Pemilihan Umum (pemilu) di Indonesia telah terjadi pergeseran setelah reformasi bergulir pada tahun 1998. Pergeseran pelaksanaan pemilu yakni terjadinya pemilihan langsung Presiden dan wakil presiden pada pemilu pemilu 2004. Bahkan pada pemilu 2009 ini melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, aspirasi masyarakat langsung diserap melalui suara terbanyak dalam menentukan kursi di legislatif. Ini semakin menunjukan bahwa kedaulatan rakyat di Indonesia telah dikembalikan secara langsung kepada rakyat Indonesia sendiri. Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu.
Menurut Mariam Budiarjo, hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi masyarakat. Sehingga pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi tersebut (Mariam Budiardjo ; 2008).
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 2 ayat (1) menytakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi yang dilakukan saat ini di Indonesia sesuai dengan definisi demokrasi yakni suatu bentuk partisipasi dalam kehidupan politik pada suatu masyarakat (Orlando Patterson dalam Warren 1999, 158).
Perwujudan kedaulatan rakyat dimaksud dihasilkan melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Dalam Pasal 22 E ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Lebih lanjut dijelaskan Undang-undang (UU) Republik Indoensia Nomor 10 Tahun 2008 Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam penyelenggaraan pemilu ini, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk dan berwawasan kebangsaan, partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin baik untuk tingkat nasional maupun daerah, serta untuk rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara. Oleh karena itu, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Selain itu, untuk mengakomodasi aspirasi keanekaragaman daerah, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan yang memenuhi persyaratan dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD.
Sementara itu dalam pemilu ada beberapa persoalan yang sangat esensial yang timbul selama proses tersebut. Persoalan itu antara
1.Persepsi dan multitafsir atas regulasi atau Undang-Undang mengenai pemilu,
2.Persoalan pemilihan kepala daerah yang belum terselesaikan dan dapat mengimbas ke pemilihan legislatif dan eksekutif,
3.Persoalan politik di sejumlah daerah yg memang rawan persoalan,
4.Masa kampanye panjang yang dapat menyebabkan kekacauan ancaman ketertiban, kenyamanan dan keamanan social,
5.Gugatan selisih hasil pemilu yang merupakan pola memperoleh kemungkinan kekuasaan
6.Politik uang sebagai modus memenangkan pertarungan dlm pemilu
Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni :
1.Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri.
2.Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality),
3.Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih.
4.Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih.
5.Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004).
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu.
Sejarah telah memperlihatkan bahwa sejak pemilu pertama di Indonesia tahun 1955 sampai pemilu tahun 1982 pengawasan dalam pemilu belum ada. Ini membuktikan bahwa belum adanya kepedulian masyarakat dan pemerintah tentang pentingnya pengawasan dalam pemilu. Regulasi pada masa Orde Lama maupun Orde Baru menurut Arbi Sanit (1997) menganut falsafah kekuasaan tradisional, yakni terdapatnya niat pemerintah sebagai pola hubungan kekuasaan dalam proses pengawasan pemilu, dimana pemilu diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai pelaksananya (prinsip pengawasan internal).
Kepedulian pengawasan dalam pemilu baru dilaksanakan pada tahun 1980. Penguasa pada saat itu segera membentuk badan pengawas pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Lembaga yang diberi nama Panitia Pengawasan Pelaksana (Panwaslak) ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya. Panwaslak sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR.
Secara teoritis pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan (Sondang P.Siagian). Selain itu definisi pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak (Suyamto).
Adapun fungsi pengawasan secara teoritis berfungsi sebagai:
1.Eksplanasi, pengawasan menghimpun informasi yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program yang dicanangkan berbeda.
2.Akuntansi, pengawasan menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.
3.Pemeriksaan, pengawasan membantu menentukan apakah sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen tertentu memang telah sampai kepada mereka. dan
4.Kepatuhan, pengawasan bermanfaat untuk menentukan apakah tindakan dari para administrator program, staf dan pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator, instansi pemerintah dan atau lembaga profesional.
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004 serta 2009. Namun dari sepuluh kali pemilu baru pada tahun 1982 ada lembaga pengawasan. Artinya pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu baru menyadari pentingnya pengawas pemilu. Ada beberapa model pengawasan yang pernah dilaksanakan di Indonesia.
1. Model Pengawasan Pemilu bagian Kejaksaan Agung
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (PANWASLAK) sebagai pengawas pemilu internal ini baru diperkenalkan menjelang pemilu Orde Baru ke-3 dalam UU No. 2 tahun 1980 tentang perbaikan kedua kalinya UU No. 15/1969 tentang Pemilu anggota DPR/MPR. Perubahan ini lahir sebagai kekurang-efektifan parlemen karena dihasilkan pemilu tanpa pengawasan, dan kesulitan pemerintah dalam menghadapi krisis minyak, telah memaksa pemerintah dalam memenuhi kebutuhan terciptanya dukungan masyarakat kepada mereka.
Keberadaan PANWASLAK merupakan organ pengawasan yang dibentuk oleh Panitia Pemilu di Indonesia (PPI). Lembaga ini dipimpin langsung oleh Jaksa Agung dan birokrasi sipil serta militer bertindak sebagai pelaksana lapangannya PANWASLAK dibentuk ditiap Panitia Pemilu mulai dari pusat hingga kecamatan. Komposisi keanggotaannya diambilkan dari unsur pemerintah, Golkar, PPP, PDI, dan ABRI.
PANWASLAK bertugas melakukan pelaksanaan terhadap pemilu anggota-anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II dalam wilayah kerjanya masing-masing, sesuai dengan tingkatannya dan bertanggung jawab kepada Ketua Panitia Pemilihan/Panitia Pemungutan Suara yang bersangkutan.
Struktur yang digunakan adalah bahwa pada PPI, PPD I, PPD II dan PPS masing-masing dibentuk:
1.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Pusat yang selanjutnya disebut PANWASLAKPUS;
2.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I yang selanjutnya PANWASLAK I ;
3.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II yang selanjutnya disebut PANWASLAK II ;
4.Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan yang selanjutnya disebut PANWASLAKCAM.
Berdasarkan struktur dan mekanisme seperti di atas, dalam penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru, terlihat jelas bahwa peran pemerintah memang sangat dominan. Struktur keorganisasian Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang pimpinannya terdiri dari para menteri dan pejabat tinggi negara dengan diketuai Menteri Dalam Negeri. Hal yang sama terlihat dalam panitia pemilihan, mulai dari tingkat pusat (Panitia Pemilihan Indonesia) sampai pada tingkat daerah (Panitia Pemilihan Daerah I dan II), mencerminkan hal tersebut. Struktur organisasi seperti itu terlihat pula pada panitia pengawas, baik di pusat (Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu Pusat - PANWASLAKPUS) yang diketuai Jaksa Agung maupun di daerah (Panwaslakda) yang secara ex-officio dipegang oleh aparat kejaksaan di wilayah masing-masing. Bahkan, di dalam struktur pelaksana pemilu terendah (tingkat desa/kelurahan), yaitu Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih), semangat anggotanya juga terdiri atas unsur pemerintah. Tak berlebihan bila sementara kalangan akhirnya menyebut pemerintah sebagai pelaksana tunggal berbagai pemilu Orde Baru.
Pengawasan pelaksanaan pemilu Indonesia selama Orde Baru menjadi wewenang PANWASLAK. Seluruh tahap kegiatan penyelenggaraan pemilu yang mencakup 12 tahap kegiatan sesuai dengan UU Pemilu diawasi oleh PANWASLAK. Lembaga ini sendiri merupakan salah satu badan dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang telah ditetapkan oleh UU sebagai satu-satunya lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu.
Kegiatan PANWASLAK yang terdiri dari semua unsur termasuk ketiga OPP sasarannya menerima laporan dari masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu. Masyarakat tak boleh terlibat dalam tugas pengawasan ini, kendati boleh memberikan masukan-masukan atas penyelenggaraan pemilu. Singkatnya, PANWASLAK merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang melakukan pengawasan pelaksanaan pemilu. Pengawas-pengawas lain di luar PANWASLAK tidak punya landasan hukum untuk melakukan pengawasan. Jaksa Agung Singgih selaku ketua PANWASLAK di penghujung Orde Baru (pemilu 1997) menegaskan masyarakat dilarang melakukan pengawasan dari alam TPS. Kalau memaksa diri akan berhadapan dengan pihak keamanan, karena wewenang pengawasan pemilu Orde Baru hanya dimiliki PANWASLAK.
PANWASLAK sendiri kemudian juga membuka Kotak Pos 6000 untuk menerima segala bentuk pengaduan pelanggaran pemilu. Jika melihat kecurangan, masyarakat memang diberi hak lapor ke PANWASLAK atau Kotak Pos 6000 yang disediakan menampung ketidakpuasan pemilu. Tetapi, mereka dilarang memberi statemen macam-macam yang dapat menganggu ketertiban umum. Bila hal itu dilakukan, aparat akan bertindak tegas. Kondisi ini diperparah dengan terdapatnya banyak pasal yang tak ada sanksi hukumnya dalam UU No. 1/1985. Ketentuan pidana dalam pelanggaran pemilu hanya pada pelanggar pasal 26, 27, 28 dan 29, sedangkan pelanggaran terhadap pasal lain tak ada ketentuan sanksi hukumnya. Padahal pada pasal-pasal tanpa ketentuan sanksi inilah justru paling banyak dilakukan pelanggaran. Padahal pula penyimpangan pemilu jika diterjemahkan sebagai perilaku birokrasi justru sekitar 60% (177 dari 296 kasus) pelanggaran dalam pemilu 1992 misalnya, adalah dilakukan oleh Lurah/Kepala Desa dan aparat-aparatnya. Selain itu, Ketua PANWASLAK yang selalu dijabat Jaksa Agung adalah kader bahkan pengurus Golkar, maka independensi PANWASLAK semakin sulit didapatkan selama masa pemilu di Orde Baru.
Keberadaan pengawas yang bersifat struktural tunjukkan pemerintah yang telah terdistorsi, dan menghilangkan hak serta kedaulatan rakyat, maka muncul aspirasi dalam masyarakat menjelang pemilu 1997 untuk membentuk lembaga pengawas pemilu independent. Karena, apabila diadakan secara struktural terlebih dahulu harus mengubah undang-undang. Dengan mekanisme itu rakyat dapat menjadi pengawas yang dibuktikan dengan kewajiban memperlihatkan kotak setelah diisi kepada yang hadir. Kalau anggota yang terorganisir dalam lembaga independent ini juga ikut mengawasi maka bila ada tingkah laku yang terbukti tidak benar bila menggunakan jalur organisasi untuk mengadu ke LPU atau pengadilan. Namun, pemerintah keberatan terhadap munculnya lembaga independent ini, karena mungkin ada anggapan lembaga tersebut akan ikut campur atau dianggap sebagai wujud tidak mempercayai pemerintah.
2.Model Pengawasan Bagian Masyarakat
Berawal dari lontaran isu yang dilemparkan oleh PPP, yang akan membentuk Lajnah (lembaga pengawas) pemilu hingga ke tingkat kecamatan, menjelang pemilu 1997, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Bandung nekad mendirikan Lembaga Independen Pemantau Pemilu (LIPP) yang akan mengawasi pelaksanaan pemilu sejak pendaftaran pemilih sampai pengumuman perhitungan suara. Pendirian lembaga pengawas yang dideklarasikan di Bandung itu ternyata mendapat sambutan cukup luas dari para aktifis LSM, aktifis mahasiswa dan LBH di 10 propinsi lainnya di Indonesia.
Tak berselang lama, lahirlah KIPP (Komite Independen Pengawas Pemilu) yang dimotori oleh Goenawan Muhammad. Landasan filosofis didirikannya KIPP ini adalah realitas bahwa pemilu telah banyak dikotori dengan kecurangan dan manipulasi, hak rakyat diabaikan. Kelahirannya adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan demokrasi baru yang lebih baik, sehingga KIPP diorientasikan untuk membangun kepercayaan rakyat bahwa mereka bisa bekerja untuk perbaikan.
Gayung pun bersambut atas kehadiran LIPP dan KIPP, sejumlah tokoh yang dipelopori oleh Luhut Sitompul, Kristiya Karatika, Suryo Susilo, Petrus Bala Pattyona, Doni Antares Irawan, Sophar M. Hutagalung, Usmar Apriyanto, dan M. Umar Wiranata, membentuk Tim Obyektif Pemantau Pemilu (TOPP). Institusi ini bersifat independen guna mendukung peran, posisi, serta fungsi PANWASLAK sebagai lembaga resmi yang berwenang melakukan pengawasan.
TOPP mencoba turut serta meningkatkan optimalisasi kualitas keja PANWASLAK, dengan memberikan masukan ide yang berkembang, baik dari hasil pemilu maupun aspirasi masyarakat.Sontak, pro-kontra sekitar kelahiran badan pemantau pemilu independen (partikelir) mengemuka ke publik secara luas. Kecaman dan pujian datang dari penjuru pihak atas ekstensi mereka. Namun, simpulan yang bisa diambil dari kelahiran mereka adalah memuncaknya ketidakpuasan rakyat terhadap eksistensi PANWASLAK yang sangat tidak independent, juru bicara partai penguasa dan cenderung memandulkan aspirasi serta kedaulatan rakyat. Lebih dari itu, kelahiran pengawas pemilu partikelir merupakan cermin kehendak rakyat waktu itu untuk segera terciptanya perubahan!
Kecurigaan besar, intimidasi dan sikap keras kepala dari penguasa Orde Baru beserta para pendukungnya, telah menjadikan keberadaan pemantau independent di atas kurang mendapatkan sambutan besar dari masyarakat luas. Namun, eksistensi dan kiprah mereka sebagai “lembaga tanding” dari PANWASLAK bentukan pemerintah dalam pemilu 1997 harus diakui membawa pencerahan dan perubahan besar untuk menumbuhkan kekuatan kritis masyarakat dalam mengontrol kekuasaan.
Pada pemilu pertama di era reformasi 1999, kondisi PANWASLAK dan keterbatasan posisi, peran dan fungsi pengawas (pemantau) pemilu independent seperti , KIPP, LIPP maupun TOPP, seperti yang terjadi disepanjang era kekuasaan Orde Baru, tidak lagi ditemukan. Keberadaan lembaga pengawas pemilu sudah tidak lagi menjadi monopoli pemerintah. Banyak sekali lembaga pengawas pemilu yang melakukan pemantauan secara mandiri, diantaranya adalah; KIPP, JAMPPI, UNFREL, Forum Rektor, YAPPIKA, WALHI, dan JPPR.
3. Model Pengawasan Pemilu Bagian Makamah Agung (MA)
Pemilu 1999 lalu memang terbilang istimewa, sebab untuk pertama kalinya tugas pengawasan pemilu diserahkan kepada lembaga yudikatif, yakni Makamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya. Pemilu 1999 memposisikan tanggung jawab pengawasan formal pada yudikatif, dalam wewenangnya untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas), sebagaimana diamanatkan pasal 24 UU No.3/1999. Panwas adalah institusi yuridis yang diberi tanggung jawab dan kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan memonitor proses pelaksanaan pada setiap tahapan pemilu guna menjamin terselenggaranya pemilu jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. Makamah Agung (MA) dan jajaran di bawahnya yaitu Pengadilan Tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN), sangat berperan dalam proses pelaksanaan pemilu 1999 lalu, karena disamping membentuk Panwas, yudikatif juga menempatkan personelnya dalam kepengurusan Panwas.
Banyak pihak mengakui bahwa pemilu 1999 telah berlangsung relative lebih langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER), lebih jujur dan adil dibandingkan penyelenggaraan pemilu di era Orde Baru dalam kapasitasnya sebagai lembaga pengawasan pemilu pertama yang non partisipan, Panwas bersama-sama Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Panitia Pemilihan Indonesia, dapat dikatakan menjadi “tonggak sejarah” pelaksanaan pemilu di Indonesia, karena untuk pertama kalinya pasca hegemoni Orde Baru, bangsa Indonesia dapat melaksanakan pemilu dan penggunaan hak-haknya dengan baik, tanpa harus ditekan atau didintimidasi oleh pihak-pihak manapun.
Namun, harus diakui bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada lembaga Panwas. Panwas sebagai lokomotif pengawasan kerap kali disalahkan karena keterbatasannya, sehingga sejumlah pihak masih memandang sebelah mata eksistensi dan kinerjanya. Mulyana W. Kusumah (1999) menyatakan bahwa keterbatasan Panwas pada pemilu 1999 disebabkan karena Makamah Agung tidak efektif dalam menjalankan fungsi pengawsan yang diberikan padanya, sehingga perlu dilakukan revisi dalam pemberian fungsi pengawasan kepada MA tersebut. Selain itu, Alan Wall, Manajer Proyek Internasional Foundation for Election Systems (IFES) menyatakanbahwa dalam pengalaman internasional, sungguh-sungguh tidak biasanya MA (yudikatif) mengurusi lembaga yang akan menjatuhkan sanksi-sanksi jika terjadi pelanggaran atas peraturan pemilu. Dalam hal pengawasan pemilu, yudikatif, dalam hal ini Makamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya (Peradilan Tinggi dan Peradilan Tingkat Pertama/Negeri) turut serta sebagai fasilisator pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tahun 1999 (Panwas), sekaligus menempatkan komponen korps hakim sebagai anggota (bahkan pimpinan) Panwas. Hal tersebut adalah konsekwensi dari mandat yang diberikan oleh UU No. 2/1999 Tentang Partai Politik dan UU No. 3/1999 Tentang Pemilihan Umum.
Selain itu, dalam menyelenggarakan pengawasannya, Panwas tidak dapat mengadakan pengawasan terhadap administrasi keuangan, pengadaan, penyimpanan pendistribusian, dan penggunaan barang yang dilakukan KPU, PPI, PPD I, PPD II, PPS dan KPPS. Tugas Panwas pada hakekatnya adalah merupakan kegiatan penegakan hokum karena Panwas berkewajiban mengawasi agar ketentuan peraturan perundang-undangan pemilu ditaati dan dipatuhi agar terjamin terselenggaranya pemilu yang demokratis, transparan, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia.
Karena itu, sebenarnya sejumlah Keputusan Makamah Agung 1999 berkaitan dengan Panwas cenderung membatasi ruang lingkup kerja Panwas karena terkesan hanya mengatur tentang pengawasan hanya pada tahapan penetapan nama calon anggota DPR dan tahapan pemungutan suara saja, dan ‘melupakan’ tahapan-tahapan lainnya yang menjadi ruang lingkup kerja pengawasan oleh Panwas.
Secara lebih detail dan teknis, problematika dan dilemma Panwas dalam pemilu 1999 bisa dinyatakan sebagai berikut:
1.Panwas mengalami kesukaran dalam melakukan tindakan pengawasan karena tidak ada pasal dalam UU atau PP yang memberi Panwas suatu otoritas yang bersifat final untuk menanggapi berbagai keberatan yang diajukan oleh warga masyarakat terhadap para calon legislatif tersebut.
2.Berbeda dengan pemantau pemilu yang cenderung pengetahuan teknis tentang electoral proccesnya terhitung tinggi, Panwas yang direkrut dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan, cenderung tereliminasi pemahamannya tentang pelaksanaan pemilu, sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Panwas ketika mengawasi pemungutan suara di TPS.
3.Minimnya pengetahuan anggota Panwas tentang electoral procces menyebabkan mereka lebih banyak diam “menunggu datangnya bola” dan bukan pada umumnya tugas Panwas yaitu “menjemput bola” (dalam artian Panwas harus aktif mencari apresiasi masyarakat tentang pelaksanaan dan pelanggaran yang terjadi dalam pemilu dan bukan hanya pasif menunggu datangnya pengaduan dari masyarakat).
Pelaksanaan pemilu 1999 dan pengawasan pemilu oleh Panwas maupun organisasi pemantau lainnya sebagaimana dipaparkan di atas, dengan segenap kekurangan, masalah, dan penyimpangan yang terjadi, betatpun juga telah menunjukkan capaian dan kemajuan strategis dalam transisi demokrasi. Lebih dari itu, harus diakui bahwa penyelenggaraan dan pengawasan pada pemilu 1999 jauh lebih baik dari semua pemilu yang telah terselenggara di Republik ini. Pemilu 1995 sekalipun, masih kalah demokratis, sebab pada saat itu lembaga independent pengawas pemilu belum ada/dibentuk.
4. Model Pengawasan Pemilu Bagian KPU
Berdasarkan Pasal 120 UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, untguk melaksanakan pengawasan pemilu dibentuk Panitia Pengawas Pemilu. Panitia Pengawas Pemilu ini dibentuk oleh KPU, sedangkan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi sampai Penitia Pengawas Pemilu Kecamatan dibentuk oleh Panitia Pengawas Pemilu diatasnya. Demikian juga Panitia Pengawas Pemilu Presoden dan wakil Presiden, menurut pasal 76 UU nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden, tugas dan wewenang pengawasan pemilu Presiden dan wakil Presiden dilakukan oleh panitia Pengawas Pemilu seperti Panitia Pengawas Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Menindaklanjuti ketentuan UU no 12 tahun 2003 dan UU no 23 tahun 2003, KPU mengeluarkan Keputusan KPU nomor 88 tahun 2003 tentang Panitia Pengawasan Pemilihan Umum yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang Undang Pemilu. Suarat Keputusan KPU tersebut digunakan untuk membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Umum.
Dalam ketentuan pasal 120 ayat 1 UU no 12 tahun 2003 secara jelas disebutkan bahwa fungsi dasar pengawasan pemilu dalam rangkaian proses penyelengaraan pemilu adalah guna mengemban tugas pengawasan. Tugas Utama pengawasan yang diamanatkan UU No 12 dan 23 tahun 2003 menuntut keaktifan dan progresifitas Panwas dalam mengawasi proses penyelengaraan pemilu dalam rangka mendorong agar pemilu dapat berjalan sesuai dengan azasnya langsung umum bebas dan rahasia.
Tugas utama pengawasan pemilu 2004 adalah :
1.Mengawasi semua tahapan penyelengaraan pemilu;
2.Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu;
3. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan pemilu;
4.Menerusakan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi wewenang
Dilihat dari pasal 122 UU no 12 tahun 2003 maka tugaspengawasan pemilu yang dilakukan oleh Panitia Pengawasan Pemilu tidak terbatas pada pengawasan semata, tetapai juga mencakup tugas menerima laporan dan menindak lajuti laporan dan temuan kepada instansi wewenang.
5. Model Pangawasan Pemilu Bersifat Tetap.
Dasar Hukum Pemilu 2009 adalah pertama UU No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelengaraan Pemilu. Kedua UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Ketiga UU No 10 Tahun 2008Tentang Pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/KabupatenUU No 42 tahun 2008Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Undang Undang no 22 tahun 2007 Pengawasan penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dibantu oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
Badan Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang bersifat tetap. Anggotanya diangkat sekali dalam 5 tahun atau bersifat tetap. Sedangkan Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri bersifat ad hoc. Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.
Bawaslu berkedudukan di ibu kota negara.Panwaslu Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi. Panwaslu Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota. Panwaslu Kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan. Pengawas Pemilu Lapangan berkedudukan di desa/kelurahan. Pengawas Pemilu Luar Negeri berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.
Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
Jumlah anggota:
1.Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang;
2.Panwaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang;
3.Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang;
4.Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.
5.Jumlah anggota Pengawas Pemilu Lapangan di setiap desa/kelurahan sebanyak 1 (satu) orang.
Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua Bawaslu dipilih dari dan oleh anggota Bawaslu. Ketua Panwaslu Provinsi, ketua Panwaslu Kabupaten/Kota, dan ketua Panwaslu Kecamatan dipilih dari dan oleh anggota. Setiap anggota Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan Panwaslu Kecamatan mempunyai hak suara yang sama.
Selain itu komposisi keanggotaan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Masa keanggotaan Bawaslu adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Organisasi dan Komunikasi Organisasi
Komunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling serin...
-
Komunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling serin...
-
Sejarah dan perkembangan pers di Riau tidak luput dari sejarah Riau sendiri. Sejarah dan perkembangan pers di Riau dimulai dari Kerajaan Mel...
-
Komunikasi di dalam organisasi tidak terlepas dari perkembangan manajeman dan birokrasi. Komunikasi merupakan kegiatan yang paling sering di...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar