Sabtu, 14 Agustus 2010

Meneroka Sejarah dan Perkembangan Pers di Riau

Sejarah dan perkembangan pers di Riau tidak luput dari sejarah Riau sendiri. Sejarah dan perkembangan pers di Riau dimulai dari Kerajaan Melayu Islam di Riau daratan, Riau Kepulauan dan Semenanjung Malaysia serta Singapura. Setelah mengalami pasang-surut sejarah dan perkembangan pers di Riau saat ini cukup mengairahakan terutama dengan banyaknya penerbitan dan besarnya oplah yang terbut di Riau. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa sejarah dan perkembangan pers di Riau tidak pernah terlepas dari budaya Islam yang menjadi dasar budaya melayu sendiri.
Awal Perkembangan.

Sejarah pers Riau sebenarnya tak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Melayu-Riau. Kerajaan Melayu ini dahulu menyatu dengan wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia), Singapura, Riau daratan dan kepulauaan Riau. Sehingga awal perkembangan Pers di Riau lebih diwarnai sistem pemerintahan di kerajaan dan masyarakat Melayu pada saat itu yakni budaya Islam.

Tonggak sejarah Pers di Riau dimulai pada tanggal 23 Juli 1906 dengan lahir pula majalah Al-Iman pimpinan seorang juruwarta keliling Kerajaan Melayu Riau-Lingga, bernama Radja ’Ali bin Radja Moehammad Joesoef Al-Ahmadi Yang Dipertoean Moeda Riau, atau dipanggil Raja Ali Kelana. Walaupun bukan penerbit pertama di Indonesia, namun Al-Iman termasuk majalah awal mula yang terbit dan menyampaikan semangat perjuangan di Indonesia.

Dalam pengelolaan Al-Iman dia bekerja-sama dengan seorang ulama asal Minangkabau, Sjech Moehammad Tahir Djalaloeddin Falaki, dan Haji Abbas bin Moehammad Thaha. Majalah ini sepenuhnya dikelola para alim-ulama dan cendekiawan Melayu, termasuk Hitam Chalid dan Said Syeich Ahmad Al-Hadi. Di samping itu juga tercatat nama Sjech Salim al-Kilali, seorang saudagar batik Cirebon.

Karena iklim dan kondisi politik kolonial Balanda di Indonesia pada waktu itu senantiasa mencurigai setiap kegiatan yang berbau pergerakan, majalah Al-Iman terpaksa dicetak di Singapura dan didistribusikan ke daerah Sumatera, Jawa, Tanah Semenanjung Malaya, dan di Singapura sendiri. Percetakan yang mengerjakan Al Iman bernama Al-Ahmadiyah Press milik himpunan cendekiawan kerajaan Melayu-Riau-Lingga, Rusydiyah Club. Percetakan ini konon mulanya didirikan oleh Syarikat Dagang Ahmadi milik Radja Ali Pulau asal Midai, Kepulauan Natuna, dengan nama Mathba’at Al Ahmadiyah, yang kemudian terkenal dengan Al Ahmadiyah Press, beralamat di Jalan Lord Minto No. 50, Singapura. Majalah AL Iman diterbitkan oleh Al Iman Printing Company Ltd., Singapura dengan menggunakan tulisan Jawi (Arab-Melayu).

Adapun tujuan dari penerbitan majalah ini adalah untuk menggalang rasa persatuan dan kesatuan di kalangan anak negeri (bumiputra) dalam menghadapi penindasan penguasaaan kolonial Belanda. Selain itu majalah ini meryupakan alat komunikasi dan penyampaiaan aspirasi masyarakat terhadap penjajahan di Indonesia,
Selain mengelola penerbitan Al-Iman Radja Ali kelana juga menerbitkan beberpa buku. Pada tahun 1898 Radja Ali kelana menerbitkan buku berjudul Perhimpunan Plekat, yang juga dicetak di Mathba’at Al Riauwiyah, Pulau Penyengat. Beberapa buku lain yang diterbitkan Radja Ali kelana adalah Kumpulan Ringkas Al Iman (1909), Bughyat al-Ani fi Huruf al-Ma’ani (1922), dan Rencana Madah (1926). 2)
Menjelang Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, atau 22 tahun setelah kehadiran Al Iman, di Singapura terbit pulamajalah MASA yang dikelola para pengarang asal Riau, Radja Moehammad Joenoes Ahmad Riauwi dan Farid Djamil Moeda. Majalah yang terbit setiap awal bulan Arab dan menggunakan tulisan Arab-Melayu (Jawi) ini dicetak pada percetakan Mathba’at Djamiliyah Farid Djamil Moeda di Jalan Sulaiman No. 19, Muar, Johor.

