas. Kecaman dan pujian datang dari penjuru pihak atas ekstensi mereka. Namun, simpulan yang bisa diambil dari kelahiran mereka adalah memuncaknya ketidakpuasan rakyat terhadap eksistensi PANWASLAK yang sangat tidak independent, juru bicara partai penguasa dan cenderung memandulkan aspirasi serta kedaulatan rakyat. Lebih dari itu, kelahiran pengawas pemilu partikelir merupakan cermin kehendak rakyat waktu itu untuk segera terciptanya perubahan! <br />
<br />
Kecurigaan besar, intimidasi dan sikap keras kepala dari penguasa Orde Baru beserta para pendukungnya, telah menjadikan keberadaan pemantau independent di atas kurang mendapatkan sambutan besar dari masyarakat luas. Namun, eksistensi dan kiprah mereka sebagai “lembaga tanding” dari PANWASLAK bentukan pemerintah dalam pemilu 1997 harus diakui membawa pencerahan dan perubahan besar untuk menumbuhkan kekuatan kritis masyarakat dalam mengontrol kekuasaan.<br />
<br />
Pada pemilu pertama di era reformasi 1999, kondisi PANWASLAK dan keterbatasan posisi, peran dan fungsi pengawas (pemantau) pemilu independent seperti , KIPP, LIPP maupun TOPP, seperti yang terjadi disepanjang era kekuasaan Orde Baru, tidak lagi ditemukan. Keberadaan lembaga pengawas pemilu sudah tidak lagi menjadi monopoli pemerintah. Banyak sekali lembaga pengawas pemilu yang melakukan pemantauan secara mandiri, diantaranya adalah; KIPP, JAMPPI, UNFREL, Forum Rektor, YAPPIKA, WALHI, dan JPPR. <br />
<br />
3. Model Pengawasan Pemilu Bagian Makamah Agung (MA)<br />
Pemilu 1999 lalu memang terbilang istimewa, sebab untuk pertama kalinya tugas pengawasan pemilu diserahkan kepada lembaga yudikatif, yakni Makamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya. Pemilu 1999 memposisikan tanggung jawab pengawasan formal pada yudikatif, dalam wewenangnya untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas), sebagaimana diamanatkan pasal 24 UU No.3/1999. Panwas adalah institusi yuridis yang diberi tanggung jawab dan kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan memonitor proses pelaksanaan pada setiap tahapan pemilu guna menjamin terselenggaranya pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Makamah Agung (MA) dan jajaran di bawahnya yaitu Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN), sangat berperan dalam proses pelaksanaan pemilu 1999 lalu, karena disamping membentuk Panwas, yudikatif juga menempatkan personelnya dalam kepengurusan Panwas. <br />
<br />
Banyak pihak mengakui bahwa pemilu 1999 telah berlangsung relative lebih langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER), lebih jujur dan adil dibandingkan penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru dalam kapasitasnya sebagai lembaga pengawasan pemilu pertama yang non partisipan, Panwas bersama-sama Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Panitia Pemilihan Indonesia, dapat dikatakan menjadi “tonggak sejarah” pelaksanaan pemilu di Indonesia, karena untuk pertama kalinya pasca hegemoni Orde Baru, bangsa Indonesia dapat melaksanakan pemilu dan penggunaan hak-haknya dengan baik, tanpa harus ditekan atau didintimidasi oleh pihak-pihak manapun. <br />
<br />
Namun, harus diakui bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada lembaga Panwas. Panwas sebagai lokomotif pengawasan kerap kali disalahkan karena keterbatasannya, sehingga sejumlah pihak masih memandang sebelah mata eksistensi dan kinerjanya. Mulyana W. Kusumah (1999) menyatakan bahwa keterbatasan Panwas pada pemilu 1999 disebabkan karena Makamah Agung tidak efektif dalam menjalankan fungsi pengawsan yang diberikan padanya, sehingga perlu dilakukan revisi dalam pemberian fungsi pengawasan kepada MA tersebut. Selain itu, Alan Wall, Manajer Proyek Internasional Foundation for Election Systems (IFES) menyatakanbahwa dalam pengalaman internasional, sungguh-sungguh tidak biasanya MA (yudikatif) mengurusi lembaga yang akan menjatuhkan sanksi-sanksi jika terjadi pelanggaran atas peraturan pemilu. Dalam hal pengawasan pemilu, yudikatif, dalam hal ini Makamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya (Peradilan Tinggi dan Peradilan Tingkat Pertama/Negeri) turut serta sebagai fasilisator pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tahun 1999 (Panwas), sekaligus menempatkan komponen korps hakim sebagai anggota (bahkan pimpinan) Panwas. Hal tersebut adalah konsekwensi dari mandat yang diberikan oleh UU No. 2/1999 Tentang Partai Politik dan UU No. 3/1999 Tentang Pemilihan Umum.<br />
<br />
Selain itu, dalam menyelenggarakan pengawasannya, Panwas tidak dapat mengadakan pengawasan terhadap administrasi keuangan, pengadaan, penyimpanan pendistribusian, dan penggunaan barang yang dilakukan KPU, PPI, PPD I, PPD II, PPS dan KPPS. Tugas Panwas pada hakekatnya adalah merupakan kegiatan penegakan hokum karena Panwas berkewajiban mengawasi agar ketentuan peraturan perundang-undangan pemilu ditaati dan dipatuhi agar terjamin terselenggaranya pemilu yang demokratis, transparan, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.<br />
<br />
Karena itu, sebenarnya sejumlah Keputusan Makamah Agung 1999 berkaitan dengan Panwas cenderung membatasi ruang lingkup kerja Panwas karena terkesan hanya mengatur tentang pengawasan hanya pada tahapan penetapan nama calon anggota DPR dan tahapan pemungutan suara saja, dan ‘melupakan’ tahapan-tahapan lainnya yang menjadi ruang lingkup kerja pengawasan oleh Panwas.<br />
<br />
Secara lebih detail dan teknis, problematika dan dilemma Panwas dalam pemilu 1999 bisa dinyatakan sebagai berikut:<br />
1.Panwas mengalami kesukaran dalam melakukan tindakan pengawasan karena tidak ada pasal dalam UU atau PP yang memberi Panwas suatu otoritas yang bersifat final untuk menanggapi berbagai keberatan yang diajukan oleh warga masyarakat terhadap para calon legislatif tersebut. <br />
2.Berbeda dengan pemantau pemilu yang cenderung pengetahuan teknis tentang electoral proccesnya terhitung tinggi, Panwas yang direkrut dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan, cenderung tereliminasi pemahamannya tentang pelaksanaan pemilu, sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Panwas ketika mengawasi pemungutan suara di TPS.<br />
3.Minimnya pengetahuan anggota Panwas tentang electoral procces menyebabkan mereka lebih banyak diam “menunggu datangnya bola” dan bukan pada umumnya tugas Panwas yaitu “menjemput bola” (dalam artian Panwas harus aktif mencari apresiasi masyarakat tentang pelaksanaan dan pelanggaran yang terjadi dalam pemilu dan bukan hanya pasif menunggu datangnya pengaduan dari masyarakat).<br />
<br />
Pelaksanaan pemilu 1999 dan pengawasan pemilu oleh Panwas maupun organisasi pemantau lainnya sebagaimana dipaparkan di atas, dengan segenap kekurangan, masalah, dan penyimpangan yang terjadi, betatpun juga telah menunjukkan capaian dan kemajuan strategis dalam transisi demokrasi. Lebih dari itu, harus diakui bahwa penyelenggaraan dan pengawasan pada pemilu 1999 jauh lebih baik dari semua pemilu yang telah terselenggara di Republik ini. Pemilu 1995 sekalipun, masih kalah demokratis, sebab pada saat itu lembaga independent pengawas pemilu belum ada/dibentuk.<br />
<br />
4. Model Pengawasan Pemilu Bagian KPU<br />
Berdasarkan Pasal 120 UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, untguk melaksanakan pengawasan pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Panitia Pengawas Pemilu ini dibentuk oleh KPU, sedangkan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi sampai Penitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu diatasnya. Demikian juga Panitia Pengawas Pemilu Presoden dan wakil Presiden, menurut pasal 76 UU nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden, tugas dan wewenang pengawasan pemilu Presiden dan wakil Presiden dilakukan oleh panitia Pengawas Pemilu seperti Panitia Pengawas Pemilu DPR, DPD dan DPRD. <br />
<br />
Menindaklanjuti ketentuan UU no 12 tahun 2003 dan UU no 23 tahun 2003, KPU mengeluarkan Keputusan KPU nomor 88 tahun 2003 tentang Panitia Pengawasan Pemilihan Umum yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang Undang Pemilu. Suarat Keputusan KPU tersebut digunakan untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum.<br />
<br />
Dalam ketentuan pasal 120 ayat 1 UU no 12 tahun 2003 secara jelas disebutkan bahwa fungsi dasar pengawasan pemilu dalam rangkaian proses penyelengaraan pemilu adalah guna mengemban tugas pengawasan. Tugas Utama pengawasan yang diamanatkan UU No 12 dan 23 tahun 2003 menuntut keaktifan dan progresifitas Panwas dalam mengawasi proses penyelengaraan pemilu dalam rangka mendorong agar pemilu dapat berjalan sesuai dengan azasnya langsung umum bebas dan rahasia.<br />
Tugas utama pengawasan pemilu 2004 adalah :<br />
1.Mengawasi semua tahapan penyelengaraan pemilu;<br />
2.Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu;<br />
3. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan pemilu;<br />
4.Menerusakan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi wewenang<br />
<br />
Dilihat dari pasal 122 UU no 12 tahun 2003 maka tugaspengawasan pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pengawasan Pemilu tidak terbatas pada pengawasan semata, tetapai juga mencakup tugas menerima laporan dan menindak lajuti laporan dan temuan kepada instansi wewenang.<br />
<br />
5. Model Pangawasan Pemilu Bersifat Tetap.<br />
Dasar Hukum Pemilu 2009 adalah pertama UU No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelengaraan Pemilu. Kedua UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Ketiga UU No 10 Tahun 2008Tentang Pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/KabupatenUU No 42 tahun 2008Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Undang Undang no 22 tahun 2007 Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dibantu oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. <br />
Badan Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang bersifat tetap. Anggotanya diangkat sekali dalam 5 tahun atau bersifat tetap. Sedangkan Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri bersifat ad hoc. Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.<br />
Bawaslu berkedudukan di ibu kota negara.Panwaslu Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. Panwaslu Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Panwaslu Kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan. Pengawas Pemilu Lapangan berkedudukan di desa/kelurahan. Pengawas Pemilu Luar Negeri berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.<br />
Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik. <br />
Jumlah anggota:<br />
1.Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang; <br />
2.Panwaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang; <br />
3.Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang;<br />
4.Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang. <br />
5.Jumlah anggota Pengawas Pemilu Lapangan di setiap desa/kelurahan sebanyak 1 (satu) orang. <br />
<br />
Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua Bawaslu dipilih dari dan oleh anggota Bawaslu. Ketua Panwaslu Provinsi, ketua Panwaslu Kabupaten/Kota, dan ketua Panwaslu Kecamatan dipilih dari dan oleh anggota. Setiap anggota Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan mempunyai hak suara yang sama. <br />
<br />
Selain itu komposisi keanggotaan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa keanggotaan Bawaslu adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-72362362773252675472010-08-14T08:11:00.000-07:002010-08-14T08:11:14.503-07:00Meneroka Sejarah dan Perkembangan Pers di RiauSejarah dan perkembangan pers di Riau tidak luput dari sejarah Riau sendiri. Sejarah dan perkembangan pers di Riau dimulai dari Kerajaan Melayu Islam di Riau daratan, Riau Kepulauan dan Semenanjung Malaysia serta Singapura. Setelah mengalami pasang-surut sejarah dan perkembangan pers di Riau saat ini cukup mengairahakan terutama dengan banyaknya penerbitan dan besarnya oplah yang terbut di Riau. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa sejarah dan perkembangan pers di Riau tidak pernah terlepas dari budaya Islam yang menjadi dasar budaya melayu sendiri. <br />
Awal Perkembangan.<br />
<br />
Sejarah pers Riau sebenarnya tak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Melayu-Riau. Kerajaan Melayu ini dahulu menyatu dengan wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia), Singapura, Riau daratan dan kepulauaan Riau. Sehingga awal perkembangan Pers di Riau lebih diwarnai sistem pemerintahan di kerajaan dan masyarakat Melayu pada saat itu yakni budaya Islam.<br />
<br />
Tonggak sejarah Pers di Riau dimulai pada tanggal 23 Juli 1906 dengan lahir pula majalah Al-Iman pimpinan seorang juruwarta keliling Kerajaan Melayu Riau-Lingga, bernama Radja ’Ali bin Radja Moehammad Joesoef Al-Ahmadi Yang Dipertoean Moeda Riau, atau dipanggil Raja Ali Kelana. Walaupun bukan penerbit pertama di Indonesia, namun Al-Iman termasuk majalah awal mula yang terbit dan menyampaikan semangat perjuangan di Indonesia.<br />
<br />
Dalam pengelolaan Al-Iman dia bekerja-sama dengan seorang ulama asal Minangkabau, Sjech Moehammad Tahir Djalaloeddin Falaki, dan Haji Abbas bin Moehammad Thaha. Majalah ini sepenuhnya dikelola para alim-ulama dan cendekiawan Melayu, termasuk Hitam Chalid dan Said Syeich Ahmad Al-Hadi. Di samping itu juga tercatat nama Sjech Salim al-Kilali, seorang saudagar batik Cirebon.<br />
<br />
Karena iklim dan kondisi politik kolonial Balanda di Indonesia pada waktu itu senantiasa mencurigai setiap kegiatan yang berbau pergerakan, majalah Al-Iman terpaksa dicetak di Singapura dan didistribusikan ke daerah Sumatera, Jawa, Tanah Semenanjung Malaya, dan di Singapura sendiri. Percetakan yang mengerjakan Al Iman bernama Al-Ahmadiyah Press milik himpunan cendekiawan kerajaan Melayu-Riau-Lingga, Rusydiyah Club. Percetakan ini konon mulanya didirikan oleh Syarikat Dagang Ahmadi milik Radja Ali Pulau asal Midai, Kepulauan Natuna, dengan nama Mathba’at Al Ahmadiyah, yang kemudian terkenal dengan Al Ahmadiyah Press, beralamat di Jalan Lord Minto No. 50, Singapura. Majalah AL Iman diterbitkan oleh Al Iman Printing Company Ltd., Singapura dengan menggunakan tulisan Jawi (Arab-Melayu).<br />
<br />
Adapun tujuan dari penerbitan majalah ini adalah untuk menggalang rasa persatuan dan kesatuan di kalangan anak negeri (bumiputra) dalam menghadapi penindasan penguasaaan kolonial Belanda. Selain itu majalah ini meryupakan alat komunikasi dan penyampaiaan aspirasi masyarakat terhadap penjajahan di Indonesia,<br />
Selain mengelola penerbitan Al-Iman Radja Ali kelana juga menerbitkan beberpa buku. Pada tahun 1898 Radja Ali kelana menerbitkan buku berjudul Perhimpunan Plekat, yang juga dicetak di Mathba’at Al Riauwiyah, Pulau Penyengat. Beberapa buku lain yang diterbitkan Radja Ali kelana adalah Kumpulan Ringkas Al Iman (1909), Bughyat al-Ani fi Huruf al-Ma’ani (1922), dan Rencana Madah (1926). 2)<br />
Menjelang Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, atau 22 tahun setelah kehadiran Al Iman, di Singapura terbit pulamajalah MASA yang dikelola para pengarang asal Riau, Radja Moehammad Joenoes Ahmad Riauwi dan Farid Djamil Moeda. Majalah yang terbit setiap awal bulan Arab dan menggunakan tulisan Arab-Melayu (Jawi) ini dicetak pada percetakan Mathba’at Djamiliyah Farid Djamil Moeda di Jalan Sulaiman No. 19, Muar, Johor.<br />
<br />
Majalah berformat 30 x 20 cm. ini memuat aneka berita, riwayat, sejarah, dan pengetahuan umum. Dalam edisinya 16 Mei 1934, Tahun VI, di halaman 43, MASA memuat berita tentang lagu Indonesia Raya yang dilarang oleh penguasa Kerajaan Hindia Belanda (Nederlans Oost Indie). Ditulisnya bahwa lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan dengan mulut (suara), kecuali hanya dengan musik saja. 30<br />
<br />
Masa Penjajahan Jepang<br />
Pada tahun 1944 masa penjajahan Jepang, di Pekanbaru terbit sebuah media mingguan propoganda Jepang Riau Kobo yang dikelola badan propoganda Jepang, Seng Deng. Mingguan ini dikelola dengan memanfaatkan tenaga seorang wartawan Indonesia yang aktif dalam gerakan kemerdekaan, bernama Sboe Bakar Abdoeh. Pada tahun yang sama terbit pula majalah Fajar Asia di Syohnan To (Singapura). Majalah ini berisi artikel feature dalam bahasa Indonesia sebagai propoganda Jepang tentang Asia Timur Raya. Di samping sebagai media propoganda Jepang, majalah ini juga dimanfaatkan para wartawan muda Indonesia dan Semennanjung Malaya untuk kmenyalurkan aspirasi mereka tentang kemerdekaan. Mereka terinspirasi dan terangsang oleh kebangkitan kaum muda Mesir dan Timur Tengah.<br />
<br />
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II (1945) terbit pula majalah bulanan Kenchana, yang bertujuan untuk persatuan Melayu Raya Indonesia dan Semenanjung Malaya. Majalah yang diterbitkan di Singapura ini ditangani oleh Harun Aminurrashid, Naz Achnas dan Amir Haji Omar, dan diisi oleh banyak jurnalis Melayu dari Riau dan para penulis dari Indonesia. Sebagaimana umumnya media yang mengandung misi perjuangan waktu itu, majalah Kenchana pun tidak berumurn panjang. Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, majalah inipun tak terbit lagi.<br />
Selain penerbitan yang sudah ada di Pekanbaru terbit pula surat kabar Pekanbaru Shimbun yang dikelola sendiri oleh orang-orang Jepang sebagai alat komunikasinya.<br />
<br />
Masa Kemerdekaan. <br />
Setelah kemerdekaan Indonesia koran Riau Koho diambil-alih oleh para pemuda pejuang namanya mereka ganti menjadi Perdjoeangan Kita. Pimpinan redaksinya dipegang oleh Aboe Bakar Abdoeh yang tadinya mengasuh surat kabar Riau Koho bersama Jepang. Perdjoeangan Kita mempunyai sasaran untuk membangkitkan semangat para pemuda pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Koran ini diterbitkan dengan tiras 3000 eksemplar, suatu angka yang cukup besar untuk ukuran zaman revolusi itu.<br />
Waktu Agresi Belanda II (1948-1949) di Pekanbaru terbit koran stensilan Perintis. Walaupun bentuknya sangat sederhana dan sirkulasinya terbatas, koran ini telah berjasa besar dan sangat berperan dalam membangkitkan semangat perjuangan anak bangsa di Kota Bertuah ini. <br />
<br />
Pada masa perang gerilia di daerah pengungsian, yakni kampung Dua Pelanduk, Tanjung Palas, pedalaman Dumai di pantai timur Sumatera, lahir pula mingguan stensilan Republiken. Mingguan ini dikelola oleh Nurdin sebagai Pemimpin Redaksi dan Sersan Mayor CPM Nahar Efendy sebagai Penanggung Jawab.<br />
<br />
Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI 27 Desember 1949, di Riau terbit beberapa surat kabar harian atau mingguan. Tidak hanya di kota-kota kabupaten seperti Pekanbaru, Tanjung Pinang dan Rengat, tapi merambah sampai ke ibukota kewedanaan dan kecamatan. Peluang suasana liberal semasa Republik Indonesia Serikat (RIS), yang setahun kemudian (27 Desember 1950) diutuhkan kembali oleh Bung Karno menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), betul-betul dimanfaatkan oleh para praktisi pers Riau yang sudah mulai membentuk jati dirinya sejak awal abad itu. <br />
Pada tahun 1950 di Tanjung Pinang terbit media stensilan empat halaman bertajuk Bulletin IPPI pimpinan Korengkeng. Lima tahun kemudian bulletin ini berganti baju menjadi Sari Pers, diasuh orang yang sama dan juga di reproduksi secara stensilan empat halaman. Media yang kedua ini bertahan sampai tahun 1957. <br />
<br />
Tahun 1954, di Bagansiapiapi terbit surat kabar stensilan Pewarta Kita sebagai penyeimbang dari tiga koran beraksara Cina dan berbahasa Mandarin (juga stensilan) yang di terbitkan oleh tiga kelompok etnis Tionghoa berbdea ideologi di kota tersebut. Koran pertama berkiblat ke Peking (Republik Rakyat Tiongkok yang berpaham Komunis yang atau lazim disebut kelompok go kak atau ”bintang lima”). Yang kedua berkiblat ke Taiwan (Kwo Min Tang, atau Cina Nasionalis, dikenal sebagai kelompok cap ji kak atau ”bintang 12”), dan yang ketiga adalah milik WNI keturunan yang bernaung dibawah panji-panji partai Baperki, yang diketuai Siauw Giok Tjhan.<br />
<br />
Pewarta Kita, surat kabar pertama dan satu-satunya koran berbahasa Indonesia yang terbit di Bagansiapiapi saat itu, diasuh oleh suatu generasi multi usia dengan aneka latar belakang. Mereka adalah A. Baza alias Pak Benggol (pensiunan bea cukai), Dollah Achmad (pensiunan polisi), M. Arsyad dan Djohan Joenoes (karyawan Bank Rakyat Indonesia), A. Togo Hanafie (tokoh pemuda), dan Moeslim Roesli (wartawan Harian Warta Berita dan majalah WAKTU, Medan).<br />
<br />
Pada tahun 1956, di Pekanbaru terbit suratkabar mingguan Kumandang pimpinan B.M. Thahar yang nada pemberitaan dan tajuk rencananya cenderung merupakan terompet gerakan Dewan Banteng di Sumatera Tengah. Di tahun yang sama, di Selatpanjang, terbit sebuah mingguan yang dipimpin oleh trio A.Manan Thalib, seorang seniman, A.Gaffar Noor, jebolan Akademi Wartawan Effendi Harahap Institute di Medan yang pernah menulis untuk koran Padang Nippo di Padang pada zaman Pendudukan Jepang (Perang Dunia II), dan Idris Rajiman, seorang penulis tempatan. Mingguan stensilan ini cuma terbit selama setahun saja. <br />
<br />
Setahun kemudian terbitlah mingguan Bahtera, pimpinan Abdoel Moeis Hadjads, sebagai pendukung perjuangan pembentukan Provinsi Riau yang ingin berpisah dari Provinsi Sumatera Tengah. Kedua media tersebut sama-sama dicetak di Padang, karena Pekanbaru belum memiiliki unit percetakan yang sanggup mencetak koran ukuran plano. Sirkulasi dan distribusi kedua koran tersebut meliputi wilayah Keresidenan Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Waktu itu ketiga wilayah masih berada dalam kawasan Provinsi Sumatera Tengah, dengan ibukotanya Bukittinggi, yang kemudian dipindahkan ke Padang.<br />
Pada tahun 1958 lahir pula mingguan Taruna yang juga dicetak di luar daerah. Koran Kumandang, Bahtera, dan Taruna berhenti terbit akibat terjadinya peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada awal 1958. 11)<br />
<br />
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), di Riau terbit koran-koran Riau Pos (1959), Sinarmasa (1961), Suluh Riau, Gotong Royong, Duta Riau, dan Obor (1962). Kemudian menyusul pula Teladan Minggu dan Angkatan Bersenjata edisi Tanjung Pinang (1963).<br />
<br />
Pada bulan Maret 1959 terbitlah suratkabar mingguan Riau Pos empat halaman, yang dicetak di Jakarta. Koran ini dimotori oleh Letnan Kolonel (pur). Hassan Basri, bersama Wan Sulung (Selatpanjang), dan Tengku Marhaya (Pekanbaru). Kru Riau Pos terdiri dari Abu Hasyim K. sebagai Pemimpin Umum, serta Zoechrij Lilith dan G.N.T. Ilyas sebagai redaksi. Riau Pos pertama ini terbit dengan izin Penguasa Perang Daerah (Peperda) Swatantra Tingkat I Djakarta Raya. Riau Pos ini merupakan koran Riau yang punya dua ”markas” (Pekanbaru dan Jakarta), Koran ini menyandang sebuah trilogi semboyan: ”mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945<br />
<br />
Karena berbagai kendala, terutama jarak yang sangat jauh antara kedudukan redaksi Riau Pos dengan lokasi pecetakan, masalah transportasi dan distribusi, serta kesulitan teknis lainnya, koran milik Letkol. Hassan Basri ini akhirnya terpaksa juga menyerah kepada keadaan, dan mengistirahatkan diri sejak 1961.<br />
Kekosongan media yang ditinggal oleh kepergian Riau Pos ini kemudian langsung diisi oleh kelahiran koran Sinarmasa yang terbit pada 1961. pengelolanya adalah Wan Sjafroeddin Idroes (Pemimpin Umum), A. Moeis Hadjads (Pemimpin Redaksi), Boestamam Halimy (Wakil Pemred), serta Mawardittam dan A. Rahman Junus (redaksi). Mulanya koran ini terbit tiga kali seminggu, berupa stensilan 16-20 halaman, dengan oplah beberapa ratus eksemplar saja. Kemudian ia tampil dalam format plano empat halaman, dicetak di Padang, dengan frekuensi terbit menjadi mingguan. Mereka dibantu dengan karya karikatur goresan Tenas Effendy, dan berita-berita lokal oleh wartawan RRI Zainal Abbas, Marlis Ramali, dan Arisun Agust.<br />
<br />
Koran Riau berikutnya yang memperoleh SIT (Surat Izin Terbit) dan SIPK (Surat Izin Penerbit Koran) adalah suratkabar Obor. Walaupun SIT-nya harian tapi hanya mampu terbit dua sampai tiga kali seminggu. Inilah surat kabar pertama dan satu-satunya yang dicetak setempat waktu itu di Pekanbaru. Format-nya adalah tabloid (setengah plano) dengan ketebalan 8 sampai 12 halaman dan dikerjakan pada Percetakan Otonom milik Pemerintah Kebupaten Kampar, di Pekanbaru. Sebelum pindah ke Bangkinang ibukota Kabupaten Kampar berikut kedudukan Bupati dan seluruh perangkatnya berada di Pekanbaru. Lokasi Percetakan Otonom waktu itu persis di sudut Jalan Riau dengan Jalan Mawar, Pekanbaru. Percetakan ini sudah sangat tua, konon bikian tahun 1890. seluruh hurufnya masih disusun dengan tangan (handzet), mulai dari judul sampai ke semua naskah berita. Puluhan, bahkan ratus ribu huruf harus disusun huruf demi huruf, baris demi baris dan kolom demi kolom untuk setiap penerbitan.<br />
<br />
Surat kabar Riau lainnya yang terbit pada era ini adalah harian pagi Suluh Riau di bawah asuhan M. Ali Rasahan, Eddy Mawuntu, dan Soedirman Backry (1962-1965) yang terbit di Tanjungpinang, disusul oleh majalah bulanan budaya stensilan Sempena, juga terbit di Tanjungpinang dengan pengelola H. Soedirman Backry, Samsulkamar A.H., Rona Sjuib, dan Rossanjoto (1962-1967) Pada tahun yang sama (1962) di Pekanbaru lahir pula mingguan stensilan Gotong Royong asuhan Burhanuddin Ajam dan Mawardiittam, dan koran minggu Duta Riau cetakan Medan yang digarap oleh Muhammad S. dan Busra Algerie. <br />
<br />
Pada saat-saat kritis menjelang pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI), di Riau terbit lagi lima surat kabar, yakni Teladan Minggu di Tanjung Pinang (1963), Angkatan Bersenjata edisi Tanjungpinang (1963-1964), Demokrasi (1964-1965), Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru (1964-1968), dan Berita Rumbai (1965).<br />
Selain Obor (1962-1966) dan Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru (1964-1968) koran-koran pada era Demokrasi Terpimpin ini tak ada yang berusia lanjut. Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru yang dipimpin Perwira Penerangan Korem 031/Wirabima, Kapten Zuhdi, merupakan koran pertama berukuran plano yang di cetak di Pekanbaru, menggunakan unit Percetakan ’Daya Upaya hasil perjuangan mati-matian PWI Cabang Riau. Unit percetakan tersebut ditampatkan di Jalan Kuantan Raya 101, yang pernah menjadi ”markas” Harian Riau Pos sebelum menempati gedung sendiri di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang (sekarang H.R. Subrantas) KM 10 1/2, tanggal 5 Maret 1997. <br />
<br />
Masa Orde Baru<br />
Selama 12 tahun pertama Orde Baru (1966-1978), di Riau hampir tidak sebuahpun suratkabar yang berhasil hidup, selain organ resmi humas Pemda Provinsi, yakni Gema Riau. Memang pernah terbit sebuah majalah kanak-kanak , Nenek Kebayan, sebuah mingguan, Sempana, serta dua majalah budaya, Solarium dan Canang, tapi sayang tak satupun yang berumur panjang.<br />
<br />
Gema Riau diterbitkan oleh Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur, setelah Kolonel Arifin Achmad memangku jabatan Gubernur Riau menggantikan Brigjen. Kaharoedin Nasoetion di penghujung 1966. Pada mulanya Gema Riau terbit hanya berupa stensilan satu halaman ukuran kuarto. Distribusinya terbatasuntuk para pejabat dan kantor-kantor Pemerintah, ditambah beberapa anggota masyarakat yang berminat saja. Pada bulan September 1967, Arifin Achmad merekrut Drs. Rustam S. Abrus (alm.), untuk menjadi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur Riau. Waktu itu dia masih wartawan harian Duta Masyarakat di Jakarta. <br />
<br />
Surat kabar organ resmi Pemda Riau Gema Riau sempat bertahan sampai tahun 1980-an, dengan mengalami beberapa kali regenerasi pengelola sesuai dengan pergantian pejabat Humas Pemda. Demikian juga stafnya mengalami beberapa kali penggantian dan penambahan sesuai kebutuhan. Peran Gema Riau ini kemudian digantikan oleh mingguan Warta Karya (1987) pada era Gubernur Imam Munandar dengan Kepala Biro Humasnya Drs. Aparaini Rasyad.<br />
<br />
Melanjutkan misi dan peran Gema Riau yang sempat eksis di Bumi Lancang Kuning selama hampir 20 tahun, Imam Munandar mendukung ide penerbitan koran baru tersebut. Malah konon dia sendiri yang memilih nama Warta Karya, dengan penerbitnya Yayasan Penerbit dan Percetakkan Pers ”Riau Makmur” yang juga dipimpin oleh Imam Munandar. Pengelolanya adalah Sekwilda Riau Ir. Firdaus Malik, sedang Pemimpin Redaksi dijabat oleh drs. Asparaini Rasyad, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur Riau.<br />
<br />
Namun dalam Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tertanggal 22 September 1987, sebagai pengganti Surat Izin Terbit (SIT) Gema Riau, disebutkan bahwa para pengelola Warta Karya adalah Drs. Asparaini Rasyad (Pemimpin Umum), Zoechrij Lilith (Pemimpin Redaksi), dan Drs. Ruskin Har (Pemimpin Perusahaan).<br />
<br />
Baru berjalan kurang dari setahun, penerbitan ini sudah mengalami kemacetan akibat kelemahan manajemen, padahal dukungan dana Pemda Riau cukup tersedia. Mingguan Warta Karya ternyata bernasib sama dengan pendahulunya, yang akhirnya terpaksa menghentikan penerbitan.<br />
<br />
Awal Mulanya Riau Pos<br />
Ketika Gubernur Riau di pegang oleh Soeripto, pertama sekali, dia memutuskan untuk menghidupkan kembali media pemda, dengan semangat baru, para pengelola baru, dan bahkan nama baru. Maka diajukannyalah permohonan penggantian SIUPP dari Warta Karya menjadi Riau Pos, dengan para pengasuhnya Zuhdi SH sebagai Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi, dan J.K. Aris (Pemimpin Perusahaan). Dengan diperolehnya persetujuan Menteri Penerangan tertanggal 28 Agustus 1989, maka mingguan Riau Pos pun mulai beredar dengan melanjutkan nomor edisi Warta Karya sebelumnya.<br />
<br />
Setahun kemudian Riau Pos kembali bernasib sama dengan pendahulunya, yakni mengalami kemacetan karena lemahnya sistem pengelolaan (manajemen). Kemudian Riau Pos dikelila oleh Rida K. Liamsi, mantan pengasuh GeNTA yang hijrah ke harian Suara Karya Jakarta. Dibawah komando Rida K Liamsi Yayasan Penerbit Riau Makmur, pengayom Riau Pos, akhirnya berhasil menemukan mitra usaha baru Jawa Pos Group’ dari Surabaya. Kerjasama ini terjalin berkat jasa wartawan senior Dahlan Iskan, kolega Rida dari majalah berita mingguan TEMPO, Jakarta.<br />
<br />
Bulan Juni 1990 tercapailah kesepakatan resmi antara YPP ’Riau Makmur’ dengan ’Jawa Pos Group’. Dan mulai tanggal 17 Januari 1991, Riau Pos pun mulai merajut sejarah barunya sebagai koran harian pertama di Riau. Sampai sekarang kemitraan itu sudah berjalan lebih 16 tahun. Dan kini Riau Pos sudah berkembang biak dan beranak pinak menjadi 12 media cetak (11 koran dan satu majalah), dua media elektronik (TV), enam unit perangkat cetak koran, sedang jangkauannya telah menggurita, menggapai sampai ke empat provinsi yakni Riau, Kepri, Sumatera Utara, dan sumatera Barat.<br />
<br />
Tahun 1998 merupakan tonggak sejarah baru bagi pertumbuhan pers perjuangan di indonesia, lebih-lebih di Riau. Seiring terbukanya pintu reformasi untuk mendirikan partai-partai baru, media cetakpun muncul bak cendawan tumbuh. Sejak saat itu dunia penerbitan Riaupun ikut gegap gempita dengan kelahiran sejumlah penerbitan baru. Pertumbuhan pers Riau betul-betul booming sejak 1998. Puluhan koran harian, mingguan dan majalah lahir silih berganti. Beberapa di antaranya ada yang reinkernasi dengan gonta ganti nama.<br />
Dalam tahun pertama reformasi (1998) terbit tabloid mingguan Pantau, majalah berita Tema, tabloid berita Azam, majalah budaya Sagang, semua di Pekanbaru, dan harian Lantang di Batam. Tahun berikutnya (1999) muncul pula majalah bulanan Madani, tabloid berita Mediator Solusi, harian Suara Kita, harian Media Riau, majalah Utama, harian Pekanbaru Sore, dan mingguan Cahaya Riau di Pekanbaru, serta mingguan Serantau di Tanjungpinang. Cuma sayang umumnya tidak mampu bertahan lama, kecuali Sijori Pos, Azam, Lantang, Media Riau, dan Sagang. Suara Kita yang kemudian berganti nama menjadi Suara Riau, tadinya diperkirakan bakal bertahan lama, dan bisa menjadi pesaing Riau Pos. Tapi ternyata hanya bertahan dua tahun.<br />
<br />
Tahun 2000 nafsu menerbitkan koran malah kian menggebu-gebu. Waktu itu tampil pula harian Riau Mandiri, Riau Express dan Sijori Mandiri yang didukung modal yang cukup kuat, serta sejumlah tabloid mingguan<br />
Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-65805815277401533792010-08-14T07:43:00.000-07:002010-08-19T05:13:01.730-07:00Pemberdayaan Masyarakat Riau Dalam Menghadapi Terpaan Media PenyiaranKomunikasi massa merupakan organisassi media menciptakan dan meyebarkan pesan-pesan pada masyarakat luas dan proses pesan tersebut dicari, digunakan dan dipengaruhi oleh audiens. Organisasi media menyebarkan pesan yang mempengaruhi dan mengambarkan budaya masyarakat, dan media memberikan informasi kepada audiens yang heterogen, menjadikan media sebagai bagian dari kekuataninstitusi masyarakat. (Stephen W Litteljohn) <br />
Denish McQuil mengatakan bahwa media massa merupakan :<br />
• Jendela (windaws), yang memungkinkan kita untuk melihat lingkungan kita lebih jauh. Penafsir (interpretasi) yang membantu kita memahami pengalaman, <br />
• Landasan (platform) atau pembawa yang menyampaikan informasi,<br />
• Komunikasi Interaktif (interaktive communication) yang meliputi opini audiens<br />
• Penanda (Signposts) yang memberikan kita intruksi dan petunjuk<br />
• Penyaring (filters) yang membagi pengalaman dan fokis terhadap orang lain,<br />
• Cermin (mirror) yang merefleksikan diri kita dan<br />
• Penghalang (barriers) yang menutupi kebenaran.<br />
<br />
I. KERANGKA TEORITIS<br />
Selama ini perspektif masyarakat sangat negatif dalam memandang media massa khususnya media penyiaran yang ada. Masyarakat selalu menuding siaran yang mengandung kekerasan yang menyebabkan seorang anak dirumah menjadi lebih beringas. Seorang guru bahkan sering berkomentar bahwa murid-muridnya membandel setelah adanya siaran tinju yang ditayangkan oleh sebuah station penyiaran tertantu. Kebiasaan sebuah station menyiarkan iklan tentang “life stile’ dituding menybabkan tingkat konsumeritas di suatu daerah menjadi tinggi.<br />
<br />
Pandangan ini mungkin sesuai dengan perspektif sebagian kalangan yang mengatakan bahwa masyarakat tidak berdaya ketika mengkonsumsi (diterpa) oleh media massa. Beberapa teori bahkan membenarkan perspektif tersebut. Salah satu yang mendukung perspektif tersebut adalah teori masyarakat massa (Mass Society Theory) yang diusung oleh Kornhouser (1959), Bromson (1961), Giner (1979) (Danis Mc Quil 1991). Dalam teoti ini dijelaskan bahwa, rata rata orang merupakan korban media massa. (Richad West and Lynn H Turner 2007). Hasil penelitian dan pengamatan mereka menunding media yang menyebabkan rusaknya moral individu bahkan kelompok dari suatu komunitas.<br />
<br />
Pandangan ini diperkuat oleh Wilbur Schramm dengan teori peluru (Bullet Theory). Menurut Schramm seorang komunikator dapat menembakan peluru (pesan) komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif dan tidak berdaya (Onong U. Effendy). Pandangan yang diusung oleh Schramm ini atau lebih terkenal Hipodermik Needle Theori mengatakan terjadi kepanikan setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasion radio CBS di amerika yang berjudul “The invation From Mars“ tahun 1950-an. Akibat siaran tersebut timbul kepanikan pada masyarakat Amerika akan invasi dari planet Mars. Ini menunjukan ketidak berdayaan masyarakat (Pasif) ketika diterpa oleh media penyiaran.<br />
<br />
Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia pada tahun 80-an. Beberapa sinetron yang disiarkan oleh radio swasta di berbagai kota di Indonesia mengambarkan suatu yang riil terjadi sebagaimana yang digambarkan dalan siaran tersebut. Darama Misteri Gunung Merapi yang disiarkan di radio mengambarkan akan suatu mistik yang terjadi di sekitar gunung merapi di Sumatera Barat. Bahkan dengan antusiasnya masyarakat drama ini, beberapa kali dibuat menjadi film layar lebar dan sukses di pasaran. Hal yang sama juga terjadi pada drama Brama Kumbara yang ditayangkan oleh beberapa siaran radio swasta di tanah air. Padahal cerit ayang disiarkan oleh radio tersebut hampir sebagian besar merupakan fiksi belaka. <br />
<br />
Gambaran diatas seolah-olah menunjukan ketidak-berdayaan (Pasif) masyarakat ketika diterpa oleh media penyiaran. Padahal siaran yang ditayangkan televisi dan radio tersebut merupakan karya fiksi saja. Namun rekasi yang terjadi di masyarakat sangat fenomenal.<br />
Ironinya pandangan diatas kemudian dibatah oleh Elihu Katz dan, Jay G. Blumner dan Michael Gurevitch (Richad West and Lynn H Turner 2007). Dalam dari hasil penelitian mereka kemudian ditemukan teori kegunaan dan gratifikasi (Uses and Gratification Theory). Teori ini menyatakan bahwa orang secara aktif mencari media tertentu dan isi (content) tertentu untuk menghasilkan kepuasan (atau hasil) tertentu. Dalam pengembangan teori ini dikatakan orang aktif karena mereka mampu untuk mempelajari dan mengevaluasi berbagai jenis media untuk mencapai tujuan tertantu.<br />
Seseorang akan menonton suatu acara dari sebuah lembaga penyiaran disebakan adanya kegunaan (use) bagi meraka dan penghargaan (gratifikasi) dari upaya yang dilakukanya. Mereka akan menonton berita, apabila mereka membutuhkan informasi baik daerah nasioanl maupun mancanegara. Seorang ibu akan lebih mencari siaran di televisi maupun di radio tentang bagaimana cara memasak yang enak dan cepat daripada menyaksikan siaran berita. Seorang politikus akan mencari berita atau informasi tentang siatuasi daerah pemilihannya (constituen) daripada menonton siaran olahraga.<br />
<br />
Begitu juga mereka akan menonton siaran syang berhubungan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Seorang dokter akan banyak menonton sinetron yang berhubungan dengan kesehatan daripada sinetron tentang aksi laga. Begitu juga sebaliknya seorang aparat kepolisian akan menyaksikan film aksi laga dari pada film drama.<br />
Adapun asumsi-asumsi dasar teori ini adalah :<br />
1. Khalayak dianggap aktif; artinya, sebagian penting dari pengunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.<br />
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengkaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.<br />
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipengaruhi media hanyalah bagian yang rentan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpengaruhi melalui konsumsi media amat tergantung pada prilaku khalayak yang bersangkutan.<br />
4.Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya,orang dianggapa cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu<br />
5. Penilaiaan tentang arti kulturasi dari media massa harus ditangguhkan sebalum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak. (Blumer dan Katz, 1974)<br />
Asumsi ini jelas menerangkan bahwa khalayak (pemirsa media) yang aktif dan pengunaan yang berorientasi pada tujuan yang jelas. Asumsi diatas menjelaskan kebutuhan pada pilihan terhadap sebuah media berada diangan khalayak atau pemirsa. (Richad West and Lynn H Turner 2007) Hal ini sangat bertentangan sekali dengan asumsi sebelumnya khalayak yang pasif ketika mereka diterpa oleh media massa. <br />
<br />
II. KERANGKA NORMATIF<br />
Pasal 6 UU no 32 tahun 2002 dijelaskan bahwa Penyiaran dilakukan oleh satu sistem penyiaran nasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam UU No 32 tahun 2002 Sistem Penyiaran Nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya dasar, asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional. <br />
<br />
Sebelum membahas mengenai sistem penyiaran ada baiknya kita memahami beberapa istilah yang terkait dengan organisasi penyiaran sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Penyiaran yang berlaku saat ini yaitu Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU 32/2002). Pertama, UU 32/2002 menggunakan istilah ‘lembaga penyiaran’ seperti lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas dan seterusnya. Apa yang dimaksud dengan ‘lembaga penyiaran’ ini? Menurut Ketentuan Umum UU 32/2002 “lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[1] Dari sini dapat kita simpulkan bahwa pengertian lembaga penyiaran adalah sama dengan penyelenggara penyiaran. <br />
<br />
Ada pula istilah ‘jasa penyiaran’ yang dalam UU 32/2002 terbagi atas jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi sebagaimana ketentuan pasal 13: “Jasa penyiaran terdiri atas: a) jasa penyiaran radio dan; b) jasa penyiaran televisi”.[2] Undang-undang tidak memberi definisi mengenai apa yang dimaksud dengan jasa penyiaran, dan apa yang membedakannya antara lembaga penyiaran dan jasa penyiaran.<br />
<br />
Dengan demikian terdapat empat istilah dalam Undang-undang Penyiaran yaitu: lembaga penyiaran, penyelenggara penyiaran, jasa penyiaran dan stasiun penyiaran. Adanya empat istilah ini agak membingungkan dan terkesan berlebihan, tidak jelas kapan kita harus menggunakan salah satu istilah itu dan kapan harus menggunakan istilah yang lainnya karena pada dasarnya semuanya mengacu pada pengertian yang sama. Suatu lembaga penyiaran sudah tentu akan menyelenggarakan siaran dan menawarkan jasanya ke berbagai pihak (utamanya pemasang iklan), dan setiap lembaga penyiaran sudah pasti memiliki stasiun penyiaran. <br />
<br />
Di Amerika Serikat, ke-empat istilah tersebut dirangkum hanya dalam satu istilah yaitu broadcast station atau stasiun penyiaran. Head-Sterling (1982) mendefinisikan stasiun penyiaran sebagai: “an entity (individual, partnership, corporation, or non-federal governmental authority) that is licensed by the federal government to organize and schedule program for a specific community in accordance with an approved plan and to transmit them over designated radio facilities in accordance with specified standars”.[4] Artinya: “suatu kesatuan (secara sendiri, bersama, korporasi, atau lembaga yang bukan lembaga pemerintahan pusat) yang diberi izin oleh pemerintah pusat untuk mengorganisir dan menjadwal program bagi komunitas tertentu sesuai dengan rencana yang sudah disetujui dan menyiarkannya untuk penerima radio tertentu sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan”.<br />
<br />
Definisi ini memberikan pengertian yang menunjukkan unsur-unsur elemen stasiun penyiaran yang mencakup atau meliputi: kepemilikan, perijinan, fungsi, kegiatan menyiarkan (transmisi), bahkan juga sasaran siaran (target audien) yang ingin dituju. Definisi ini juga menunjukkan bahwa suatu stasiun siaran dapat dikelola oleh perorangan atau bersama-sama atau dikelola perusahaan atau lembaga tertentu.<br />
<br />
Undang-undang Penyiaran tampaknya menggunakan istilah ‘stasiun penyiaran’ khusus untuk menekankan pada aspek teknik yaitu segala hal yang terkait dengan pemancaran sinyal siaran atau transmisi padahal stasiun penyiaran tidaklah selalu melulu terkait dengan masalah teknis penyiaran semata sebagaimana pengertian yang diberikan Head-Sterling tersebut di atas. <br />
<br />
Istilah lain yang sering digunakan adalah ‘media penyiaran’. Istilah yang terakhir ini tampaknya lebih bisa diterima karena memiliki pengertian yang luas yang meliputi organisasi, kepemilikan, perijinan, fungsi, kegiatan dan sebagainya. Khusus dalam konteks ilmu komunikasi, istilah media penyiaran tampaknya lebih cocok karena media penyiaran merupakan salah satu media atau channel untuk menyampaikan pesan kepada khalayak luas. Penulis tidak ingin terlalu mempersoalkan antara kedua istilah tersebut. Dalam buku ini istilah ‘stasiun penyiaran’ dan istilah ‘media penyiaran’ digunakan secara berganti-ganti.<br />
<br />
Mereka yang ingin mendirikan stasiun penyiaran harus terlebih dahulu memikirkan untuk membuat perencanaan stasiun penyiaran seperti apa yang akan didirikan. Pertanyaan pertama tentu saja mengenai apakah stasiun penyiaran yang akan didirikan itu merupakan stasiun penyiaran televisi atau stasiun penyiaran radio. Jika pertanyaan pertama ini sudah terjawab maka hal lain yang perlu dipikirkan adalah mengenai: A) jenis stasiun penyiaran dan; B) jangkauan siaran.<br />
<br />
Istilah lainnya adalah ‘stasiun penyiaran.’ Juga tidak terdapat definisi mengenai hal ini. Istilah stasiun penyiaran hanya muncul ketika undang-undang pasal 31 menjelaskan bahwa “lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun penyiaran lokal”.<br />
<br />
Sedangkan Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran, baik Lembaga Penyiaran Pemerintah, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus maupun penyelenggara siaran lainnya, yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berpedoman pada perturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 UU no 32 tahun 2002). <br />
<br />
Dalam pelaksanaannya sietem penyiaran tersebut dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam UU no 32 tahun 2002 tersebut dijelaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia, adalah lembaga negara yang bersifat independen yang berada di Pusat dan di daerah yang tugas dan wewengnya diatur Undang Undang sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.Berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah.<br />
<br />
Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.<br />
<br />
Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.<br />
Guna melaksanakan fungsinya KPI memiliki wewenang :<br />
1. Menetapkan standar program siaran<br />
2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman prilaku penyiaran.<br />
3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman prilaku penyiaran serta standar program siaran<br />
4. Memeberikan sangsi terhadap pelanggaran perturan dan pedoman prilaku penyiaran serta standar program siaran<br />
5. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah lembaga penyiaran dan masyarakat.<br />
Tugas KPI adalah :<br />
1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benarsesuai dengan hak asazi manusia.<br />
2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran<br />
3. Ikut membangun iklilm persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan idustri terkait<br />
4. Medmelihara tatanan informasi nasioanal yang adil, merata dan seimbang<br />
5. Menampung, meneliti dan melajuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyrakat terhadap penyelenggaraan penyiaran<br />
6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesioanlitas di bidang penyiaran<br />
<br />
III. PROVINSI RIAU<br />
Selajutnya kita tinjau kondisi provinsi Riau saat ini, secara GEOGRAFIS : Luas wilayah Provinsi Riau adalah 111.228,65 kilometer persegi (luas sesudah pemekaran Provinsi Kepulauan Riau) yang terdiri dari pulau-pulau dan laut-laut. Keberadaannya membentang dari lereng Bukit Barisan sampai Laut Cina Selatan, terletak antara 1°15´ Lintang Selatan sampai 4°45´ Lintang Utara atau antara 100°03´-109°19´ Bujur Timur Greenwich dan 6°50´-1°45´ Bujur Barat Jakarta. <br />
<br />
Dengan jumlah penduduk sekitar 4 juta lebih Provinsi Riau terdiri dari Suku bangsa: Suku Melayu, Suku Jawa, Suku Minangkabau, Suku Batak, Suku Banjar, Suku Tionghoa, Suku Bugis, Suku Sunda. Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, Bahasa Minangkabau. Agama: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu.<br />
<br />
Visi Riau 2020 “Terwujudnya Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin, di Asia Tenggara Tahun 2020” <br />
<br />
SEJARAH RIAU : Pembentukan Provinsi Riau ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan Provinsi lain yang ada di Indonesia, untuk berdirinya Provinsi Riau memakan waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17 Nopember 1952 s/d 5 Maret 1958). Dalam Undang-undang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, Jo Lembaran Negara No 75 tahun 1957, daerah swatantra Tingkat I Riau meliputi wilayah daerah swatantra tingkat II : Bengkalis, Kampar, Indragiri, Kepulauan Riau, termaktub dalam UU No. 12 tahun 1956 (L. Negara tahun 1956 No.25) dan Kotaparaja Pekanbaru, termaktub dalam Undang-undang No. 8 tahun 1956. Dengan Ibukota Provinsi Tanjung PinangDengan surat keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958 telah diangkat Mr. S.M. Amin, Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman.<br />
Pada tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau.Untuk merealisir ketetapan tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk pula suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution. Gubernur Mr. S.M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik di Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960.<br />
<br />
Selanjutnya diangkatnya Kolonel Arifin Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau terhitung mulai tanggal 16 Oktober 1966 dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP/4/43-1506. pelantikannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Basuki Rachmad dalam suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15 Nopember 1966. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau mengukuhkan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk masa jabatan 5 tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260, tertanggal 24 Februari 1967. Surat Keputusan tersebut diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor : 146/M/1969 tertanggal 17 Nopember 1969.<br />
GUBERNUR. Hingga sekarang pejabat Gubernur Riau sudah mengalami beberapa kali pergantian, yaitu <br />
1. Mr. S.M. Amin Periode 1958 – 1960 <br />
2. H. Kaharuddin Nasution Periode 1960 – 1966 <br />
3. H. Arifin Ahmad Periode 1966 – 1978 <br />
4. Hr. Subrantas.S Periode 1978 – 1980 <br />
5. H. Prapto Prayitno (Plt) 1980<br />
6. H. Imam Munandar Periode 1980 - 1987. <br />
7. H. Baharuddin Yusuf (Plh) 1988 <br />
8. Atar Sibero (Plt) 1988 9. H. Soeripto Periode 1988 – 1998<br />
10. H. Saleh Djasit Periode 1998 – 2003<br />
11. H.M. Rusli Zainal Periode 2003 – 2008<br />
12. Wan Abubakar September 2008 (Plh) karena incumbent mendaftar Pilkada<br />
13. H.M Rusli Zainal 2008- sekarang<br />
KABUPATEN/KOTA: Seiring dengan berhembusnya angin reformasi telah memberikan perubahan yang drastis terhadap negeri ini, tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri. Salah satu perwujudannya adalah dengan diberlakukannya pelaksanaan otonomi daerah yang mulai di laksanakan pada tanggal 1 Januari 2001. Hal ini berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah baru di Indonesia, dari 27 Provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 32 Provinsi. Tidak terkecuali Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi mejadi Provinsi ke 32 di Indonesia, itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 11 Kabupaten/Kota. Kabupaten-Kabupaten tersebut adalah; (1) Kuantang Singingi, (2) Inderagiri Hulu, (3) Inderagiri Hilir, (4) Pelalawan, (5) Siak, (6) Kampar, (7) Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, dan Kota (10) Pekanbaru, (11) Dumai dan terakhir (12) Meranti.<br />
<br />
IV. SISTEM PENYIARAN DI PROVINSI RIAU.<br />
Provinsi Riau yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengunakan sistem penyiaran yang ada pada UU no 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan PP no 11 Tahun 2005 serta aturan lainya. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana tranmisi di barat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan gelombang elektromagnetik, kabel, serat optik, dan /atau media lainnya untuk dapat diterima oleh masyarakat dengan pesawat penerima siaran televisi, atau perangkat elektronik lainnya dengan atau tanpa alat bantu. Walaupun begitu aplikasinya penyiaran di Provinsi Riau perlu memberikan konten (isi) budaya melayu dan pendidikan yang jelas dan tegas dari masyarakat dan lembaga penyiaran maupun pemerintah daerah.<br />
<br />
Persoalannya adalah apakah sistem penyiaran lokal tersebut bisa dicover oleh KPI Daerah Riau. Dengan wilayah dan jumlah penduduk yang besar, rasanya tugas yang diemban oleh KPI daerah Riau tidak efektif. Cara yang terbaik dalam memberikan konten budaya dan pendidikan bagi bumi lancang kuning ini adalah bagaimana melibatkan (pemberdayaan) masyarakat Riau baik yang aktif dalam mengunakan media maupun masyarakat lainya.<br />
<br />
Pemberdayaan masyarakat ini dapat mengunakan teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory). Dalam teori ini dijelaskan bahwa media massa sebagai agen sosialisasi yang utama disamping keluarga, guru di sekolah dan sahabat. Manusia mampu menyadari atau berfikir dan bahwa mereka dapat mengabil manfaat dari pengamatan dan pengalaman (Albert Badura 1977). <br />
<br />
Lebih lanjut dijelaskanya bahwa sebuah variabel penting yang mempengaruhi apakah terjadi pembelajaran sosial atau tidak adalah persepsi atas kemampuan diri (self efficacy) atau penilaiaan orang mengenai kemampuan untuk mengunakan kontrol atas kinerja mereka dan kejadian yang mempengaruhi kehidupan mereka. Badura menyebutkan bahwa Pengaruh percontohan harus didisain untuk membangun self efficacy dan juga menyampaikan ilmu pengetahuan dan aturan-aturan yang berlaku. Banyak komunikasi yang ditujukan pada perobahan prilaku orang tidak hanya memperagakan perilaku-perilaku tapi berusaha untuk menarik atau meningkatkan perasaan self efficacy anggota. Disini kita bisa mensinergikan antara media yang memberikan pesan dengan kemampuan berfikir dan menganalisa dari masyarakat terhadap siaran maupun lembaga penyiaran yang ada. Sikap kritis dan evaluatif dari masyarakat apabila disinergikan dengan upaya KPI dan KPID dalam mengawasi dan mengkontol penyiaran dapat menghasilakn upay yang maksimal. <br />
<br />
Pengawasan menurut George R. Theri sebagaimana yang dikutib oleh Muchsan SH dalam Sistem Pengawasan Terhadap aparat Pemerintah dan peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia (1992) menyatakan “ Control is to determine what accomplished evaluate it, and applly corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan” (tindakan evaluatif serta koreksi terhadap hasil yang dicapai dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana). Apabila masyarakat dan KPI atau KPID Riau bisa mengevaluasi dan mengkoreksi secara benar maka fungsi kontrol terhadap media menjadi maksimal dan efektif. Jadi peran serta dan pemberdayaan masyarakat Riau akan sangat membantu pelaksanaan penyiaran yang sesuai dengan regulasi (UU no 32 tahun 2002 dan PP 11 tahun 2005)<br />
<br />
Musfialdy, S. Sos M. Si<br />
Dosen Komunikasi<br />
Fakultas dakwah dan Ilmu Komunikasi<br />
UIN Suska PekanbaruMusfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-81902839004341766752010-08-14T07:35:00.000-07:002010-08-14T07:35:13.127-07:00Fungsi dan Bentuk Komunikasi dalam OrganisasiKomunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan dalam organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi. tujuan dari dibuatnya teori komunikasi untuk menjembatani jurang pemisah dalam organisasi, sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi. <br />
<br />
Komunikasi organisasi banyak dipengaruhi oleh teori Frederick Taylor (teori manajemen) dan teori Max Weber (teori birokrasi) yang melihat bahwa komunikasi dalam organisasi diatur oleh standar yang jelas. Tahun 60 dan 70-an berkembang pandangan organisasi sebagai suatu sistem, perkembangan selanjutnya tahun 80-an masyarakat kebingungan dengan rasionalitas dan objektivitas dalam pandangan sistem dari sinilah muncul pandangan budaya yang melihat dalam organisasi terdapat sejarah, nilai, ritual dan perilaku anggota organisasi.<br />
<br />
Max Weber merupakan pendiri modern organization studies mengatakan:<br />
His account can be summarized as follows: members use the ideal type conception of bureaucracy to understand the conduct of other members and to guide their own actions; because they all act in patterns organized by the ideal type, their actions coordinate in such a way that organizations consequentially and meaningfully exist. Thus, from its beginning, organization studies have pursued the central question of how large-scale, purposefully-controlled organizations are constituted. <br />
<br />
Max Weber membentuk studi-studi organisasi modern dengan menawarkan satu analisis interpretif mengenai birokrasi (1968). Paparannya dapat diringkaskan sebagai berikut: para anggota menggunakan jenis ideal konsepsi birokrasi untuk memahami kelakuan anggota lain dan untuk memandu tindakan mereka sendiri; karena mereka semua bertindak dalam pola-pola yang diorganisir oleh jenis ideal, tindakan-tindakan mereka mengkordinir dalam cara yang sedemikian sehingga organisasi-organisasi ada secara konsekuensial dan secara bermakna. (Robert D. McPhee, Arizona State University & Pamela Zaug, Arizona State University dalam The Communicative Constitution Of Organizations: A Framework For Explanation, 2000)<br />
<br />
James R. Taylor dalam Rethinking the Theory of Organizational Communication, How to Read An Organization Series: Communication and Information Science menjelaskan bahwa komununikasi organisasi (organizational communication) merupakan faktor penentu suksesnya suatu organisasi yang bertujuan menjadi sistem demi menyamakan gerak, membentuk harmonisasi organ-organ, penyelarasan berbagai konflik internal, pencitraan, pencapaian tujuan bahkan pengembangan organisasi.<br />
<br />
Masyarakat kita merupakan “masyarakat organisasi”, kita lahir di organisasi, belajar di organisasi dan banyak menghabiskan waktu dari hidup kita untuk bekerja di organisasi (Littlejohn, 2002). Komunikasi merupakan kegiatan yang paling sering dilakukan dalam organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi. Dari kegiatan tersebut dapat dirinci 5% untuk menulis, 10% baca, 35% bicara dan 50% mendengar. <br />
<br />
Adapun komunikasi organisasi dilakukan dalam kerangka: sebanyak 44% untuk komunikasi rutin; 26% untuk pengembangan SDM (sumber daya manusia) antara lain untuk penilaian karyawan, konseling karyawan, training, seleksi, promosi karyawan, dll.; 19% untuk traditional management seperti pengawasan, memberi instruksi, melapor, dll.; 11% untuk net-working antara lain untuk berkoordinasi dengan bagian lain, mencari informasi pesaing, dll. <br />
<br />
Istilah organisasi diartikan merupakan sebuah kelompok individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu (Devito, 1997). Jumlah anggota organisasi sangat bervariasi dari satu organisasi ke organisasi lainnya. Ada yang beranggotakan tiga atau empat orang bekerja dengan kontak yang sangat dekat. Yang lainnya memiliki seribu karyawan tersebar di seluruh dunia. Yang terpenting adalah mereka ini bekerja di dalam struktur tertentu. Individu di abad ke-21 ini sangat dinamis, masuk dan keluar dari suatu perusahaan atau organisasi untuk mencari pengalam baru atau penghasilan lebih baik bukan hal yang aneh. Pada saat itulah proses asimilasi terjadi. Studi komunikasi organisasi merupakan studi yang interdisipliner. Bidang-bidang studi yang menggunakan kajian komunikasi organisasi yakni: manajemen, sosiologi, psikologi sosial, dan lain-lain. Karena itulah maka teori-teori komunikasi organisasi berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya dan untuk memahaminya perlu dipelajari terlebih dahulu bagaimana perkembangan komunikasi organisasi. <br />
<br />
Pada dasarnya istilah komunikasi organisasi terbagi menjadi dua arti, yakni; organisasi dan komunikasi. Kata ’organisasi’ di sini dapat diartikan seperti rangkaian mesin yang memiliki bagian-bagin untuk memproduksi sebuah produk atau layanan dari input (masukkan) sampai output (luaran) dari suatu sistem. Di samping itu juga sebagian ahli mendefinisikan organisasi sering dianggap sebagai sesuatu yang hidup secara natural, seperti layaknya tumbuhan atau binatang. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan tuntutan zaman yang melingkupinya. Ada juga yang beranggapan bahwa organisasi seperti otak manusia yang memiliki proses informasi, intelegensia dan konseptualisasi perencanaan. Pada perkembangan selanjutnya organisasi sering dianggap, seperti masuk dalam tatanan realitas budaya karena menciptakan makna, memiliki nilai dan norma yang dipersuasikan oleh cerita dan ritual yang terbagikan.<br />
<br />
Dalam organisasi dikenal juga dengan konsep individualistik atau hubungan antar individu yang akan memunculkan hubungan dyadic. Hubungan dalam kaitannya dengan keintiman ini akan sangat mengarah kepada adanya hubungan konsepsi jaringan dalam komunikasi organisasi. Manusia berkomunikasi satu dengan yang lain yang selalu di kaitan dengan penggunaan saluran komunikasi untuk menjadi instrumen penyampaian pesan bisa dalam berbagai bentuk, fungsi sosial dalam organisasi yang mampu melingkupi kelompok besar (large groups).<br />
<br />
Sedangkan definisi komunikasi itu sendiri yang digunakan dalam tulisan ini yakni mengikuti pendapat Pace yang menyebutkan bahwa ”suatu tindakan komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh dua hal, yakni; penciptaan pesan (atau biasanya disebut dengan penciptaan pertunjukkan (display) dan penafsiran pesan atau penafsiran sebuah pertunjukkan.” <br />
<br />
Ditambahkan Goldhaber, bahwa setiap manusia dalam kaitan dengan organisasi akan dihubungan dengan pertunjukkan yang berjalan. Maksudnya adalah manusia tidak dapat tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mengeluarkan pesan (Goldhaber, 1979). Dalam kantor pertunjukkan pesan bisa dalam bentuk memo, laporan, pidato dan neraca keuangan yang dapat merepresentasikan gagasan-gagasan si pengirim pesan. Oleh sebab itu di dalam menafsirkan pesan akan muncul proses pemindahan (transfer) dan pertukaran (exchange) pesan, dan di sinilah titik letak penting realitas budaya yang disebutkan oleh para aliran subyektivis. Keberadaan artefak, gerak tubuh dan tindakan akan melukiskan suatu makna yang manusia miliki lewat petunjukkan yang secara tidak langsung digelar. <br />
<br />
Menurut James Taylor (1993) tujuan dari dibuatnya teori komunikasi untuk <br />
menjembatani jurang pemisah dalam organisasi, sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi. “The goal of organizational communication theory ought to be to bridge the micro/macro gap, by showing how to discover the structure in the process and delineating the processes that realize the structure” (261). The processes of communication create a patterning which constitutes the structure of organization and the organization itself simultaneously. To develop his conception of communication, Taylor turns to Greimas (among, we should hasten to note, many other theoretic strands), who contends that all communication has an underlying deep narrative structure that organizes conversation through various speech acts. The constitution of an organization would involve its deep narrative structuring of a great number of elementary transactions conducted by human agents. Another main tenet is his claim that communication involves two aspects, conversation and text, with the latter (the medium of organizational structure) stabilizing and grounding, but also being enacted and potentially transformed by, the former (the medium of organizationally communicative action). Since communication creates the structure of organization, Taylor argues that it makes sense to study organizations from the communication perspective. A key point to his position, which seems to be comparable to Weick, is that organization is an effect of communication and not its predecessor. Taylor vastly extends the range of communication theory applied to the constitution problem, but his fascination (even as a pronounced interpretivist) with structuralism leads him to root his answer to the constitution problem in a grammatical rather than a systems conception. <br />
<br />
KOMUNIKASI ORGANISASI (ORGANIZATIONAL COMMUNICATION)<br />
Komunikasi organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi yang terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hirarkris antara yang satu lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan (Pace and Faules, 2002: 20).<br />
<br />
Di samping itu juga komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif intepretatif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang merupakan organisasi. Proses interaksi itu tidak mencerminkan organisasi; ia adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah perilaku pengorganisasian yang terjadi dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya bertransaksi dan memberikan makna atas apa yang sedang terjadi. <br />
<br />
Menurut Monge dan Eisenberg, kerja dari hubungan komunikasi organisasi antara kolega yang terinstitusi akan memberikan gambaran terbaik menciptakan konstitusi konsep jaringan (Littlejohn, 1999:303). Organisasi dianggap sebagai suatu sistem yang sedikitnya terdiri dari dua orang atau pihak (atau lebih). Di dalamnya terdapat interdepen, masukan (input), hubungan dan luaran (output). <br />
<br />
Struktur hubungan antara komunikasi organisasi terdiri dari pola interaksi antar anggota, siapa yang berbicara dan memberi pesan kepada siapa? Hal ini yang disebut dengan aliran informasi. Dasar pemikiran dari ide ini teori jaringan yang dapat diprediksikan antar komunikasi antar individu yang ada di dalam organisasi. Jelasnya dalam struktur komunikasi organisasi pasti terdapat struktur antar dependen dan interdependen, sehingga antar yang berhubungan dapat menjalankan jaringan komunikasi. Tapi dalam hal ini perlu ada aturan yang mengikat jaringan dalam menciptakan hubungan. Oleh sebab itu perlu ada pemahaman peran jabatan dalam komunikasi organisasi yang tercipta.<br />
<br />
Komunikasi organisasi informal berkaitan dengan fenomena yang disebut komunikasi jabatan (posisitional communications) (Redfield, 1953). Hubungan yang dimaksud adalah terbentuk atas antar jabatan-jabatan bukan antara orang-orang. Keseluruhan organisasi terdiri dari jaringan jabatan. Praktik komunikasi jabatan ini membingungkan karena tidak semua jabatan dan interaksi secara seksama dapat berjalan dalam alur informasi yang sesuai dengan jabatan. <br />
<br />
Dalam hubungan informal terbentuk sebagai respon terhadap berbagai kesempatan yang diciptakan lingkungan, organisasi informal merupakan lingkungan kelompok lebih nyata yang mempengaruhi jumlah dan pelaksanaan hubungan informal dalam organisasi. Ada dua model teori organisasi besar, yakni; Weber dengan model birokrasi yang terfokus pada pengorganisasian. Teori ini dianggap sebagai pernyataan terpenting tentang organisasi formal yang didasarkan pada pengelolaan.<br />
<br />
Sedangkan model kedua yakni organisasi menurut Frederick W. Taylor. Bagi beliau doktrin klasik organisasi dan manajemen dapat secara langsung dilacak kembali ke minat Taylor atas pengawasan (supervisi) fungsional. Secara khusus Weber dan Taylor menyajikan teori-teori organisasi dan manajemen yang hampir secara khusus membahas anatomi organisasi formal. Dalam artian khusus dibahas dalam anatomi formal yang dapat disebut dengan teori-teori struktural klasik. <br />
<br />
Pendekatan Taylor terhadap manajemen dilakukan di sekitar empat unsur kunci: pembagian kerja, proses skalar dan fungsional, struktur, dan rentang kekuasaan. <br />
Pertama; PEMBAGIAN KERJA <br />
Pembagian kerja di sini berkaitan dengan bagaimana tugas, kewajiban dan pekerjaan organisasi didistribusikan. Kewajiban perusahaan secara sistematik dibebankan kepada jabatan-jabatan dalam suatu tatanan spesialisasi yang menurun. Bila dapat dilakukan, pekerjaan setiap orang dalam organisasi harus terbatas pada pelaksanaan suatu fungsi, yang merupakan konsep pembagian kerja. Parkinson merumuskan sejumlah prinsip yang membantu menjelaskan bagaimana orang-orang dalam organisasi memanipulasi unsur tersebut (1957). <br />
<br />
Dalam hukum Parkinson (Parkinson’s Law) ini menyebutkan bahwa manajer, pekerja dan administrator mulai merasa kekurangan tenaga karena kelelahan dalam kerja. Oleh sebab itu manajer perusahaan perlu melakukan tiga pilihan: mengundurkan diri, berbagi kerja dengan kolega atau meminta bantuan memiliki dua orang bawahan (Parkinson dalam Pace and Wyne, 2002:51). <br />
<br />
Kedua; PROSES SKALAR DAN FUNGSIONAL<br />
Proses ini berkaitan dengan pertumbuhan vertikal dan horisontal organisasi. Proses skalar ini menunjukkan rantai perintah atau dimensi vertikal organisasi. Dengan penambahan sumber daya manusia organisasi akan memberikan delegasi dan kewenangan atas tanggungjawab, kesatuan perintah dan kewajiban pelaporan.<br />
Pembagian ini sesuai dengan pilar keempat teori manajemen klasik, bahwa pembagian kerja dalam tugas-tugas lebih khusus akan menjadi unit-unit yang sesuai dengan proses-proses fungsional dan ekspansi horisontal organisasi. <br />
<br />
BENTUK KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI <br />
Salam perkembanganya Komunikasi dalam sebuah organisasi dibagi dalam beberapa hal : 1. Management Information System <br />
Misalnya: dengan menggunakan computer, data, informasi. <br />
2. Telecomunication <br />
Komunikasi dengan peralatan yang mana komunikator dan komunikan tidak <br />
berhadapan langsung. <br />
Misalnya: telepon, TV, e-mail, voice messaging, electronic bulletin board. <br />
3. Non verbal communication <br />
Pralinguistic, proxemics, kinesics, chronemics, olfaksi, tactile, artifactual. <br />
4. Interpersonal communication <br />
Komunikasi yang terjadi antar individu. <br />
5. The organizational communication process <br />
- instruksi atau komando <br />
- laporan, pertanyaan, permintaan <br />
- subsgroup dengan subsgroups <br />
- staff <br />
<br />
BENTUK KOMUNIKASI BERDASAR STRUKTUR ORGANISASI <br />
1. Superior - subordinate communication <br />
Disebut juga downward communication yaitu komunikatornya adalah atasan <br />
dan komunikasinya adalah bawahannya. <br />
<br />
Katz & Kahn menyebutkan 5 bentuk komunikasi downward, yaitu: <br />
a. memberi tugas rinci - job instruction <br />
b. memberi informasi tentang prosedur organisasi dan latihan-latihan. <br />
c. memberi informasi tentang rastionale of the job yaitu alasan mengapa tugas <br />
tersebut harus dilakukan <br />
d. memberi tahu tentang kinerja anak buah <br />
e. memberi informasi tentang ideologi organisasi (visi, misi) untuk memudahkan <br />
dalam mencapai tujuan organisasi. <br />
Media yang digunakan adalah media tulis, media lesan, interaktif. <br />
<br />
2. Subordinate - initiated communication <br />
Disebut juga dengan upward communication yaitu komunikasi yang terjadi dari <br />
bawahan ke atasannya. <br />
Adapun bentuknya adalah: <br />
a. Informasi pribadi tentang gagasan, sikap, peampilan kerja. <br />
b. Informasi feedback tentang performance teknis, beberapa informasi penting <br />
lainnya. <br />
3. Interactive communication <br />
Komunikasi yang terjadi pada karyawan yang selevel. <br />
Bentuknya adalah <br />
a. Task coordination <br />
b. Problem solving <br />
c. Information sharing <br />
d. Conflict Resolution <br />
Beberapa faktor pada struktur organisasi yang berpengaruh pada pola komunikasi antara lain <br />
a. ukuran <br />
b. sentralisasi - desentralisasi <br />
c. degrees of uncertainityMusfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-64952580363249153262010-08-02T03:43:00.000-07:002010-08-02T03:43:19.817-07:00SEJARAH PERKEMBANGAN KOMUNIKASI POLITIKSejak manusia pertama (Adam dan Hawa) menghuni planet bumi ini, sejak itu komunikasi menyertai kehidupan kedua mahkluk Tuhan tersebut. Komunikasi terus menyertai perkembangan Adam dan Hawa. Pada awalnya, komunikasi berada dalam lingkup sederhana dan dalam skala sempit. Perkembangan umat manusia terus melaju mengikuti lajunya usia planet bumi ini, sehingga manusia tidak lagi berada dalam dimensi yang sama, mereka tersebar dalam determinasi-determinasi kultur, nilai, ruang dan waktu yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, komunikasi mulai dihadapkan kepada problema yang bertambah komplek dan rumit.<br />
<br />
Perkembangan komunikasi terus berimpit mengikuti peningkatan kualitas berpikir manusia. Proses komunikasi tidak lagi berada dalam tahap melukiskan perasaan yang berputar pada lingkup yang berskala kecil dan terbatas, tetapi telah membawa manusia untuk berorientasi ke arah skala yang lebih luas dan lebih kompleks.<br />
<br />
Betapa penting peran dan fungsi komunikasi yang selalu berdampingan dengan manusia dalam segala bidang kehidupan, sehingga mulai dirasakan perlunya pengelolaan secara bijak dan terpola terhadap semua aspek yang dimiliki komunikasi.<br />
<br />
Bersamaan dengan perkembangan tersebut, maka para teoritis dan ilmuwan mulai mengarahkan perhatiannya pada bidang komunikasi sebagai suatu kajian yang menarik. Hal ini bermula di wilayah Anglo Saxon yang mengintroduksi komunikasi sebagai kajian baru yang berada dalam rumpun sosial. Ilmu yang menekuni kajian ini disebut Science of Communication yang berkembang secara cepat pada perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat. Kajian terhadap ilmu komunikasi tidak dapat mengisolasi dari pengaruh kajian ilmu sosial lainnya seperti, sosiologi, psikologi, antropologi, hukum dan ilmu politik.<br />
<br />
Perpaduan kajian antara ilmu komunikasi dengan ilmu sosial lain menghasilkan bentuk perkembangan baru yang menunjukkan pada karakteristik bahwa ilmu ini dapat dipadukan. Suatu hal yang rasional apabila ilmu komunikasi dapat melintasi batas wilayah disiplin ilmu sosial lain karena setiap ilmu pada hakikatnya berkait dengan kehidupan umat manusia dan dipergunakan untuk kemanfaatkan umat manusia juga. Komunikasi yang selalu berdampingan dengan umat manusia tidak akan kaku apabila berpadu dengan ilmu lainnya. Karena setiap ilmu pada hakikatnya merupakan seperangkat simbol komunikasi yang ditrasfer dari individu, kelompok atau masyarakatnya kepada individu, kelompok atau masyarakat lainnya.<br />
<br />
Salah satu kajian yang menarik minat para ilmuwan politik dan ilmuwan komunikasi yaitu kajian terhadap komunikasi politik.Di Amerika Serikat telah banyak teoritisi dan ilmuwan yang menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah yang membahas tentang komunikasi politik ini, antara lain Dan Nimmo dalam judul Political Communication and Public Opinion in America. Stven H.Caffe dalam judul buku Political Communication; Issues and Strategies for Research, Michael H.Prosser dalam judul Intercommunication Among Nations and People, William L.Rivers dan rekan-rekan dalam judul Responsibility in Mass Communication, dan banyak lagi kajian-kajian para ilmuwan lainnya.<br />
<br />
Kajian komunikasi politik bersifat dimensional dan kauistik karena berkait dengan berbagai macam problem dan kompleksitas permasalahan. Kajian komunikasi politik tidak hanya berkisar pada pembahasan. proses komunikasi yang memuat pesan-pesan politik, tetapi lebih dari itu. Kajian komunikasi politik membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem politik atau sistem pemerintahan yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasan tentang sistem berkait pula dengan transformasi nilai-nilai yang dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi politik dan pendidikan politik.<br />
<br />
Dalam praktek kenegaraan, keabsahan suatu sistem apabila mendapat dukungan dari seluruh warganegara yang berada dalam lingkup sistem tersebut, yang terwujud dalam partisipasi politik, sehingga sistem tersebut benar-benar mencerminkan totalitas aspirasi dan cita–cita seluruh warga masyarakat negara.<br />
<br />
Bahasan komunikasi politik tidak hanya berlingkar dalam suatu sistem intranegara, akan tetapi melintas batas wilayah sistem ekstranegara, sehingga akan bertemu berbagai sistem dan akan saling mempegaruhi antara satu dengan lainnya. Hal ini sebagai akibat temuan teknologi canggih di bidang komunikasi. Dalam kondisi ini transmisi pesan komunikasi melintas determinan-determinan geografis, geopolitik dan geokultur, sehingga akan membaurnya berbagai sistem nilai yang berakibat sistem nilai setiap negara akan berada di ambang kesemuan dan akan mengacu pada lunturnya identitas suatu sistem apabila suatu negara yang berada dalam sistem tersebut tidak memiliki daya tangkal yang kuat. Kondisi ini yang kita kenal dengan sebutan era globalisasi. <br />
<br />
Maswardi Rauf (1993) menyebutkan bahwa Komunikasi Politik sebagai objek kajian ilmu politik karena pesan-pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi bercirikan politik yaitu berkait kekuasaan politik Negara, pemerintah, dan aktivitas komunikator dalam kedudukan sebagai pelaku kegiatan politik. <br />
Komunikasi Politik dibagi dalam dua dimensi : <br />
1.Sebuah kegiatan politik : Penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik lepada pihak lain. <br />
2.Kegiatan ilmiah : Kegiatan politik dalam sistem politik. <br />
Rusadi Kantaprawira (1983) mendefinsikan Komunikasi Politik adalah untuk menghubungkan sistem politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intern golongan, instansi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik pemerintah.<br />
Menurut Astrid S. Susanto (1975), Komunikasi Politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. <br />
Dari kata-kata mengingkat dan sanksi memberikan isyarat bahwa disiplin ilmu hukum telah memperkaya formulasi pengertian komunikasi politik karena kedua kata tersebut terminologi yang biasa digunakan dalam kajian ilmu hukum. Dan Nimmo (1978) berpandangan bahwa Komunikasi Politik menggunakan politik hanya untuk mengartikan kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. <br />
Kata Mark Roelofs dan Barn Lund, Komunikasi Politik lebih memusatkan kajiannya pada bobot materi muatan yang berisi pesan-pesan politik (isu politik, peristiwa politik dan perilaku politik individu-individu baik sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan atau asosiasi politik<br />
<br />
Hakikat Komunikasi Politik<br />
<br />
Menyimak Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik secara filosofis, secara esensial keduanya tidak dapat melepaskan diri pada peran aktif manusia, terutama sebagai mahluk sosial dan menelusuri realitas sosial. Konsep dasar realitas sosial, menurut R. Wayne Pace dan Don F. Faules (2000:07), adalah suatu pola hubungan dan makna simbolik yang ditopang lewat suatu proses tindakan dan interaksi manusia. Meskipun suatu derajat tertentu kontinuitas dipelihara lewat berlangsungnya kegiatan-kegiatan yang menyerupai aturan (rule-like activities) yang menentukan suatu lingkungan sosial tertentu, pola tersebut selalu terbuka bagi reafirmasi atau perubahan melalui penafsiran dan tindakan individu. Karakter dasar dunia sosial tertanam dalam jaringan makna subyektif yang menopang tindakan-tindakan yang menyerupai aturan (rule-like actions) yang memberi dunia sosial tersebut suatu bentuk yang tahan lama. Realitas terletak bukan pada aturan atau kepatuhan atas aturan, tetapi dalam sistem tindakan bermakna yang menampilkan dirinya sendiri kepada seorang pengamat sebagai menyerupai aturan. <br />
<br />
Manusia adalah aktor sosial yang menafsirkan lingkungan mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi mereka. Dalam proses ini, mereka menggunakan bahasa, label, dan rutinitas untuk pengelolaan kesan dan mode-mode lain tindakan spesifik secara cultural. Dengan begitu, mereka memberikan sumbangan kepada pembentukan realitas, manusia hidup dalam suatu dunia signifikansi simbolik, menafsirkan dan melibatkan diri dalam hubungan yang bermakna dalam dunia tersebut. Manusia adalah aktor yang mempunyai kemampuan untuk menafsirkan, mengubah, dan kadang-kadang menciptakan naskah yang mereka mainkan di atas panggung kehidupan. <br />
<br />
Landasan berpikir tentang ”peran” manusia dalam merekonstruksi realitas sosial secara teoretis telah melahirkan Teori Tindakan Sosial yang digagas oleh Filosof Jerman Max Weber (1864-1920). Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna sibjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda seluju dalam situasi tersebut. <br />
<br />
Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan oleh individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya. Bagi Weber jelas bahwa tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir, dan kesengajaan. Tindakan sosial baginya adalah tindakan yang disengaja, disengaja bagi orang lain dan bagi sang aktor sendiri yang pikiran-pikirannya aktif saling mempengaruhi menafsirkan perilaku orang lainnya, berkomunikasi satu sama lain dan mengendalikan perilaku dirinya masing-masing sesuai dengan maksud komunikasinya (Mulyana,2001:60). <br />
<br />
Teori Tindakan Sosial inilah yang melandasi lahirnya Komunikasi Politik. Kendati, Komunikasi Politik ini berada dalam kajian Ilmu Komunikasi, tetapi masuk dalam wilayah Komunikasi Aplikatif. Komunikasi Politik dikaji dalam Komunikasi Penunjang Pembangunan dan berdampingan dengan Komunikasi Pendidikan, Komunikasi Kesehatan, dan sebagainya. Hal itu jelas tergambar dalam Perspektif Pohon Komunikasi yang merupakan Rekonstruksi Ilmu Komunikasi dari Nina Winangsih Syam (2002:18).<br />
Secara filosofis kajian Komunikasi Politik adalah kajian tentang hakikat kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup dalam lingkup berbangsa dan bernegara. Hakikat kehidupan sebagai motif atau sebagai Das Wollen (keinginan) yang mendorong manusia untuk berkiprah yang mengarah pada terpenuhinya Das Wollen tersebut. <br />
Lahirnya asosiasi-asosiasi di masyarakat sebagai transparansi dari das wollen. Dalam asosiasi inilah, individu-individu menyeimbangan das wollen (keinginan) melalui tukar menukar pesan yang distrukturisasikan ke dalam simbol-simbol komunikasi. <br />
<br />
Tukar menukar pesan ditata dengan baik yang diselenggarakan oleh suatu asosiasi kemasyarakat yang tertinggi sebagai pranata politik (political instituion) yang disebut negara. Dikatakan asosiasi kemasyarakatan tertinggi karena diberi atribut kekuasaan (power) untuk mengatur dan menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg) yang tidak pernah diberikan kepada asosiasi kemasyarakatan lainnya.<br />
Setiap negara akan selalu berorientasi kepada fungsi primer negara yaitu tujuan negara. Secara das sollen tujuan itu dapat dicapai apabila terwujud sifat-sifat integratif dari semua unsur penghuni negara. Hal ini berarti bahwa sikap, perilaku, dan pola pikir terintegrasi ke dalam sistem nilai yang sedang berlangsung. Atau perkataan lain terdapat komitmen moral penghuni sistem terhadap sistem nilai yang dijunjung tinggi bersama. <br />
<br />
Pengertian nilai (value) adalah konsep abstrak tentang baik dan buruk, benar dan salah, lurus dan menyimpang. Nilai hanya dapat dikonkritisasi dalam bentuk atau wujud norma-norma atau kaidah-kaidah yang mempedomani aktivitas kehidupan. <br />
Hakikat norma (kaidah adalah untuk melindungi hak-hak yang bersifat azasi. Norma menjadi dasar untuk mengatur lalu lintas tranformasi pesan-pesan komunikasi. Norma sebagai rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap rambu-rambu tersebut berarti akan mengundang malapetaka (Sutjipto Rahardjo,1986).<br />
<br />
Berkomunikasi merupakan bagian dari hak azasi yang melekat pada diri manusia semenjak manusia lahir. Namun demikian, hak-hak tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak selama hak tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap hak-hak individu lain. Karena itu, maka setiap hak mempunyai dasar moral yang selalu berdampingan dengan tanggung jawab yang berorientasi kepada mandat bersama. <br />
Dalam kenyataan empiris atau secara Das Sein, pengaturan terhadap hak-hak berkomunikasi tidak dapat digeneralisasikan atau distandarisasikan ke dalam suatu sistem tertentu karena setiap negara memiliki sistem politik berbeda. <br />
Munculnya empat macam sistem komunikasi sebagai tanda bahwa pengaturan hak-hak berkomunikasi sangat bergantung kepada sistem politik atau sistem kekuasaan (power sistem) tempat komunikasi politik itu diaktualisasi. Keempat macam sistem politik yang dimaksud yaitu sistem otoriter, sistem liberal, sistem komunis, dan sistem tanggung jawab sosial atau sisten lain yang belum terungkap, misalnya, sistem agama seperti di Timur Tengah. <br />
<br />
Dalam keragaman sistem, maka hakikat komunikasi politik tidak dapat ingkar dari nilai-nilai yang bersifat azasi dan yang bersifat elementer yaitu sifat-sifat yang ada pada diri manusia bahwa manusia memerlukan manusia lainnya. Nilai-nilai inilah yang akan menembus isolasi pembeda yang tumbuh karena sistem politik. <br />
Sumarno (2006:09) : Hakikat dan fungsi komunikasi politik berdimensi dua yang bersifat ideal normatif negara, yaitu ideal normatif ke dalam tubuh negara dan idel normatif ke luar negara. Ideal normatif ke dalam tubuh negara, maka hakikat komunikasi politik melihat negara sebagai satu kesatuan yang utuh dan tersusun ke dalam suatu bangunan marsus (tersusun rapi) mengarah tercapainya pada ideal normatif tersebut. Dalam tanggal ini komunikasi politik berfungsi untuk menumbuhkan persamaan persepsi dan kesatuan pandang melalui simbol-simbol komunikasi sebagai produk interpretasi bersama. Hal ini yang dimaksud berwujud sifat-sifat integratif perilaku dan pola pikir ke dalam sistem politik yang sedang berlangsung dan sekaligus terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai yang dijunjung tinggi bersama. Kondisi semacam ini berkait erat dengan mythos dan ethos bangsa yaitu pengakuan terhadap nilai-nilai moralitas dalam lingkup suatu sistem. <br />
Mythos : pola tentang nilai-nilai dasar dan pengalaman sejarah yang menjadi karakter manusia yang ditransformasikan melalui ilmu pengetahuan (The Grolier International Dictionary,1988:869).Ethos berkait erat dengan ethic: seperangkat nilai yang bersifat fundamental yaitu yang dijadikan dasar moral yang memberi arah terhadap suatu bangsa menuju arah yang baik (Sumarno,2006). Mythos dan Ethos mengiringi kehidupan kelompok, masyarakat, bangsa atau negara dan selalu dijunjung tinggi dalam lingkup kehidupan yang bersangkutan.<br />
<br />
Demikianlah perkembangan dari fungsi dan peranan komunikasi politik yang terjadi saat ini. Banyak hal yang menjadi kajian dalam proses pengembangan komunikasi politik seiring dengan perkembangan dan kompleknya masyarakat saat ini. <br />
<br />
Disadur dari berebagai sumberMusfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4766368035261234562.post-75165531851115983782010-08-02T03:31:00.000-07:002010-08-02T03:31:16.561-07:00Kota Pekanbaru Kota MetropolitanPekanbaru dahulunya dikenal dengan nama Senapelan yang dipimpin oleh seorang kepala Suku yang disebut Batin. Daerah ini pada awalnya adalah daerah pemukiman yang kemudian pindah ke dataran yang agak tinggi dari permukaan air. Ditempat ini tumbuh sebatang pohon yang rindang dan tinggi, dari jauh kelihatan seperti payung sekaki. Semenjak itu perkampungan baru tersebut dinamakan PAYUNG SEKAKI.<br />
Perkembangan Senapelan sangat erat dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indra Pura. Semenjak Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah menetap di Senapelan, dan membangun Istana di Kampung Bukit serta berinisiatif membuat Pekan di Kampung Senapelan, walaupun pada awalnya pekan atau pasar yang dibuat Sultan pada awalnya kurang berkembang namun sudah menunjukkan adanya beberapa kemajuan.<br />
Usaha yang telah dirintis tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali dengan gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, namun sedikit menggeser lokasi pekan disekitar pelabuhan Pekanbaru sekarang. Setelah peristiwa ini, maka sebutan Senapelan lebih populer disebut Pekanbaharu dan seterusnya menjadi Pekanbaru.<br />
Menurut catatan yang dibuat oleh Imam Suhil Siak, Senapelan yang kemudian lebih populer disebut Pekanbaru, resmi didirikan pada tanggal 21 Rajab hari Selasa tahun 1204 H, bersamaan dengan 23 Juni 1784 M, oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah. Dibawah pemerintahan Sultan Yahya, ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.<br />
Pada masa penjajahan Belanda, berdasarkan Bershuit van Inlandsch Zelfbestuur van Siak No. 1/1919, Pekanbaru difungsikan sebagai wilayah countroluer (PHB). Akhirnya, pada masa kemerdekaan, Pekanbaru berubah status menjadi hemente Pekanbaru atau ibu kota Keresidenan Riau (berdasarkan ketetapan Gubernur Sumatera di Medan No. 103/1946). Selanjutnya, berstatus Kota Kecil (berdasarkan UU No. 8/1956), Kotapraja (UU No. 1/1957) serta akhirnya menjadi Kotamadya dan kini menjadi Kota.<br />
...........<br />
Kota Pekanbaru secara geografis terletak antara 101o14‘ - 101o34’ Bujur Timur dan 0o25’ – 0o45‘ Lintang Utara. Dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 5 s.d. 50 meter dari permukaan laut, sedangkan permukaan wilayah bagian utara merupakan dataran landai dan bergelombang dengan ketinggian berkisar 5 – 11 meter, dan dibelah oleh aliran Sungai Siak, yang mengalir dari barat hingga ke timur. Beriklim tropis dengan suhu udara maksimum antara 34,0o C – 36,7o C dan minimum 20,0oC – 22,4oC. Berpenduduk 711.130 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk mencapai 3,99 % per tahun.<br />
Kentalnya kebudayaan melayu dalam masyarakat menjadikan kehidupan di Kota Pekanbaru terasa begitu religius. Agama yang dianut oleh warga Kota Pekanbaru, mayoritas menganut agama Islam yakni mencapai 90 %, Kristen 4,2%, Budha 3,1 %, Katholik 2,3 %, Hindu 0,3 % dengan jumlah rumah peribadatan mencapai 564 dengan rincian Mesjid 501, Gereja 51, Vihara 11 dan Pura 1.<br />
Kota Pekanbaru, Di sebelah Utara, berbatasan wilayah dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kampar. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan. Di sebelah Timur dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Kampar.<br />
........<br />
Visi Kota Pekanbaru 2021 adalah “Terwujudnya Kota Pekanbaru sebagai pusat perdagangan dan jasa, pendidikan, serta pusat kebudayaan Melayu, menuju masyarakat sejahtera yang berlandaskan iman dan takqwa.”<br />
Untuk mewujudkan Visi telah ditetapkan Misi Kota Pekanbaru 2021, yaitu :<br />
1.Menciptakan dan menumbuhkembangkan iklim usaha yang kondusif dengan berbasis ekonomi kerakyatan.<br />
2.Menyediakan sekolah dan lembaga pendidikan yang unggul yang didukung oleh tenaga profesional sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, mandiri, kreatif dan inovatif.<br />
3.melestarikan, membina dan mengembangkan kebudayaan melayu yang mampu mengikuti perkembangan jaman dengan tetap mempertahankan jati diri sehingga tercipta masyarakat yang maju, mandiri dan mampu bersaing.<br />
4.terpenuhinya kebutuhan hidup dan kehidupan masyarakat.<br />
5.Menciptakan masyarakat yang beriman dan bertakwa melalui pendidikan agama dan memfungsikan lembaga – lembaga keagamaan sebagai wadah pembinaan umat.Musfialdyhttp://www.blogger.com/profile/06148832685518945828noreply@blogger.com0