Komunikasi di dalam organisasi tidak
terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling
sering dilakukan dalam organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi. Tujuan dari
dibuatnya teori komunikasi untuk menjembatani jurang pemisah dalam organisasi,
sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi.
I. Organisasi
Telaah mengenai organisasi dapat menjadi
demikian kompleks. Umpamanya organisasi dapat memiliki aspek mikro dan makro.
Dari pandangan makro memberikan pertimbangan/ memperhatikan sekumpulan
organisasi yang mempunyai komponen (mikro). Komponen ini mempunyai sasaran atau
ciri-ciri khusus yang berbeda dengan system makro (Herbert G Hick dan Ray
Gullet, 1987).
Organisasi dengan demikian
adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan
sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang
relative terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok
tujuan. Batasan ini terlihat amat panjang dan perlu diuraikan bagian-bagian
penting yang relevan.
Konsep dikoordinasikan
dengan sadar, mengandung pengertian manajemen. Kesatuan sosial, berarti bahwa
unit itu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama
lain. Pola interaksi yang diikuti orang di dalam sebuah organisasi tidak begitu
saja timbul, melainkan telah dipikirkan
terlebih dahulu. Sebuah organisasi memiliki batasan yang relative dapat diidentifikasi,
berarti batasan dapat berubah dalam kurun waktu tertentu dan tidak selalu
jelas, namun semua batasan yang nyata harus ada agar kita dapat membedakan
antara anggota dan bukan anggota. Orang-orang di dalam sebuah organisasi
mempunyai suatau keterikatan yang terus-menerus. Rasa keterikatan ini tentunya
bukan berarti keanggotaan seumur hidup, akan tetapi sebaliknya organisasi
menghadapi perubahan yang konstan di dalam keanggotaan mereka. Akhirnya,
organisasi itu ada untuk mencapai sesuatu. “Sesuatu” itu adalah tujuan, dan
tujuan tersebut biasanya tidak dapat dicapai oleh individu-individu yang
bekerja sendiri, atau jika mungkin, hal tersebut dicapai secara efisien melalui usaha kelompok (Stephen P. Robbins,
1994).
Dari pengertian tentang
organisasi tersebut dapat disimpulkan, bahwa individu dengan organisasinya
adalah tidak mungkin melepaskan diri dari hubungan jalin menjalin satu sama
lain. Keberhasilan suatu organisasi secara tidak langsung merupakan
pengkoordinasian yang baik dari dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan
bersama. Organisasi yang mutakhir dan yang serba kompleks pada umumnya bekerja
secara serentak, terstruktur dan terkendali dalam rangka mencapai tujuan
organisasi secara efisien dan efektif.
Burn dan Stalker (1979)
menyatakan bahwa suatu organisasi tidak akan berfungsi dengan efektif apabila
struktur organisasinya tidak disesuaikan dengan lingkungannya. Apabila kondisi
lingkungan organisasi relatif stabil,
maka struktur yang cocok adalah struktur yang mekanistik yaitu struktur yang
diatur secara rinci, pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab dan hubungan
kerja antar unit-unit organisasi tersebut. Sebaliknya, apabila kondisi
lingkungan tidak stabil, sehingga banyak faktor-faktor lingkungan yang tidak
bisa diperkirakan situasi masa depannya, maka struktur organisasi yang sesuai
adalah struktur yang organik yang pengaturannya tidak terlalu kaku, lebih
fleksibel, dalam arti kata pembagian tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
hubungan kerja antar unit-unit.
1. Sasaran, Efisiensi dan Efektivitas Organisasi
Menurut Amitai Etzioni
dalam Modern Organizations (dikutip Hari Lubis dan Martani Huseini,
PAU-UI, 1987), bahwa sasaran (goal) organisasi adalah suatu keadaan atau
kondisi yang akan dicapai oleh suatu organisasi. Dalam pengertian tersebut
sasaran dapat diidentikan sebagai tujuan organisasi, baik tujuan jangka panjang
maupun jangka pendek, yang mencakup sasaran dari keseluruhan organisasi ataupun
sasaran dari suatu bagian tertentu dari organisasi.
Pemahaman tentang tujuan
atau sasaran organisasi ini akan sangat berkaitan sekali dengan efisiensi dan
efektifitas organisasi, karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan
suatu organisasi dalam mencapai tujuan atau sasaran tersebut.
Efisiensi merupakan sebuah konsep yang bersifat
lebih terbatas dan menyangkut proses
internal yang terjadi dalam organisasi. Efisiensi menunjukkan banyaknya input
atau sumber yang diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan
output. Karena itu, efisiensi dapat diukur sebagai ratio atau sumber yang
diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output dengan
menggunakan input atau masukan yang jumlahnya lebih sedikit dari yang digunakan
oleh organisasi lainnya. Dapat dikatakan sebagai organisasi yang lebih efisien.
Sementara itu konsep efektifitas organisasi dapat
dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai
tujuan atau sasarannya. Efektifitas ini sebenarnya merupakan suatu konsep yang
sangat luas, mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar organisasi itu
sendiri (Hari Lubis dan Martani Huseini, 1987).
Efektifitas organisasi dapat diukur dengan
berbagai macam cara, tapi tidak ada satupun ukuran yang benar-benar sempurna
dan setiap ukuran yang digunakan pasti memiliki kelebihan ataupun kekurangan
dibanding ukuran yang lainnya. Diantara pendekatan yang ada untuk mengukur
efektifitas organisasi adalah pendekatan sasaran (goal approach) atau
pendekatan pencapaian tujuan, pendekatan sumber (system Resources approach),
pendekatan sistem (system approach), pendekatan Kontituensi dan
pendekatan nilai-nilai bersaing.
Pendekatan sasaran atau tujuan memiliki kelemahan
antara lain ;
(1)
pencapaian bersifat wujud (tangible),
(2)
organisasi mencoba mencapai lebih dri satu
tujuan, tetapi pencapaian satu tujuan acapkali menghalangi atau mengurangi
kemampuan mereka mencapai tujuan yang lain,
(3)
keberadaan tujuan resmi yang lazim dimana
anggota menyatakan koitman masih dipertanyakan, beberapa peneliti telah
menemui kesulitan memperoleh konsesus diantara manajer, atas tujuan organisasi
mereka (lihat James L Gibson at.al, edisi kedelapan, 1996).
Dalam pendekatan sistem untuk mengukur efektifitas
organisasi juga mengandung kelemahan, yaitu pendekatan ini lebih terfokus pada
cara-cara yang diperlukan untuk mencapai keefektifan dari pada keefektifan
organisasi itu sendiri, karena melihat variabel proses bagaimana organisasi
berinterkasi dengan lingkungan yang terbuka dan mempengaruhinya, sehingga sulit
dikembangkan alat ukur yang sah dan andal untuk memperoleh kuantitas atau
intensitasnya (Stephen P. Robbins, 1994).
Pendekatan konstituensi dalam pengukuran
efektifitas organisasi adalah mencoba untuk memandang keseluruhan kegiatan yang
dilakukan pada suatu organisasi dengan memusatkan perhatiannya pada berbagai
komponen atau kelompok di dalam maupun di luar organisasi yang mempunyai
kepentingan dengan performa organisasi, seperti karyawan, pemegang saham,
leveransir bahan, pemilik dan sebagainya. Dengan demikian, efektifitas
organisasi akan diukur dari tingkat kepuasan setiap elemen konstituensi
terhadap organisasi itu (Hari Lubis dan Martaini Huseini, 1987).
Pendekatan ini tentu memiliki kelemahan, bahwa
tingkat kepuasan kelompok konstituensi atau pelanggan / konsumen bersifat
relatf dan sulit diukur serta setiap elemen konstituensi tentu memiliki
kriteria yang berbeda menilai organisasi sesuai dengan perbedaan kepentingan
masing-masing.
Guna memahami organisasi pengawasan sebagai wadah
dan proses maka perlu menghayati lima pertanyaan sebagai berikut : (Siagian,
2002; 229)
1. Siapa
yang melakukan, melakukan apa?. Karena dalam organisasi selalu terjadi
pembagian tugas.
2. Siapa
yang bertanggung jawab, kepada siapa?. Perlu dikatakan dengan jelas sebab di
dalam organisasi terdapat hierarki wewenang dan tanggung jawab.
3.
Siapa
yang berinteraksi, dengan siapa?. Hal ini mengingat bahwa organisasi yang
dikelola dengan baik berpedoman pada prinsip sinergi.
4. Pola komunikasi yang bagaimana yang
berlaku di dalam organisasi?. Berkaitan dengan kultur organisasi yang
dianut.
5. Jaringan
informasi apa yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh para anggota organisasi
yang bersangkutan?
Organisasi-organisasi
pemerintah adalah salah satu bagian dari organisasi public, disamping itu
terdapat juga apa yang disebut organisasi privat (korporat). Kedua bentuk organisasi
tersebut memiliki perbedaan, diantaranya bahwa organisasi publik cenderung
bertahan lama, sementara organisasi privat, daur hidupnya fluktuatif, terkadang
mengalami kemajuan, terkadang mengalami kemunduran bahkan kemungkinan bubar
sebagai organisasi. Mengapa demikian, organisasi publik memiliki kecenderungan
bertahan terhadap berbagai perubahan lingkungan karena ditopang oleh kekuasaan,
sementara organisasi privat, hidupnya banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam
merespon perubahan dan lingkungannya.
Salah satu bagian bahasan dalam organisasi adalah
yang menyangkut struktur organisasi. Struktur organisasi menunjukan bagaimana
tugas akan dibagi, siapa yang melapor kepada siapa, dan mekanisme koordiansi
yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Robbins (1994: 6)
menyebutkan bahwa adatiga komponen dari struktur organisasi, yaitu
kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi.
Kompleksitas mempertimbangkan tingkat
differensiasi yang ada dalam organisasi, termasuk didalamnya tingkat
spesialisasi atau tingkat pembagian kerja, jumlah tingkatan didalam hirarki
organisasi, serta tingkat sejauh mana unit-unit organisasi tersebar secara
geografis.
Sementara
formalisasi menyangkut tingkat sejauh mana sebuah organisasi menyadarkan
dirinya kepada peraturan dan prosedur untuk mengatur prilaku dari para
pegawainya. Sentralisasi mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan
keputusan. Dalam organisasi, kecenderunganya secara bergantian dipergunakan
sentralisasi atau desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga komponen diatas sangat menentukan
berjalannya organisasi, struktur yang komplek dengan tingkat formalisasi aturan
yang ketat serta pengambilan keputusan yang sangat sentralistik membuat
organisasi menjadi sangat lamban dalam merespon perubahan lingkungan, begitu
juga sebaliknya, tingkat kompleksitas yang rendah, dengan derajat formalisasi
yang lentur serta pengambilan keputusan yang desentralistik menjadikan
organisasi cepat merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Persoalan organisasi publik adalah terlalu
kompleknya struktur dengan formalisasi aturan yang ketat dan sangat prosedural
yang disertai oleh minimnya pelimpahan kewenangan (desentralisasi) menjadikan
organisasi publik dijangkiti penyakit birokrasi red-tape, bertele-tele, high
cost dan tidak adaptif terhadap tuntutan atau dukungan publik. Kondisi
tersebut menuntut dilakukannya evaluasi yang dilanjutkan dengan merancang
kembali terhadap struktur organisasi pemerintah daerah agar lebih tanggap perubahan-perubahan lingkungan.
Dalam literatur administrasi maupun kebijakan
publik, dimensi struktur organisasi dibedakan atas beberapa bentuk, Jackson dkk
(1986) membedakannya kedalam 8 tingkatan,
masing-masing (1) organization size, (2) complexity or differentiation, (3) formalization,
(4) control, (5) administrative component, (6) bureaucratization,
(7) centralization dan (8) level of authority. Sementara
itu Robbins (1994) membedakan kedalam tiga dimensi , masing-masing : (1)
complexity or differentiation, (2) formalization, (3)
centralization.
Dari ketiga
dimensi struktur sebagaimana diatas complexity memiliki kaitan dengan
kajian tentang rancangan struktur organisasi. Complexity adalah “degree
of differentiation”, baik horizontal
maupun vertikal.
2. Diferensiasi Horizontal
Diferensiasi
secara horizontal adalah the degree of horizontal separation between
units, diferensiasi horizontal dilakukan dalam bentuk spesialisasi atau
departementasi. Diferensiasi ini
dalam batas tertentu berkaitan dengan efisiensi dan produktivitas. Dalam batas
tertentu, semakin spesial suatu tugas (full-specialized) atau pekerjaan,
semakin efisien, tetapi diluar batas itu over specialized atau under
specialized bahkan overlapped, efisiensi menjadi menurun.
Dengan demikian maka
struktur yang terdefrensiasi secara penuh spesialisasi berpengaruh pada
pencapaian tingkat efisiensi dari organisasi. Diferensiasi melalui spesialisasi
fungsi-fungsi disamping menciptakan efisiensi dan meningkatkan produktifitas
(karena tingkat kecakapan dari para spesialis-spesialis) juga mempersingkat
waktu pencapaian tujuan organisasi. Spesialisasi pada organisasi privat
biasanya terbentuk departementalisasi, yakni pengelompokkan pekerjaan dan
orang-orang berdasarkan spesialisasinya, misalnya departemen purchasing,
marketing, dan sebagainya.
Diferensiasi horizontal
berkaitan dengan bentuk struktur suatu organisasi, Mary Jo Hatch dalam
Organization Theory (1997) membedakan enam bentuk struktur organisasi, yaitu :
(1) simple structure, (2) functional structure, (3) multi division structure, (4) matrix structure, (5) hybrid structure dan
(6) network structure. Pilihan atas model-model struktur tersebut
tergantung atau disesuaikan dengan tujuan suatu organisasi.
3 Diferensiasi Vertikal
Sementara itu diferensiasi vertikal adalah
“the depth of organizations hierarchy”. Diferensiasi vertikal merujuk pada
struktur organisasi, semakin tinggi tingkat hierarki organisasi semakin jauh
hubungan antara top management dengan staf atau struktur bawahnya.
Diferensiasi vertikal berkaitan dengan otoritas dan rentang kendali sebuah
organisasi, semakin tinggi bentuk struktur organisasi, semakin tinggi rentang
kendali dalam organisasi tersebut semakin besar (cost) birokrasi yang
dibutuhkan.
Ada dua model struktur
dalam diferensiasi vertikal, yaitu model tall dan model flat.
Model tall terdiri atas beberapa tingkatan dalam struktur organisasi
(bentuk meninggi) sementara model flat lebih mendatar dengan sedikit
tingkatan.
Struktur tall memberikan
supervisi dan kontrol yang berorientasi pada atasan yang lebih ketat, dan
kordinasi serta komunikasi menjadi rumit, disebabkan oleh bertambahnya jumlah
yang harus dilalui perintah-perintah. Struktur flat mempunyai rantai komunikasi
yang lebih singkat dan sederhana, peluang supervisi yang lebih sedikit karena
para manajer (kepala bagian) mempunyai lebih banyak orang yang melapor
kepadanya, dan mengurangi peluang kenaikan jabatan karena tingkat manajemen
yang lebih sedikit (Robbins, 1990).
Secara konseptual Henry Mintzberg dalam Structure-In-Five
(1983) mengatakan bahwa organisasi formal setidaknya memiliki lima bagian
dalam strukturnya, masing-masing :
1. Strategic
Apex (unsur pimpinan, unsur kepala);
2. Middle
Line (lini tengah);
3. Technostructure
(unsur staf);
4. Support
Staf (staf pendukung);
5. Operating
Core (unsur pelaksana).
4. Teori Organisasi Modern
Perkembangan
teori organisasi pada mulanya menunjukan gejala “ menyebar”. Berbagai
pendekatan muncul sering kali tidak ada hubungan satu dengan yang lainya,
bahkan saling berlawanan. Pendekatan
klasik dan Neo-klasik misalnya memberikan jelas gambaran tentang penyebaran
tersebut. Pendekatan klasik memusatkan perhatian pada anatomi organisasi dan
tidak memperhatikan aspek sosial. Sedangkan pendekatan neo klasik justru
mementingkan aspek sosial tetapi kurang memperhatikan anatomi oranisasi.
Selanjutnya muncul
pendekatan modern dalam teori organisasi yang sering kali mampu menyatukan
keseluruhan pandangan dalam analisa organisasi. Pendekatan ini muncul diawali
oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Joan Woodward pada tahun 1950-an,
terhadap 100 buah perusahaan industri di South Essex-Ingris.
Penelitian Woodward ini
diikuti oleh beberapa peneliti lainya menunjukan bahhwa selain teknologi
terdapat juga aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap karakteristik
organisasi yaitu faktor-faktor lain yang terdapat dalam lingkungan organisasi.
Hal ini menunjukan bahwa organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, dan
hanya organisasi yang bisa beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan
lingkungan yang dapat mencapai keberhasilan. Karena itu bentuk dan cara
pengelolaan organisasi haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungannya agar organisasi itu
bisa mencapai keberhasilan.
Pendekatan modern
mempunyai beberapa perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan pendekatan
sebelumnya yaitu:
1.
Pendekatan Modern memandang organisasi sebagai
suatu sistem terbuka, yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub
sistem) dari lingkunganya, sehingga organisasi bisa dipengaruhi maupun
mempengaruhi lingkunganya.
2.
Keterbukaan dan ketergantungan organisasi
terhadap lingkunganya menyebabkan bentuk organisasi harus disesuaikan dengan
lingkungan dimana organisasi tersebut berada. (S.B. Hari Lubis dan Martani
Husein, 1987 : 6)
II. KOMUNIKASI ORGANISASI (ORGANIZATIONAL COMMUNICATION)
Komunikasi organisasi banyak dipengaruhi
oleh teori Frederick Taylor (teori
manajemen) dan teori Max Weber
(teori birokrasi) yang
melihat bahwa komunikasi dalam organisasi diatur oleh standar yang jelas. Tahun 60 dan 70-an berkembang
pandangan organisasi sebagai suatu sistem, perkembangan selanjutnya tahun 80-an
masyarakat kebingungan dengan rasionalitas dan objektivitas dalam pandangan
sistem dari sinilah muncul pandangan budaya yang melihat dalam organisasi terdapat sejarah, nilai,
ritual dan perilaku anggota organisasi.
Max Weber merupakan pendiri modern
organization studies mengatakan:
His account can be summarized as follows: members use the ideal type
conception of bureaucracy to understand the conduct of other members and to
guide their own actions; because they all act in patterns organized by the
ideal type, their actions coordinate in such a way that organizations
consequentially and meaningfully exist. Thus, from its beginning, organization
studies have pursued the central question of how large-scale,
purposefully-controlled organizations are constituted.
Max Weber membentuk studi-studi organisasi modern
dengan menawarkan satu analisis interpretif mengenai birokrasi (1968).
Paparannya dapat diringkaskan sebagai berikut: para anggota menggunakan jenis
ideal konsepsi birokrasi untuk memahami kelakuan anggota lain dan untuk memandu
tindakan mereka sendiri; karena mereka semua bertindak dalam pola-pola yang
diorganisir oleh jenis ideal, tindakan-tindakan mereka mengkordinir dalam cara
yang sedemikian sehingga organisasi-organisasi ada secara konsekuensial dan
secara bermakna. (Robert
D. McPhee, Arizona
State University & Pamela
Zaug, Arizona State University dalam The Communicative Constitution Of
Organizations: A Framework For Explanation, 2000)
James
R. Taylor dalam Rethinking the Theory of Organizational
Communication, How to Read An
Organization Series: Communication and Information Science menjelaskan bahwa komununikasi organisasi (organizational
communication) merupakan faktor penentu suksesnya suatu
organisasi yang bertujuan menjadi sistem demi menyamakan gerak, membentuk
harmonisasi organ-organ, penyelarasan berbagai konflik internal, pencitraan,
pencapaian tujuan bahkan pengembangan organisasi.
Masyarakat
kita merupakan “masyarakat
organisasi”, kita lahir di organisasi, belajar di organisasi dan banyak menghabiskan waktu dari hidup
kita untuk bekerja di organisasi (Littlejohn,
2002). Komunikasi merupakan
kegiatan yang paling sering dilakukan dalam
organisasi yaitu 75%-95% dari seluruh kegiatan organisasi. Dari kegiatan
tersebut dapat dirinci 5% untuk menulis, 10% baca, 35% bicara dan 50%
mendengar.
Adapun
komunikasi organisasi dilakukan
dalam kerangka: sebanyak 44% untuk
komunikasi rutin; 26% untuk
pengembangan SDM (sumber daya manusia)
antara lain untuk penilaian karyawan,
konseling karyawan, training, seleksi, promosi karyawan, dll.; 19% untuk traditional management seperti pengawasan, memberi instruksi,
melapor, dll.; 11% untuk net-working antara lain untuk berkoordinasi dengan bagian lain, mencari
informasi pesaing, dll.
Istilah organisasi diartikan merupakan sebuah kelompok
individu yang diorganisasi untuk mencapai tujuan tertentu (Devito, 1997). Jumlah anggota organisasi sangat bervariasi dari satu organisasi ke
organisasi lainnya. Ada yang
beranggotakan tiga atau empat orang bekerja dengan kontak yang sangat dekat.
Yang lainnya memiliki seribu karyawan tersebar di seluruh dunia. Yang
terpenting adalah mereka ini bekerja di dalam struktur tertentu. Individu di abad ke-21 ini sangat dinamis, masuk
dan keluar dari suatu perusahaan atau organisasi untuk mencari pengalam baru atau penghasilan lebih
baik bukan hal yang aneh. Pada
saat itulah proses asimilasi terjadi. Studi komunikasi organisasi merupakan studi yang interdisipliner.
Bidang-bidang studi yang menggunakan kajian komunikasi organisasi yakni: manajemen, sosiologi, psikologi sosial, dan lain-lain. Karena itulah maka
teori-teori komunikasi organisasi berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya dan
untuk memahaminya perlu dipelajari terlebih dahulu bagaimana perkembangan
komunikasi organisasi.
Pada dasarnya istilah
komunikasi organisasi terbagi menjadi dua arti, yakni; organisasi dan
komunikasi. Kata ’organisasi’ di sini dapat diartikan seperti rangkaian
mesin yang memiliki bagian-bagin untuk
memproduksi sebuah produk atau layanan dari input
(masukkan) sampai output (luaran)
dari suatu sistem. Di samping itu juga
sebagian ahli mendefinisikan organisasi sering dianggap sebagai sesuatu yang
hidup secara natural, seperti layaknya tumbuhan atau binatang. Mereka lahir,
tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan tuntutan zaman yang
melingkupinya. Ada juga yang beranggapan bahwa organisasi seperti otak manusia
yang memiliki proses informasi, intelegensia dan konseptualisasi perencanaan.
Pada perkembangan selanjutnya organisasi sering dianggap, seperti masuk dalam
tatanan realitas budaya karena menciptakan makna, memiliki nilai dan norma yang
dipersuasikan oleh cerita dan ritual yang terbagikan.
Dalam
organisasi dikenal juga dengan konsep individualistik atau hubungan
antar individu yang akan memunculkan hubungan dyadic. Hubungan dalam kaitannya dengan keintiman ini akan sangat
mengarah kepada adanya hubungan konsepsi jaringan dalam komunikasi organisasi.
Manusia berkomunikasi satu dengan yang lain yang selalu di kaitan dengan
penggunaan saluran komunikasi untuk menjadi instrumen penyampaian pesan bisa
dalam berbagai bentuk, fungsi sosial dalam organisasi yang mampu melingkupi
kelompok besar (large groups).
Sedangkan definisi
komunikasi itu sendiri yang digunakan dalam tulisan ini yakni mengikuti pendapat Pace yang menyebutkan bahwa ”suatu tindakan komunikasi akan sangat
dipengaruhi oleh dua hal, yakni; penciptaan pesan (atau biasanya disebut dengan
penciptaan pertunjukkan (display) dan
penafsiran pesan atau penafsiran sebuah pertunjukkan.”
Ditambahkan Goldhaber,
bahwa setiap manusia dalam kaitan dengan organisasi akan dihubungan dengan
pertunjukkan yang berjalan. Maksudnya adalah manusia tidak dapat tidak menunjukkan
bahwa mereka tidak mengeluarkan pesan (Goldhaber, 1979). Dalam kantor
pertunjukkan pesan bisa dalam bentuk memo, laporan, pidato dan neraca keuangan
yang dapat merepresentasikan gagasan-gagasan si pengirim pesan. Oleh sebab itu
di dalam menafsirkan pesan akan muncul proses pemindahan (transfer) dan pertukaran (exchange)
pesan, dan di sinilah titik letak penting realitas budaya yang disebutkan oleh
para aliran subyektivis. Keberadaan artefak, gerak tubuh dan tindakan akan
melukiskan suatu makna yang manusia miliki lewat petunjukkan yang secara tidak
langsung digelar.
Menurut
James Taylor (1993) tujuan dari dibuatnya teori komunikasi untuk
menjembatani jurang pemisah dalam organisasi,
sehingga proses dapat berjalan secara baik dan mencapai tujuan organisasi. “The goal of organizational communication
theory ought to be to bridge the micro/macro gap, by showing how to discover
the structure in the process and delineating the processes that realize the
structure” (261). The processes of communication create a patterning which
constitutes the structure of organization and the organization itself
simultaneously. To develop his conception of communication, Taylor turns to Greimas
(among, we should hasten to note, many other theoretic strands), who contends
that all communication has an underlying deep narrative structure that
organizes conversation through various speech acts. The constitution of an
organization would involve its deep narrative structuring of a great number of
elementary transactions conducted by human agents. Another main tenet is his
claim that communication involves two aspects, conversation and text, with the
latter (the medium of organizational structure) stabilizing and grounding, but
also being enacted and potentially transformed by, the former (the medium of
organizationally communicative action). Since communication creates the
structure of organization, Taylor
argues that it makes sense to study organizations from the communication
perspective. A key point to his position, which seems to be comparable to
Weick, is that organization is an effect of communication and not its
predecessor. Taylor vastly extends the range of communication theory applied to
the constitution problem, but his fascination (even as a pronounced interpretivist)
with structuralism leads him to root his answer to the constitution problem in
a grammatical rather than a systems conception.
Komunikasi
organisasi dapat didefinisikan sebagai pertunjukkan dan penafsiran pesan di
antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi
tertentu. Suatu organisasi terdiri dari
unit-unit komunikasi yang terdiri dari unit-unit komunikasi dalam
hubungan-hubungan hirarkris antara yang satu lainnya dan berfungsi dalam suatu
lingkungan (Pace and Faules, 2002: 20).
Di
samping itu juga komunikasi organisasi, dipandang dari suatu perspektif
intepretatif (subjektif) adalah proses penciptaan makna atas interaksi yang
merupakan organisasi. Proses interaksi itu tidak mencerminkan organisasi; ia
adalah organisasi. Komunikasi organisasi adalah perilaku pengorganisasian yang
terjadi dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya bertransaksi dan
memberikan makna atas apa yang sedang terjadi.
Menurut
Monge dan Eisenberg, kerja dari hubungan komunikasi organisasi antara kolega
yang terinstitusi akan memberikan gambaran terbaik menciptakan konstitusi
konsep jaringan (Littlejohn, 1999:303). Organisasi dianggap sebagai suatu
sistem yang sedikitnya terdiri dari dua orang atau pihak (atau lebih). Di
dalamnya terdapat interdepen, masukan (input),
hubungan dan luaran (output).
Struktur
hubungan antara komunikasi organisasi terdiri dari pola interaksi antar
anggota, siapa yang berbicara dan memberi pesan kepada siapa? Hal ini yang
disebut dengan aliran informasi. Dasar pemikiran dari ide ini teori jaringan
yang dapat diprediksikan antar komunikasi antar individu yang ada di dalam
organisasi. Jelasnya
dalam struktur komunikasi organisasi pasti terdapat struktur antar dependen dan
interdependen, sehingga antar yang berhubungan dapat menjalankan jaringan
komunikasi. Tapi dalam hal ini perlu ada aturan yang mengikat jaringan dalam
menciptakan hubungan. Oleh sebab itu perlu ada pemahaman peran jabatan dalam
komunikasi organisasi yang tercipta.
Komunikasi
organisasi informal berkaitan dengan fenomena yang disebut komunikasi jabatan (posisitional communications) (Redfield,
1953). Hubungan yang dimaksud adalah terbentuk atas antar jabatan-jabatan bukan
antara orang-orang. Keseluruhan organisasi terdiri dari jaringan jabatan. Praktik
komunikasi jabatan ini membingungkan
karena tidak semua jabatan dan interaksi secara seksama dapat berjalan dalam
alur informasi yang sesuai dengan jabatan.
Dalam
hubungan informal terbentuk sebagai respon terhadap berbagai kesempatan yang
diciptakan lingkungan, organisasi informal merupakan lingkungan kelompok lebih
nyata yang mempengaruhi jumlah dan pelaksanaan hubungan informal dalam
organisasi. Ada dua model teori organisasi besar, yakni; Weber dengan model
birokrasi yang terfokus pada pengorganisasian. Teori ini dianggap sebagai
pernyataan terpenting tentang organisasi formal yang didasarkan pada
pengelolaan.
Sedangkan
model kedua yakni organisasi menurut Frederick
W. Taylor. Bagi beliau doktrin klasik organisasi dan manajemen dapat secara
langsung dilacak kembali ke minat Taylor atas pengawasan (supervisi)
fungsional. Secara khusus Weber dan Taylor menyajikan teori-teori organisasi
dan manajemen yang hampir secara khusus membahas anatomi organisasi formal.
Dalam artian khusus dibahas dalam anatomi formal yang dapat disebut dengan
teori-teori struktural klasik.
Pendekatan Taylor terhadap manajemen dilakukan di sekitar
empat unsur kunci: pembagian kerja, proses skalar dan fungsional, struktur, dan
rentang kekuasaan.
1. PEMBAGIAN
KERJA
Pembagian kerja di sini
berkaitan dengan bagaimana tugas, kewajiban dan pekerjaan organisasi
didistribusikan. Kewajiban perusahaan secara sistematik dibebankan kepada
jabatan-jabatan dalam suatu tatanan spesialisasi yang menurun. Bila dapat
dilakukan, pekerjaan setiap orang dalam organisasi harus terbatas pada
pelaksanaan suatu fungsi, yang merupakan konsep pembagian kerja. Parkinson merumuskan sejumlah prinsip
yang membantu menjelaskan bagaimana orang-orang dalam organisasi memanipulasi
unsur tersebut (1957).
Dalam
hukum Parkinson (Parkinson’s Law) ini
menyebutkan bahwa manajer, pekerja dan administrator mulai merasa kekurangan
tenaga karena kelelahan dalam kerja. Oleh sebab itu manajer perusahaan perlu
melakukan tiga pilihan: mengundurkan diri, berbagi kerja dengan kolega atau
meminta bantuan memiliki dua orang bawahan (parkinson dalam Pace and Wyne,
2002:51).
2. PROSES
SKALAR DAN FUNGSIONAL
Proses
ini berkaitan dengan pertumbuhan vertikal dan horisontal organisasi. Proses skalar ini menunjukkan
rantai perintah atau dimensi vertikal organisasi. Dengan penambahan sumber daya
manusia organisasi akan memberikan delegasi dan kewenangan atas tanggungjawab,
kesatuan perintah dan kewajiban pelaporan.
Pembagian
ini sesuai dengan pilar keempat teori manajemen klasik, bahwa pembagian kerja
dalam tugas-tugas lebih khusus akan menjadi unit-unit yang sesuai dengan
proses-proses fungsional dan ekspansi horisontal organisasi.
BENTUK KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
1. Management Information System
Misalnya: dengan menggunakan computer, data, informasi.
2. Telecomunication
Komunikasi dengan peralatan yang mana komunikator dan komunikan tidak
1. Management Information System
Misalnya: dengan menggunakan computer, data, informasi.
2. Telecomunication
Komunikasi dengan peralatan yang mana komunikator dan komunikan tidak
berhadapan langsung.
Misalnya: telepon, TV, e-mail, voice messaging, electronic bulletin board.
3. Non verbal communication
Pralinguistic, proxemics, kinesics, chronemics, olfaksi, tactile, artifactual.
4. Interpersonal communication
Komunikasi yang terjadi antar individu.
5. The organizational communication process
- instruksi atau komando
- laporan, pertanyaan, permintaan
- subsgroup dengan subsgroups
- staff
Misalnya: telepon, TV, e-mail, voice messaging, electronic bulletin board.
3. Non verbal communication
Pralinguistic, proxemics, kinesics, chronemics, olfaksi, tactile, artifactual.
4. Interpersonal communication
Komunikasi yang terjadi antar individu.
5. The organizational communication process
- instruksi atau komando
- laporan, pertanyaan, permintaan
- subsgroup dengan subsgroups
- staff
BENTUK KOMUNIKASI BERDASAR STRUKTUR
ORGANISASI
1. Superior - subordinate communication
Disebut juga downward communication yaitu komunikatornya adalah atasan
1. Superior - subordinate communication
Disebut juga downward communication yaitu komunikatornya adalah atasan
dan komunikasinya
adalah bawahannya.
Katz & Kahn menyebutkan 5 bentuk komunikasi downward, yaitu:
a. memberi tugas rinci - job instruction
b. memberi informasi tentang prosedur organisasi dan latihan-latihan.
c. memberi informasi tentang rastionale of the job yaitu alasan mengapa tugas
Katz & Kahn menyebutkan 5 bentuk komunikasi downward, yaitu:
a. memberi tugas rinci - job instruction
b. memberi informasi tentang prosedur organisasi dan latihan-latihan.
c. memberi informasi tentang rastionale of the job yaitu alasan mengapa tugas
tersebut harus
dilakukan
d. memberi tahu tentang kinerja anak buah
e. memberi informasi tentang ideologi organisasi (visi, misi) untuk memudahkan
d. memberi tahu tentang kinerja anak buah
e. memberi informasi tentang ideologi organisasi (visi, misi) untuk memudahkan
dalam mencapai tujuan organisasi.
Media yang digunakan adalah media tulis, media lesan, interaktif.
2. Subordinate - initiated communication
Disebut juga dengan upward communication yaitu komunikasi yang terjadi dari
Media yang digunakan adalah media tulis, media lesan, interaktif.
2. Subordinate - initiated communication
Disebut juga dengan upward communication yaitu komunikasi yang terjadi dari
bawahan ke atasannya.
Adapun bentuknya adalah:
a. Informasi pribadi tentang gagasan, sikap, peampilan kerja.
b. Informasi feedback tentang performance teknis, beberapa informasi penting
Adapun bentuknya adalah:
a. Informasi pribadi tentang gagasan, sikap, peampilan kerja.
b. Informasi feedback tentang performance teknis, beberapa informasi penting
lainnya.
3. Interactive communication
Komunikasi yang terjadi pada karyawan yang selevel.
Bentuknya adalah
a. Task coordination
b. Problem solving
c. Information sharing
d. Conflict Resolution
Beberapa faktor pada struktur organisasi yang berpengaruh pada pola komunikasi antara lain
a. ukuran
b. sentralisasi - desentralisasi
c. degrees of uncertainity
3. Interactive communication
Komunikasi yang terjadi pada karyawan yang selevel.
Bentuknya adalah
a. Task coordination
b. Problem solving
c. Information sharing
d. Conflict Resolution
Beberapa faktor pada struktur organisasi yang berpengaruh pada pola komunikasi antara lain
a. ukuran
b. sentralisasi - desentralisasi
c. degrees of uncertainity