Majalah berformat 30 x 20 cm. ini memuat aneka berita, riwayat, sejarah, dan pengetahuan umum. Dalam edisinya 16 Mei 1934, Tahun VI, di halaman 43, MASA memuat berita tentang lagu Indonesia Raya yang dilarang oleh penguasa Kerajaan Hindia Belanda (Nederlans Oost Indie). Ditulisnya bahwa lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan dengan mulut (suara), kecuali hanya dengan musik saja. 30

Masa Penjajahan Jepang
Pada tahun 1944 masa penjajahan Jepang, di Pekanbaru terbit sebuah media mingguan propoganda Jepang Riau Kobo yang dikelola badan propoganda Jepang, Seng Deng. Mingguan ini dikelola dengan memanfaatkan tenaga seorang wartawan Indonesia yang aktif dalam gerakan kemerdekaan, bernama Sboe Bakar Abdoeh. Pada tahun yang sama terbit pula majalah Fajar Asia di Syohnan To (Singapura). Majalah ini berisi artikel feature dalam bahasa Indonesia sebagai propoganda Jepang tentang Asia Timur Raya. Di samping sebagai media propoganda Jepang, majalah ini juga dimanfaatkan para wartawan muda Indonesia dan Semennanjung Malaya untuk kmenyalurkan aspirasi mereka tentang kemerdekaan. Mereka terinspirasi dan terangsang oleh kebangkitan kaum muda Mesir dan Timur Tengah.

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II (1945) terbit pula majalah bulanan Kenchana, yang bertujuan untuk persatuan Melayu Raya Indonesia dan Semenanjung Malaya. Majalah yang diterbitkan di Singapura ini ditangani oleh Harun Aminurrashid, Naz Achnas dan Amir Haji Omar, dan diisi oleh banyak jurnalis Melayu dari Riau dan para penulis dari Indonesia. Sebagaimana umumnya media yang mengandung misi perjuangan waktu itu, majalah Kenchana pun tidak berumurn panjang. Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, majalah inipun tak terbit lagi.
Selain penerbitan yang sudah ada di Pekanbaru terbit pula surat kabar Pekanbaru Shimbun yang dikelola sendiri oleh orang-orang Jepang sebagai alat komunikasinya.

Masa Kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan Indonesia koran Riau Koho diambil-alih oleh para pemuda pejuang namanya mereka ganti menjadi Perdjoeangan Kita. Pimpinan redaksinya dipegang oleh Aboe Bakar Abdoeh yang tadinya mengasuh surat kabar Riau Koho bersama Jepang. Perdjoeangan Kita mempunyai sasaran untuk membangkitkan semangat para pemuda pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Koran ini diterbitkan dengan tiras 3000 eksemplar, suatu angka yang cukup besar untuk ukuran zaman revolusi itu.
Waktu Agresi Belanda II (1948-1949) di Pekanbaru terbit koran stensilan Perintis. Walaupun bentuknya sangat sederhana dan sirkulasinya terbatas, koran ini telah berjasa besar dan sangat berperan dalam membangkitkan semangat perjuangan anak bangsa di Kota Bertuah ini.

Pada masa perang gerilia di daerah pengungsian, yakni kampung Dua Pelanduk, Tanjung Palas, pedalaman Dumai di pantai timur Sumatera, lahir pula mingguan stensilan Republiken. Mingguan ini dikelola oleh Nurdin sebagai Pemimpin Redaksi dan Sersan Mayor CPM Nahar Efendy sebagai Penanggung Jawab.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI 27 Desember 1949, di Riau terbit beberapa surat kabar harian atau mingguan. Tidak hanya di kota-kota kabupaten seperti Pekanbaru, Tanjung Pinang dan Rengat, tapi merambah sampai ke ibukota kewedanaan dan kecamatan. Peluang suasana liberal semasa Republik Indonesia Serikat (RIS), yang setahun kemudian (27 Desember 1950) diutuhkan kembali oleh Bung Karno menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), betul-betul dimanfaatkan oleh para praktisi pers Riau yang sudah mulai membentuk jati dirinya sejak awal abad itu.
Pada tahun 1950 di Tanjung Pinang terbit media stensilan empat halaman bertajuk Bulletin IPPI pimpinan Korengkeng. Lima tahun kemudian bulletin ini berganti baju menjadi Sari Pers, diasuh orang yang sama dan juga di reproduksi secara stensilan empat halaman. Media yang kedua ini bertahan sampai tahun 1957.

Tahun 1954, di Bagansiapiapi terbit surat kabar stensilan Pewarta Kita sebagai penyeimbang dari tiga koran beraksara Cina dan berbahasa Mandarin (juga stensilan) yang di terbitkan oleh tiga kelompok etnis Tionghoa berbdea ideologi di kota tersebut. Koran pertama berkiblat ke Peking (Republik Rakyat Tiongkok yang berpaham Komunis yang atau lazim disebut kelompok go kak atau ”bintang lima”). Yang kedua berkiblat ke Taiwan (Kwo Min Tang, atau Cina Nasionalis, dikenal sebagai kelompok cap ji kak atau ”bintang 12”), dan yang ketiga adalah milik WNI keturunan yang bernaung dibawah panji-panji partai Baperki, yang diketuai Siauw Giok Tjhan.

Pewarta Kita, surat kabar pertama dan satu-satunya koran berbahasa Indonesia yang terbit di Bagansiapiapi saat itu, diasuh oleh suatu generasi multi usia dengan aneka latar belakang. Mereka adalah A. Baza alias Pak Benggol (pensiunan bea cukai), Dollah Achmad (pensiunan polisi), M. Arsyad dan Djohan Joenoes (karyawan Bank Rakyat Indonesia), A. Togo Hanafie (tokoh pemuda), dan Moeslim Roesli (wartawan Harian Warta Berita dan majalah WAKTU, Medan).

Pada tahun 1956, di Pekanbaru terbit suratkabar mingguan Kumandang pimpinan B.M. Thahar yang nada pemberitaan dan tajuk rencananya cenderung merupakan terompet gerakan Dewan Banteng di Sumatera Tengah. Di tahun yang sama, di Selatpanjang, terbit sebuah mingguan yang dipimpin oleh trio A.Manan Thalib, seorang seniman, A.Gaffar Noor, jebolan Akademi Wartawan Effendi Harahap Institute di Medan yang pernah menulis untuk koran Padang Nippo di Padang pada zaman Pendudukan Jepang (Perang Dunia II), dan Idris Rajiman, seorang penulis tempatan. Mingguan stensilan ini cuma terbit selama setahun saja.

Setahun kemudian terbitlah mingguan Bahtera, pimpinan Abdoel Moeis Hadjads, sebagai pendukung perjuangan pembentukan Provinsi Riau yang ingin berpisah dari Provinsi Sumatera Tengah. Kedua media tersebut sama-sama dicetak di Padang, karena Pekanbaru belum memiiliki unit percetakan yang sanggup mencetak koran ukuran plano. Sirkulasi dan distribusi kedua koran tersebut meliputi wilayah Keresidenan Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Waktu itu ketiga wilayah masih berada dalam kawasan Provinsi Sumatera Tengah, dengan ibukotanya Bukittinggi, yang kemudian dipindahkan ke Padang.
Pada tahun 1958 lahir pula mingguan Taruna yang juga dicetak di luar daerah. Koran Kumandang, Bahtera, dan Taruna berhenti terbit akibat terjadinya peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada awal 1958. 11)

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), di Riau terbit koran-koran Riau Pos (1959), Sinarmasa (1961), Suluh Riau, Gotong Royong, Duta Riau, dan Obor (1962). Kemudian menyusul pula Teladan Minggu dan Angkatan Bersenjata edisi Tanjung Pinang (1963).

Pada bulan Maret 1959 terbitlah suratkabar mingguan Riau Pos empat halaman, yang dicetak di Jakarta. Koran ini dimotori oleh Letnan Kolonel (pur). Hassan Basri, bersama Wan Sulung (Selatpanjang), dan Tengku Marhaya (Pekanbaru). Kru Riau Pos terdiri dari Abu Hasyim K. sebagai Pemimpin Umum, serta Zoechrij Lilith dan G.N.T. Ilyas sebagai redaksi. Riau Pos pertama ini terbit dengan izin Penguasa Perang Daerah (Peperda) Swatantra Tingkat I Djakarta Raya. Riau Pos ini merupakan koran Riau yang punya dua ”markas” (Pekanbaru dan Jakarta), Koran ini menyandang sebuah trilogi semboyan: ”mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945

Karena berbagai kendala, terutama jarak yang sangat jauh antara kedudukan redaksi Riau Pos dengan lokasi pecetakan, masalah transportasi dan distribusi, serta kesulitan teknis lainnya, koran milik Letkol. Hassan Basri ini akhirnya terpaksa juga menyerah kepada keadaan, dan mengistirahatkan diri sejak 1961.
Kekosongan media yang ditinggal oleh kepergian Riau Pos ini kemudian langsung diisi oleh kelahiran koran Sinarmasa yang terbit pada 1961. pengelolanya adalah Wan Sjafroeddin Idroes (Pemimpin Umum), A. Moeis Hadjads (Pemimpin Redaksi), Boestamam Halimy (Wakil Pemred), serta Mawardittam dan A. Rahman Junus (redaksi). Mulanya koran ini terbit tiga kali seminggu, berupa stensilan 16-20 halaman, dengan oplah beberapa ratus eksemplar saja. Kemudian ia tampil dalam format plano empat halaman, dicetak di Padang, dengan frekuensi terbit menjadi mingguan. Mereka dibantu dengan karya karikatur goresan Tenas Effendy, dan berita-berita lokal oleh wartawan RRI Zainal Abbas, Marlis Ramali, dan Arisun Agust.

Koran Riau berikutnya yang memperoleh SIT (Surat Izin Terbit) dan SIPK (Surat Izin Penerbit Koran) adalah suratkabar Obor. Walaupun SIT-nya harian tapi hanya mampu terbit dua sampai tiga kali seminggu. Inilah surat kabar pertama dan satu-satunya yang dicetak setempat waktu itu di Pekanbaru. Format-nya adalah tabloid (setengah plano) dengan ketebalan 8 sampai 12 halaman dan dikerjakan pada Percetakan Otonom milik Pemerintah Kebupaten Kampar, di Pekanbaru. Sebelum pindah ke Bangkinang ibukota Kabupaten Kampar berikut kedudukan Bupati dan seluruh perangkatnya berada di Pekanbaru. Lokasi Percetakan Otonom waktu itu persis di sudut Jalan Riau dengan Jalan Mawar, Pekanbaru. Percetakan ini sudah sangat tua, konon bikian tahun 1890. seluruh hurufnya masih disusun dengan tangan (handzet), mulai dari judul sampai ke semua naskah berita. Puluhan, bahkan ratus ribu huruf harus disusun huruf demi huruf, baris demi baris dan kolom demi kolom untuk setiap penerbitan.

Surat kabar Riau lainnya yang terbit pada era ini adalah harian pagi Suluh Riau di bawah asuhan M. Ali Rasahan, Eddy Mawuntu, dan Soedirman Backry (1962-1965) yang terbit di Tanjungpinang, disusul oleh majalah bulanan budaya stensilan Sempena, juga terbit di Tanjungpinang dengan pengelola H. Soedirman Backry, Samsulkamar A.H., Rona Sjuib, dan Rossanjoto (1962-1967) Pada tahun yang sama (1962) di Pekanbaru lahir pula mingguan stensilan Gotong Royong asuhan Burhanuddin Ajam dan Mawardiittam, dan koran minggu Duta Riau cetakan Medan yang digarap oleh Muhammad S. dan Busra Algerie.

Pada saat-saat kritis menjelang pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI), di Riau terbit lagi lima surat kabar, yakni Teladan Minggu di Tanjung Pinang (1963), Angkatan Bersenjata edisi Tanjungpinang (1963-1964), Demokrasi (1964-1965), Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru (1964-1968), dan Berita Rumbai (1965).
Selain Obor (1962-1966) dan Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru (1964-1968) koran-koran pada era Demokrasi Terpimpin ini tak ada yang berusia lanjut. Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru yang dipimpin Perwira Penerangan Korem 031/Wirabima, Kapten Zuhdi, merupakan koran pertama berukuran plano yang di cetak di Pekanbaru, menggunakan unit Percetakan ’Daya Upaya hasil perjuangan mati-matian PWI Cabang Riau. Unit percetakan tersebut ditampatkan di Jalan Kuantan Raya 101, yang pernah menjadi ”markas” Harian Riau Pos sebelum menempati gedung sendiri di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang (sekarang H.R. Subrantas) KM 10 1/2, tanggal 5 Maret 1997.

Masa Orde Baru
Selama 12 tahun pertama Orde Baru (1966-1978), di Riau hampir tidak sebuahpun suratkabar yang berhasil hidup, selain organ resmi humas Pemda Provinsi, yakni Gema Riau. Memang pernah terbit sebuah majalah kanak-kanak , Nenek Kebayan, sebuah mingguan, Sempana, serta dua majalah budaya, Solarium dan Canang, tapi sayang tak satupun yang berumur panjang.

Gema Riau diterbitkan oleh Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur, setelah Kolonel Arifin Achmad memangku jabatan Gubernur Riau menggantikan Brigjen. Kaharoedin Nasoetion di penghujung 1966. Pada mulanya Gema Riau terbit hanya berupa stensilan satu halaman ukuran kuarto. Distribusinya terbatasuntuk para pejabat dan kantor-kantor Pemerintah, ditambah beberapa anggota masyarakat yang berminat saja. Pada bulan September 1967, Arifin Achmad merekrut Drs. Rustam S. Abrus (alm.), untuk menjadi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur Riau. Waktu itu dia masih wartawan harian Duta Masyarakat di Jakarta.

Surat kabar organ resmi Pemda Riau Gema Riau sempat bertahan sampai tahun 1980-an, dengan mengalami beberapa kali regenerasi pengelola sesuai dengan pergantian pejabat Humas Pemda. Demikian juga stafnya mengalami beberapa kali penggantian dan penambahan sesuai kebutuhan. Peran Gema Riau ini kemudian digantikan oleh mingguan Warta Karya (1987) pada era Gubernur Imam Munandar dengan Kepala Biro Humasnya Drs. Aparaini Rasyad.

Melanjutkan misi dan peran Gema Riau yang sempat eksis di Bumi Lancang Kuning selama hampir 20 tahun, Imam Munandar mendukung ide penerbitan koran baru tersebut. Malah konon dia sendiri yang memilih nama Warta Karya, dengan penerbitnya Yayasan Penerbit dan Percetakkan Pers ”Riau Makmur” yang juga dipimpin oleh Imam Munandar. Pengelolanya adalah Sekwilda Riau Ir. Firdaus Malik, sedang Pemimpin Redaksi dijabat oleh drs. Asparaini Rasyad, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur Riau.

Namun dalam Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tertanggal 22 September 1987, sebagai pengganti Surat Izin Terbit (SIT) Gema Riau, disebutkan bahwa para pengelola Warta Karya adalah Drs. Asparaini Rasyad (Pemimpin Umum), Zoechrij Lilith (Pemimpin Redaksi), dan Drs. Ruskin Har (Pemimpin Perusahaan).

Baru berjalan kurang dari setahun, penerbitan ini sudah mengalami kemacetan akibat kelemahan manajemen, padahal dukungan dana Pemda Riau cukup tersedia. Mingguan Warta Karya ternyata bernasib sama dengan pendahulunya, yang akhirnya terpaksa menghentikan penerbitan.

Awal Mulanya Riau Pos
Ketika Gubernur Riau di pegang oleh Soeripto, pertama sekali, dia memutuskan untuk menghidupkan kembali media pemda, dengan semangat baru, para pengelola baru, dan bahkan nama baru. Maka diajukannyalah permohonan penggantian SIUPP dari Warta Karya menjadi Riau Pos, dengan para pengasuhnya Zuhdi SH sebagai Pemimpin Umum merangkap Pemimpin Redaksi, dan J.K. Aris (Pemimpin Perusahaan). Dengan diperolehnya persetujuan Menteri Penerangan tertanggal 28 Agustus 1989, maka mingguan Riau Pos pun mulai beredar dengan melanjutkan nomor edisi Warta Karya sebelumnya.

Setahun kemudian Riau Pos kembali bernasib sama dengan pendahulunya, yakni mengalami kemacetan karena lemahnya sistem pengelolaan (manajemen). Kemudian Riau Pos dikelila oleh Rida K. Liamsi, mantan pengasuh GeNTA yang hijrah ke harian Suara Karya Jakarta. Dibawah komando Rida K Liamsi Yayasan Penerbit Riau Makmur, pengayom Riau Pos, akhirnya berhasil menemukan mitra usaha baru Jawa Pos Group’ dari Surabaya. Kerjasama ini terjalin berkat jasa wartawan senior Dahlan Iskan, kolega Rida dari majalah berita mingguan TEMPO, Jakarta.

Bulan Juni 1990 tercapailah kesepakatan resmi antara YPP ’Riau Makmur’ dengan ’Jawa Pos Group’. Dan mulai tanggal 17 Januari 1991, Riau Pos pun mulai merajut sejarah barunya sebagai koran harian pertama di Riau. Sampai sekarang kemitraan itu sudah berjalan lebih 16 tahun. Dan kini Riau Pos sudah berkembang biak dan beranak pinak menjadi 12 media cetak (11 koran dan satu majalah), dua media elektronik (TV), enam unit perangkat cetak koran, sedang jangkauannya telah menggurita, menggapai sampai ke empat provinsi yakni Riau, Kepri, Sumatera Utara, dan sumatera Barat.

Tahun 1998 merupakan tonggak sejarah baru bagi pertumbuhan pers perjuangan di indonesia, lebih-lebih di Riau. Seiring terbukanya pintu reformasi untuk mendirikan partai-partai baru, media cetakpun muncul bak cendawan tumbuh. Sejak saat itu dunia penerbitan Riaupun ikut gegap gempita dengan kelahiran sejumlah penerbitan baru. Pertumbuhan pers Riau betul-betul booming sejak 1998. Puluhan koran harian, mingguan dan majalah lahir silih berganti. Beberapa di antaranya ada yang reinkernasi dengan gonta ganti nama.
Dalam tahun pertama reformasi (1998) terbit tabloid mingguan Pantau, majalah berita Tema, tabloid berita Azam, majalah budaya Sagang, semua di Pekanbaru, dan harian Lantang di Batam. Tahun berikutnya (1999) muncul pula majalah bulanan Madani, tabloid berita Mediator Solusi, harian Suara Kita, harian Media Riau, majalah Utama, harian Pekanbaru Sore, dan mingguan Cahaya Riau di Pekanbaru, serta mingguan Serantau di Tanjungpinang. Cuma sayang umumnya tidak mampu bertahan lama, kecuali Sijori Pos, Azam, Lantang, Media Riau, dan Sagang. Suara Kita yang kemudian berganti nama menjadi Suara Riau, tadinya diperkirakan bakal bertahan lama, dan bisa menjadi pesaing Riau Pos. Tapi ternyata hanya bertahan dua tahun.

Tahun 2000 nafsu menerbitkan koran malah kian menggebu-gebu. Waktu itu tampil pula harian Riau Mandiri, Riau Express dan Sijori Mandiri yang didukung modal yang cukup kuat, serta sejumlah tabloid mingguan

5 komentar:

  1. tulisan yang bagus. terima kasih resumenya ya pak.

    saya rijalallah mahasiswa bapak di komunikasi IIA.

    BalasHapus
  2. Terima kasih pak, atas informasinya mengenai Sejarah dan Perkembangan Pers di Riau...

    Saya Hendra Yunata, Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, dan saya Mahasiswa bapak di Lokal Komunikasi 2 A...

    BalasHapus
  3. tulisan ini sangat informatif. Namun akan lebih berguna bila dicantumkan sumbernya :)

    BalasHapus
  4. Terimakasi pak tulisan ini memberi saya informasi yang sangat menarik tentang pembahasan yang saya bahas saat ini.

    Saya mahasiswi bapak kelas 2 C komunikasi

    BalasHapus
  5. terimakasih pak , tulisan ini sangat bagus , adakah buku referensi yang memuat menegnai sejarah surat kabar di pekanbaru pak ?

    BalasHapus

Organisasi dan Komunikasi Organisasi

Komunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling serin...