Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu wujud dari sistem demokrasi. Pelaksanaan pemilu merupakan partisipasi masyarakat dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik. Penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu sehingga tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Integritas proses dan hasil pemilu (Integrity Electoral) akan terwujud apabila semua ketentuan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan dengan konsisten.
Dalam kajian komunikasi politik dalam Pemilu membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem politik khususnya sistem pemilu yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem pemilu itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Lembaga legislatif Indonesia (DPR RI) kembali melahirkan regulasi pemilihan umum (Pemilu), Setelah UU No 15 Tahun 2011 regulasi tetntang penyelenggara Pemilu, DPR RI telah memutuskan UU tentang pemilihan DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten dan DPD RI. Kedua regulasi yang diputuskan DPR RI ini menyempurnakan UU No 22 Tahun 2007 dan UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu 2009. Walaupun masih ada satu regulasi yang masih ditunggu oleh masyarakat -UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta UU Pemerintahan Daerah yang mengatur Pemilu Kepala Daerah-, upaya yang dilakukan oleh dewan legislatif telah memperlihatkan keinginan untuk mengupayakan pemilu yang lebih baik tahun 2014 nantinya.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu wujud dari sistem demokrasi. Pelaksanaan pemilu merupakan partisipasi masyarakat dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik. Pemilihan umum dilakukan guna ; pertama mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden/wakil presiden serta Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Kedua mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/atau mengenai sirkulasi elit secara priodik dan tertib.dan ketiga mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradap.
Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan akurat partisipasi masyarakat. Sehingga pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi tersebut (Mariam Budiardjo ; 2008).
Untuk menilai tingkat demokrasi suatu pemilu antara lain : petama setiap tahapan penyelengaraan pemilu sesuai mengandung kepastian hukum (predictable procedur). Untuk itulah DPR bersama pemerintah setiap lima tahun membuat regulasi (Undang-Undang Pemilu) guna mengevaluasi dan mengantisipasi persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi pada penyelengara. Untuk menilai tingkat demokrasi suatu pemilu antara lain :
1. setiap tahapan penyelengaraan pemilu sesuai mengandung kepastian hukum (predictable procedur)
2.setiap tahapan peneyelengaraan pemilu berdasarkan azas pemilu yag demokratik yakni Langsung umum bebas dan rahasia (luber), Jujur dan Adil (jurdil) serta Akuntabel (Free and fairelection)
3. proses penyelengaraan pemilu menggandung sistem pengawasan untuk menjamin setiap pelaksanaan sesuai dengan ketentuan dan juga hasil pemilu yang akurat dan sesuai dengan hasil pilihan pemilih (Electoral Integrity)
4. proses penyelenggaraan pemilu mengandung sistem penyelesaian sengketa pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepatn pemilu nantinya.
Kedua setiap tahapan peneyelengaraan pemilu berdasarkan azas pemilu yag demokratik yakni Langsung umum bebas dan rahasia (luber), Jujur dan Adil (jurdil) serta Akuntabel (Free and fairelection).
Ketiga proses penyelengaraan pemilu menggandung sistem pengawasan untuk menjamin setiap pelaksanaan sesuai dengan ketentuan dan juga hasil pemilu yang akurat dan sesuai dengan hasil pilihan pemilih (Electoral Integrity). Hal ini menjadi tugas dan kewajiban Bawaslu dan jajaranya dalam mengawasi penyelengaraan pemilu di Indonesia.
Keempat proses penyelenggaraan pemilu mengandung sistem penyelesaian sengketa pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepat.
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Banyaknya keluhan masyarakat dan pesrta pemilu (partai Politik) yang kecewa terhadap penyelenggaraan pemilu di Indonesia selama ini. Bahkan KPU dan Bawaslu yang telah melaksanakan tugasnya secara baik dituding sebagai salah satu titik lemah penyelangaraan pemilu yang tidak aspiratif.
Ada beberapa persoalan yang sangat esensial yang timbul selama proses pemillihan umum tersebut. Persoalan itu antara lain :
pertama Masalah regulasi. Ada persoalan yang menyangkut regulasi yakni masalah kekosongan hukum, masalah ketidak konsistenan hukum dan masalah ketentuan yang multitafsr.
Kedua Masalah penyelenggara. Masalah profesional dan integritas penyelengara baik KPU maupun Bawaslu menjadi persoalan dalam pelaksanaan pemilu
Ketiga Masalah politik lokal di sejumlah daerah yang memang rawan persoalan. Hal ini tentunya akan menjadi persoalan terselubung pada saat pemilu.
Keempat Masa kampanye panjang yang dapat menyebabkan kekacauan ancaman ketertiban, kenyamanan dan keamanan social,
Kelima Gugatan selisih hasil pemilu yang merupakan pola memperoleh kemungkinan kekuasaan keenam Politik uang sebagai modus memenangkan pertarungan dalam pemilu
Untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tidak hanya lemabaga penyelengara saja yang menjadi titik perhatian, namun diperlukan sistem pendukung yang memadai. Sistem pendukung tersebut antara lain;
pertama organisasi penyelengara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang sesuai dengan personal yang profesional dan berintegritas.
Kedua sistem anggaran yang memadai.
Ketiga sistem pengadaan dan distribusi logistik yang sesuai keempat sistem dokumentasian data dan informasi yang sesuai
Dalam praktek kenegaraan, keabsahan sistem pemilu apabila mendapat dukungan dari seluruh warganegara yang berada dalam lingkup sistem tersebut, yang terwujud dalam partisipasi politik.sehingga pelaksanaan pemilu tersebut benar-benar mencerminkan totalitas aspirasi dan cita–cita seluruh warga masyarakat negara dalam berdemokrasi
Integritas proses dan hasil pemilu (Integrity Electoral) akan terwujud apabila semua ketentuan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu dilaksanakan dengan konsisten. Integritas pemilu ini terwujud apabila tidak ada penyimpangan, pelanggaran, intimidasi, manipulasi, dan kesalahan dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan pemilu. Sehingga rakyat sebagai pemegang kedaulatan maupun sebagai pemilih ataupun semua pihak yang menaruh perhatian terhadap pemilu yang demokratis akan percaya terhadap hasil pemilu apabila interitas proses dan hasil pemilu ini dilaksanakan dengan baik.
Menurut Tim Peneliti LIPI, Kriteria tentang pemilu yang jujur dan adil juga diukur dari lima parameter dalam konteks penentuan kadar demokratis suatu pemilu yakni :
1. Universalitas (Universality) ; pemilu demokratis harus diukur secara universal karena nilai-nilai demokrasi adalah universal artinya konsep, sistem, prosedur, perangkat dan pelaksana pemilu harus mengikuti kaidah demokrasi yang universal itu sendiri.
2. Kesetaraan (Egality) ; pemilu demokrasi harus mampu menjamin kesetaraan masing-masing kontestan untuk berkompetisi secara free and fair, oleh karena itu regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya ketidaksetaraan politik (political inequality),
3. Kebebasan (freedom) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kebebasan pemilih menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian sesuatu yang akan mempengaruhi pilihan pemilih.
4. Kerahasian (secrecy) ; pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kerahasian pilihan politik pemilih, bahkan oleh panitia pemilihan sekalipun. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebsan seseorang dalam memilih.
5. Transparansi (transparancy) ; pemilu yang demokratis harus menjamin transparansi dalam segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu yang dilakukan oleh semua pihak dalam proses pemilu yakni penyelengaraan pemilu, peserta pemilu dan pengawasan serta pemantau pemilu. (Lili Romli,”Pengawasan Penyelengaraan Pemilihan Umum dan Sri Yanuarti, “ Pengawasan Penyelangaraan Pemilu ; Studi kasus Jawa Tengah”. Buku laporan Penelitian LIPI dengan Balitbang Departetmen Dalam Negeri, hal 103-104 (Jakarta P2P LIPI 2004).
Salah satu implementasi dari upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas pemilu atau integritas pemilu adalah membentuk dan melaksanakan fungsi pengawasan pemilu. Menurut DR. S.P. Siagian, MPA mengambarkan pengawasan sebagai berikut; “Proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.”
Dalam pelaksanaanya Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi pemilu 2014, selain bertugas melaksanakan kewajiban (tugas pokok) dalam mengawal pemilu yang berintegitas, juga mengupayakan keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengawasan pemilu tersebut.
Namun untuk memaksimalkan fungsi pengawasan, perlu meningkatkan peran serta masyarakat secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan pertama masyarakat yang memiliki kedaulatan dalam negara ini kedua masyarakat memiliki kepentingan dalam pemilu. Karena mereka harus mengawal suara mereka supaya tidak dicurangi kedua fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu beserta jajaran kurang optimal. Hal lain dikarenakan pengawasan hanya dilakukan sampai pada tingkat kelurahan/desa. letak geografis daerah pengawasan yang cukup luas idak sebanding dengan jumlah pengawas yang ada. pemahaman sebagian besar pengawas tentang pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan yang minim. peralatan pendukung terhadap pengawasan yang minim
.
Penurunan Partisispasi
Ironisnya pemilu di Indosinesia menurut data KPU, partisipasi masyarakat dalam pemilu ini semakin lama semakin menurun. Hal ini ditandai dengan angka partisipasi yang mencapai 94 % pada pemilu 1971, 90% pada pemilu 1977, meningkat 97% pada pemilu 1982. Pada saat reformasi partisipasi masyarakat pada pemilu 1999 menjadi 93 %, pada pemilu 2004 menurun menjadi 84 %, dan menurun menjadi 71 % pada pemilu 2009 (70,99% pemilu legislatif dan 72,56% pada pemilu presiden)
Upaya peningkatan pertisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengawasan pemilu dilakukan dengan cara :
pertama Edukasi (pendidikan). Pendidikan politik dan pemilu perlu dilakukan seiring dengan pelaksanaan pemilu tersebut. Sehingga masyarakat tahu hak dan kewajiban dalam pemilu tersebut.
Kedua Sosialisasi Pemilu. Sosialisasi ini berupa sosialisasi tahapan pemilu mulai dari verifikasi peserta pemilu sampai pelantikan dan pengabilan sumpah. Selain itu sosialisasi peraturan (regulasi) yang mengatur pelaksanaan pemilu baik berupa Undang-undang maupun peraturan KPU dan Bawaslu serta perturan lainya.
Ketiga Transparansi (keterbukaan). Masyarakat perlu diberikan kesempatan dalam mengakses proses pemilu dan aturan-aturan dalam proses dan hasil pemilu. Akses tersebut berupa Akses terhadap mekanisme pelaksanaan tahapan yang telah dan sedang dilakukan dalam pemilu. Akses terhadap anggaran pelaksanaan pemilu Akses terhadap pelaksanaan pengadaan dan distribusi peralatan pemilu sehingga tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat spesifikasi, tepat anggaran. Akses terhadap mekanisme penyelesaiaan sengketa dan hasil sengketa pemilu.
Komunikasi Politik
Selain upaya yang KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu dalam meningkatkan kualitas pemilu, KPU dan Bawaslu juga membangun komunikasi politik secara vertikal dan horizontal. Komunikasi vertikal adalah membangun sinergi dengan Kpu/Bawaslu Provinsi dan KPU/Panwaslu Kabupaten/kota. Komunikasi horizontal adalah komuniksi yang dilakukan dengan pemangku kepentingan pada pemilu yang akan datang. Kominikasi dilakukan dengan Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah, Media Massa, Lembaga Pemantau Pemilu, LSM, DPR RI, Lembaga Penegakan Hukum, Lembaga Pemerintah yang berhubungan langsung dengan penyelanggaraan Pemilu.
Untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tidak hanya lemabaga penyelengara saja yang menjadi titik perhatian, namun diperlukan sistem pendukung yang memadai. Sistem pendukung tersebut antara lain ; pertama organisasi penyelengara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang sesuai dengan personal yang profesional dan berintegritas. Kedua sistem anggaran yang memadai. Ketiga sistem pengadaan dan distribusi logistik yang sesuai keempat sistem dokumentasian data dan informasi yang sesuai. Selain itu komunikasi dilakukan denga peserta pemilu yakni partai-partai yang mengikuti pemilu di Indonesia. Namun yang terpenting komunikasi yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu adalah komunikasi yang dilakukan dengan masyarakat khususnya pemilih yang menyapaikan aspirasinya.
Dalam kajian komunikasi politik dalam Pemilu membahas bagaimana komunikasi dapat berlangsung dalam suatu sistem
politik khususnya sistem pemilu yang mencakup bahasan-bahasan tentang bagaimana sistem pemilu itu dapat dipertahankan dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasan tentang sistem pemilu ini berkait pula dengan transformasi nilai-nilai yang dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi politik dan pendidikan politik.
Komunikasi Politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik Astrid S. Susanto (1975)
Komunikasi politik berfungsi untuk menumbuhkan persamaan persepsi dan kesatuan pandang melalui simbol-simbol komunikasi sebagai produk interpretasi bersama. Hal ini yang dimaksud berwujud sifat-sifat integratif perilaku dan pola pikir ke dalam sistem politik yang sedang berlangsung dan sekaligus terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai yang dijunjung tinggi bersama.
Dalam hal ini KPU dan Bawaslu adalah aktor pemilu yang yang ditugasi menyelengarakan dan mengawasi pemilu. Mereka menafsirkan regulasi dan sistem pemilu yang terkandung didalam lingkungan mereka dan mengarahkan tindakan mereka dengan cara yang bermakna bagi susksesnya proses penyelengaraan dan pengawasan pemilu.
Dalam proses ini, mereka menggunakan bahasa, label (simbul-simbul), dan rutinitas untuk pengelolaan pesan dan mode-mode lain tindakan spesifik secara cultural.
Sebagai contoh salah satu kegiatan penyelengaran pemilu dalam menfsirkan regulasi (undang-undang Pemilu) dan mensosialisai kepada masyarakat dan peserta pemilu. Guna pencapaian komunikasi secara efektif dan efisien proses sosialisasi mengunakan bahasa, simbul-simbul dan kegiatan rutinitas yang ada pada adat-istiadat (Cultural) setempat. Sehingga dapat mudah dipahami oleh masyarakat setempat dan dapat dengan mudah terwujudnya komitmen moral terhadap sistem nilai pemilu yang dijunjung tinggi bersama. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam mencapai interitas pemilu di Indonesia
Demikianlah fungsi dan peranan komunikasi politik dalam pelasanaan pemilu. Banyak hal yang menjadi kajian dalam proses pengembangan komunikasi politik seiring dengan perkembangan dan kompleknya persoalan pemilu saat ini.
Musfialdy S.Sos M.Si
Dosen Komunikasi
UIN Suska Pekanbaru Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar